Saling Sikut demi Rekomendasi Partai



KEMERIAHAN terjadi di hampir semua daerah yang akan melaksanakan pilkada. Para kandidat bupati ataupun gubernur memenuhi jalan-jalan di tengah lautan massa. Mereka serupa para gladiator yang tak lama lagi akan memasuki arena pertarungan. Para pendukung meneriakkan yel-yel.

Tahukah Anda bahwa di balik kemeriahan itu, para calon kepala daerah telah menempuh proses panjang dan sedikit ‘berdarah-darah’, serta saling sikut demi mendapatkan selembar rekomendasi? Tahukah Anda bahwa semua kandidat kepala daerah itu harus datang ke Jakarta, menelusuri ‘jalan-jalan tikus’ di partai politik, memberikan garansi, dan terakhir saling mengunci dengan segepok rupiah demi selembar rekomendasi partai?

Marilah kita simak kisah perjalanan mereka yang menelusuri rimba-rimba gelap politik kita, yang kesaksiannya tak pernah dibahas di seminar atau dalam retorika mereka yang sukses jadi pejabat.

***

AKHIRNYA surat rekomendasi itu keluar juga. Wajah bapak itu langsung muram. Namanya tidak tertera dalam lembar yang dikeluarkan partai politik itu. Dia kalah oleh kandidat lain. Dia seakan tak terima. Saat saya temui di satu kafe di dekat Sarinah, ia beberapa kali memukul meja. Ia dikalahkan oleh kandidat lain yang bukan berasal dari partai itu.

Bapak itu wajar jika emosi. Ia telah bekerja selama dua tahun demi pencalonannya sebagai kepala daerah. Relawannya telah lama berkeliling dan mengetuk rumah warga. Ia telah mencetak brosur yang isinya visi-misi, mencetak stiker potret diri lalu ditempel di rumah-rumah warga.

Bahkan ia juga membuat baliho berukuran besar yang tersebar di banyak titik. Uang dan tenaga yang dikucurkannya terbilang besar. Tapi itu tadi, dia tidak mendapatkan rekomendasi partai politik.

“Demokrasi kita dihargai dengan segepok uang,” katanya. Saya hanya terdiam mendengarkan keluh kesahnya. Sampai seminggu sebelum rekomendasi keluar, ia masih optimis. Ia datang ke Jakarta sejak dua bulan lalu. Selama waktu itu, ia “bergerilya”, menemui tokoh-tokoh kunci di partai politik, malah menemui calon presiden. Pada semua orang yang ditemuinya, ia memberikan garansi kemenangan dan suara besar bagi partai itu.

Indonesia telah lama menerapkan prinsip desentralisasi. Namun dalam hal pemilihan kepala daerah, semuanya akan berpulang pada “kemurah-hatian” pusat. Untuk menjadi kandidat, Anda mesti mendapatkan surat rekomendasi yang ditandatangani oleh ketua umum partai dan sekretaris jenderal, yang di atasnya ada stempel partai. Tanpa itu, Anda tidak akan bisa  mendaftar menjadi calon kepala daerah.

Rekomendasi partai itu ibarat surat sakti yang ditunggu semua kalangan. Tanpa rekomendasi, sia-sialah semua upaya kerja keras menyapa rakyat demi meningkatkan popularitas. Untuk mendapatkan rekomendasi, jalan terjal harus ditempuh. Tidak sesederhana Anda datang melamar, simpan berkas, lalu menunggu panggilan untuk fit and proper test. Anda harus melobi, menemui banyak pihak, meyakinkan banyak orang.

Di kalangan banyak orang yang kerap bersentuhan dengan parpol, urusan rekomendasi ini sederhana. Namun ada beberapa hal yang diperhatikan partai sebelum mengeluarkan rekomendasi.

Pertama, ukuran elektabilitas dan popularitas. Partai politik akan menggelar survei demi menentukan seberapa Anda berpotensi menang ataukah kalah. Kalau potensi menang akan kuat, partai akan membuka ruang dialog. Kalau surveinya jelas-jelas menunjukkan Anda tidak punya potensi menang, partai akan ogah-ogahan.

Demi survei itu, di semua daerah, semua kandidat bupati dan gubernur akan dipungut biaya saat pendaftaran. Jumlahnya bisa bervariasi. Beda partai, beda pula biaya survei. Seorang sahabat mesti membayar 100 juta rupiah demi survei di satu partai besar. Jika kandidat yang mendaftar sebanyak lima orang, silakan hitung berapa biaya yang akan diraup partai.

Sering kali ada wawancara dengan partai dan diuji akademisi. Formatnya adalah serupa ujian skripsi seorang mahasiswa sarjana. Kandidat duduk di tengah, kemudian diberikan banyak pertanyaan. Pada titik ini, ide-ide tentang transformasi menjadi penting.

Namun percayalah, itu semua hanya berlaku di atas kertas atau sebatas di arena itu saja. Biarpun Anda sukses memenangkan debat dan wacana, itu bukan jaminan Anda akan sukses mendapat rekomendasi. Kekuatan wacana itu nomor paling buntut dalam dunia politik.

Partai politik juga akan memperhitungkan seberapa pentingnya satu daerah. Jika daerah itu adalah basisnya, maka mereka akan lebih hati-hati mengambil sikap. Boleh jadi, mereka akan lebih memilih kadernya, sebab minimal kader itu telah menunjukkan kinerja berupa pundi-pundi suara yang cukup besar di situ. Atau minimal sudah lama aktif di partai dan mengenali tokoh-tokoh kunci pengambil keputusan di partai itu.

Jika daerah itu punya populasi sangat besar, maka partai akan bermain lebih aman. Mereka akan memilih kandidat yang citranya baik agar citra partai ikut terkerek. Mereka akan hati-hati memilih kandidat sebab barometer kemenangan pemilu ada di daerah itu.
Namun jika daerah itu bukan basis, pembicaraannya adalah seberapa kuat Anda bisa membawa kemenangan. Sebab hanya kemenangan yang akan memberi garansi bagi kader partai itu untuk lebih banyak berkiprah, serta bisa menaikkan perolehan suara di pemilu mendatang.

Harus dicatat, pemenang partai belum tentu mendapat rekomendasi. Pengurus partai di level provinsi hanya merekomendasikan tiga sampai lima nama ke pihak pengurus pusat. Selanjutnya, nama-nama itu dipersilakan untuk gerilya di Jakarta demi mendapatkannya. Tanpa gerilya, mustahil rekomendasi di tangan. Kecuali jika survei membuktikan Anda akan dipilih 90 persen masyarakat. Itu lain soal.

Kedua, ukuran “amunisi” atau uang. Seorang kawan politisi pernah berkata, “Jika Anda tidak punya uang, maka takdir Anda di dunia politik hanya berhenti sebatas tim sukses atau tim pemenangan, malah Anda akan jadi tukang ketik. Tapi jika Anda punya uang, maka semua arena akan terbuka lebar.

Faktor uang ini amat penting, tapi entah kenapa, pihak politisi enggan membahasnya terbuka. Biasanya, semua orang tutup mulut saat ditanya tentang pengaruh uang. Ibarat hantu, uang itu dirasakan ada, tapi tidak pernah tampak di atas meja saat calon kepala daerah dan pengurus partai bertemu.

Makanya, proses penyerahan atau pemindahan uang dari tangan ke tangan selalu tertutup dan hanya diketahui sedikit orang, akan tetapi cipratannya akan terasa ke banyak pihak. Nanti ketika seseorang tidak mendapat rekomendasi, barulah dia bernyanyi bahwa dia tidak sanggup memenuhi permintaan sejumlah uang tertentu. Itulah politik.

Rekomendasi itu ibaratnya dilelang. Pemenangnya adalah dia yang paling tinggi mengajukan penawaran. Satu kursi partai akan dikonversi dengan nilai tertentu. Semakin besar perolehan kursi, semakin besar pula biaya yang harus disiapkan. Di daerah-daerah yang penduduknya sedikit di timur, satu kursi sering dihargai 250 juta rupiah. Untuk empat kursi, Anda mesti menyetor sebesar 1 miliar rupiah. Ini hitungan terkecil lho. Jika itu di daerah besar yang padat penduduknya, jumlah “mahar” akan jauh lebih besar.

Jangan mengira bahwa kandidat hanya membayar “mahar.” Itu hanya Dana Permulaan (DP). Selanjutnya, partai akan membuat proposal pemenangan. Mereka berdalih dana itu akan digunakan untuk menggerakkan semua mesin politiknya, mulai dari pusat kuasa sampai ke lapis terluar. Kandidat tak punya pilihan.

Padahal, faktanya, dalam pilkada langsung mesin partai tak pernah bekerja maksimal. Mereka hanya muncul di awal, saat deklarasi, saat panggung kampanye. Mereka tak hadir saat meyakinkan warga untuk memilih kandidat tertentu.

Faktor uang ini kadang mengherankan. Di satu daerah, saya mendengar pihak yang mendapat rekomendasi partai bukanlah politisi ataupun aktivis, juga tak ada pengalaman berorganisasi. Pengalamannya hanyalah sebagai ibu rumah tangga. Usut punya usut, ternyata suaminya adalah kontraktor tambang yang punya aset hingga miliaran rupiah. Saat fakta ini dikemukakan, semua pihak akan terdiam, tak tahu harus berkata apa. Itulah realitas politik.

Makanya, pada seorang kawan yang hendak maju menjadi kepala daerah, pertanyaan yang diajukan adalah berapa banyak uang yang disiapkannya untuk mendapatkan rekomendasi partai? Berapa pula yang disiapkannya untuk menggapai kemenangan?

Jika tak punya saldo cukup, sebaiknya urungkan semua niat baik untuk menyejahterakan masyarakat itu. Pilkada bukan sekadar ajang memenangkan gagasan, tapi juga ajang yang bisa memiskinkan Anda, semiskin-miskinnya.

Ketiga, kekuatan lobi dan jejaring. Bagi kandidat yang tak punya dana besar, atau punya modal pas-pasan, maka harapan mereka adalah memaksimalkan jaringan. Jika mereka dahulu adalah aktivis organisasi masyarakat (ormas), maka pintu lobi telah ditemukan. Dengan bermodalkan pertemanan dengan pengurus partai, atau pengalaman aktif di organisasi itu, lobi mulai diintensifkan.

Ormas besar punya kader yang berada di pucuk pimpinan partai. Ormas-ormas itu bisa menghubungi atau malah melobi pimpinan partai. Tapi itu akan kembali pada seberapa kuat pengaruh Anda di organisasi itu.

Tak hanya ormas, ikatan alumni organisasi mahasiswa pun bisa jadi pintu untuk lobi. Beberapa organisasi semisal Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi) akan menjadi kanal untuk mempertemukan banyak pihak. Dalam acara-acara Kahmi, seorang kandidat bupati bisa datang, menautkan kembali hubungan dengan para senior, rekan, atau kenalan yang telah jadi petinggi negeri ini. Selanjutnya, jalan lobi akan terbentang.

Bukan cuma jalur organisasi, jalur kultural pun bisa ditempuh. Seorang sahabat punya jalur sejumlah kiai yang tengah didekati ketua umum partai. Garansi yang dipasang adalah jika sang ketua umum tidak mendukung, maka suara partainya di tempat tertentu akan tergerus. Demi didukung kiai, sahabat itu harus nyantri dulu selama periode tertentu, setelah itu bersama Pak Kiai akan mulai mengetuk pintu partai.

Jika punya jalur langsung ke ketua umum partai, maka jalan akan lebih mulus. Seorang bupati di timur pernah mendapatkan rekomendasi dari satu partai hanya karena dia sekelas dengan ketua umum partai itu. Tentu saja, dia tetap harus membayar biaya-biaya ke partai itu. Point-nya adalah jejaring akan sangat menentukan apakah Anda mendapat rekomendasi ataukah tidak.

Dalam hal lobi, semua akan berusaha merapat ke ketua umum ataupun sekjen. Demi mendekat ke mereka, Anda mesti melalui jalur-jalur yang kerap dipakai. Beberapa jalur sering dianggap lebih kuat pengaruhnya dibandingkan jalur lainnya. Seorang kandidat akan terbiasa berhadapan dengan sejumlah orang yang bertindak sebagai calo yang bisa menghubungkan dengan pengambil keputusan di partai itu. Jika tidak hati-hati, para calo ini akan panen besar atas pundi-pundi uang yang disiapkan seorang calon kepala daerah.

***

SAYA masih di satu kafe di Sarinah bersama Bapak yang baru saja gagal mendapatkan rekomendasi partai politik. Dia bercerita tentang mimpi-mimpi idealnya untuk bekerja dan berbuat sesuatu di kampung halamannya.

Apa daya, mimpi itu terhambat oleh permintaan mahar yang gagal dipenuhinya. Ia gagal bersaing dengan kandidat lain yang jauh lebih siap dan rajin “menyiram” ke mana-mana. 

Dalam dunia politik, gagasan memang penting tapi bukan segala-galanya. Demikian pula uang yang juga penting, tapi bukan segala-galanya. Faktor lobi juga penting, tapi bukan satu-satunya. Pemegang rekomendasi adalah mereka yang bisa mendapatkan ketiga faktor itu, yakni gagasan, uang, dan juga lobi.

Jika disuruh memilih prioritas, mungkin faktor uang dan lobi adalah kekuatan utama di balik lahirnya setiap rekomendasi. Gagasan adalah faktor terakhir, yang paling tidak penting. Tapi dirasa perlu juga untuk meyakinkan pemilik saham partai dan pelobi.

Lagian, soal gagasan bisa dikemas ulang. Itu bisa menjadi lahan garapan para konsultan politik dan tim ide yang rata-rata adalah peraih gelar doktor dari kampus-kampus bergengsi.

Saya merenungi kenyataan yang cukup menyedihkan ini. Saya membayangkan betapa sulitnya melakukan perubahan ketika seorang calon kepala daerah harus membayar dulu semua utang-utang, baik itu materi maupun kebaikan orang-orang yang melicinkan jalannya. Jika demikian halnya, perubahan hanya mimpi di siang bolong.

Seorang kawan berbisik, pelaku perubahan itu haruslah orang yang memiliki segalanya, tapi punya niat tulus untuk berbuat sesuatu. Dia harus kaya, tapi juga idealis. Dia harus seperti Bruce Wayne, yang punya segalanya, namun menjadi idealis saat mengenakan jubah Batman. Atau dia harus seperti Tony Stark yang punya banyak ide-ide evolusioner di bidang teknologi sehingga kaya raya, tapi menyimpan senjata andalannya yakni jubah Iron Man untuk membela yang tertindas.

Sejujurnya ada opsi lain. Seorang kepala daerah pelaku perubahan itu haruslah seseorang yang punya jejak di masyarakat, dia dikenal karena prestasi dan kiprahnya yang membantu banyak orang, kemudian kisah-kisahnya disebar para relawan.

Para relawan bergerak aktif mempromosikan orang baik itu, menggalang fundrising untuk membiayai semua kebutuhan, juga sebagai tim pemenangan yang akan menggugah semua orang untuk bergerak demi perubahan.

Saya tahu bahwa di luar negeri, aksi-aksi seperti ini sering dilakukan. Tapi di sini, di tanah air Indonesia yang amat kita cintai, aksi itu masih seperti mimpi. Entah kapan negeri ini  bisa berubah.



0 komentar:

Posting Komentar