HUSAIN ABDULLAH: Dari Jurnalis, Jubir Wapres, Hingga Walikota

Husain Abdullah, juru bicara Wapres Jusuf Kalla

TUGAS seorang jurnalis adalah sebagai penyaksi atas berbagai lintasan peristiwa. Seorang jurnalis adalah perekam yang mengabadikan berbagai kejadian, lalu menghamparkannya ke hadapan publik. Dia tak sekadar mencatat, tapi juga memberikan pesan-pesan kepada banyak orang tentang betapa banyaknya hal yang melintas di sekitar kita. Dia juga memberikan sentuhan rasa, kedalaman perspektif, sekaligus butiran kebijaksanaan yang dipetiknya melalui petualangan di banyak peristiwa.

Saat seorang jurnalis memutuskan untuk memasuki panggung politik, maka dirinya memasuki dunia yang berbeda. Dahulu, dirinya berada di tepian lalu mencatat semua peristiwa, kini dirinya yang akan menjadi sentrum atas segala catatan. Namun, pengalamannya bisa menyisakan banyak pelajaran berharga di panggung politik. Dia tahu mana yang disimpan sejarah. Dia pun tahu mana yang akan dikutuk sejarah.

Untuk soal ini, saya berguru pada seorang jurnalis senior: Husain Abdullah, yang kini menjadi juru bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla.

***

SUATU hari, di tahun 2003, saya menjadi jurnalis pemula di satu harian di Makassar. Hari-hari saya adalah turun ke lapangan, bergaul dengan banyak orang, mencatat berbagai kejadian, untuk kemudian disajikan dalam berbagai reportase. Makassar bukanlah kota yang diam tenang dan tanpa gejolak. Hampir setiap hari ada peristiwa yang skala pengaruhnya bisa menghebohkan tanah air.

Sebagai jurnalis muda, saya mengenal banyak orang. Saya pun mengakrabkan diri dengan para senior yang sesekali turun ke lapangan dan memberikan masukan bagi kami para junior. Di antara sedikit jurnalis senior yang sering saya temui di lapangan adalah Husain Abdullah, koresponden RCTI di Makassar. Di masa itu, ia jauh lebih populer dari Abraham Samad hingga Jusuf Kalla.

Hampir setiap hari ia tampil di layar televisi demi mengabarkan apa yang terjadi. Reportasenya khas. Ia berbeda dengan reporter televisi saat ini yang hanya mengabarkan kejadian. Husain lebih dari itu. Ia bisa menyampaikan kejadian, sekaligus memberikan latar belakang (background) terhadap pemirsa televisi, serta memprediksi apa gerangan yang terjadi. Kalimatnya singkat tapi penuh makna. Sejak masih kecil, saya menghapal namanya, sebagaimana saya menghapal beberapa penyiar televisi yang populer saat itu, mulai dari Dana Iswara hingga Desi Anwar.

Belakangan saya tahu kalau Husain bukan sekadar jurnalis. Saya juga mengenalnya sebagai pengajar di Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Hasanuddin. Kualifikasi sebagai pengajar ini menjadi nilai plus bagi kariernya sebagai jurnalis. Ia tak sekadar memahami peristiwa, tapi juga bisa menembus kedalaman peristiwa itu. Dia bisa membangun sintesis antara peristiwa biasa dengan berbagai isu teotirik yang dibahas di ranah akademik.

Ia juga seorang senior yang tak pernah angkuh dengan posisinya. Ia bergaul dengan siapa saja. Ada saat di mana dirinya bergaul dengan para petinggi negeri, yang selalu mengontaknya, tapi banyak saat dirinya bergaul dengan para pemula seperti saya, yang saat itu hendak mengais ilmu darinya.

Saya jauh lebih sering menemuinya di warung kopi Phoenam, Makassar. Dirinya adalah magnit bagi para jurnalis. Kami yang muda-muda mendekatinya dengan berbagai keperluan. Ada yang sekadar mengobrol akrab dan membahas berbagai hal tidak penting lalu tergelak bersama. Tapi ada juga yang berniat untuk menyerap berbagai informasi baru, termasuk berbagai isu-isu yang sedang berseliweran.

Saya tahu persis kalau pengalamannya sangat banyak. Sejak kejatuhan Soeharto hingga masuk periode reformasi, Indonesia dilanda banyak konflik horisontal. Di banyak tepat, konflik antar suku dan antar agama sering terjadi. Dalam banyak situasi, Husain Abdullah berada di lokasi lalu membuat reportase yang mengejutkan Indonesia.

Ia meliput konflik Poso yang memperhadapkan penganut dua agama berbeda. Ia juga meliput konflik Ambon yang meluluhlantakkan satu kota sehingga gelombang pengungsian terjadi. Dalam banyak kesempatan, ia menyabung nyawa hanya untuk membuat reportase mendalam. Tak hanya itu, ketika ikhtiar damai sedang diupayakan oleh Jusuf Kalla, ia berada di baris terdepan demi menata langkah demi langkah ke arah perdamaian. Kontribusinya cukup besar, namun tak banyak diberitakan.

Tentu saja, ada rahasia mengapa dirinya menjadi magnit bagi para jurnalis. Selain karena gaya komunikasinya yang memosisikan semua orang dalam posisi sejajar, ia juga kerap mengadvokasi kepentingan para jurnalis. Pernah, saya diminta untuk menghadiri satu acara diskusi yang diadakan Lembaga Studi Informasi Makassar (eLSIM). Diskusi ini menghadirkan seorang jurnalis asal Amerika Serikat yang ingin berbagi pengalaman dengan para jurnalis di Makassar. Jurnalis Amerika ini seakan mengkritik beberapa standar peliputan wartawan asal Makassar.

Di acara itu, saya melihat Husain Abdullah memberikan bantahan yang amat melegakan. Menurutnya, kita tak bisa membandingkan standar jurnalistik di satu tempat dnegan tempat lain yang sudah lebih dulu mapan. Husain lalu mencontohkan tentang gaji. Katanya, gaji wartawan di Amerika dnegan gaji wartawan di Makassar bagaikan bumi dan langit.

“Bagaimana mungkin kita bicara standar peliputan jurnalistik, kalau wartawan saja tidak sanggup membeli rumah kecil di pinggiran Makassar? Di Amerika, standar-standar ini bisa dibahas karena para jurnalis sejahtera. Tak mungkin standar itu mau diberlakukan di Makassar, yang para jurnalis saja masih harus banting tulang untuk sekadar hidup layak,” katanya.

***

NAIKNYA Jusuf Kalla sebagai wakil presiden, membawa Husain Abdullah ke istana wapres. Ia menjadi juru bicara yang hadir dalam semua kegiatan. Ia juga menyaksikan banyak peristiwa politik yang seringkali menghadapkan dirinya dengan banyak kalangan. Saya meihat ada kesamaan antara dirinya dan Jusuf Kalla. Mereka sama-sama energik dan tipe pekerja keras. Beberapa kali saya diaak mengikuti aktivitasnya bersama wapres, namun saya membatalkannya. Saya khawatir tak bisa mengimbangi energi besar mereka untuk bertemu banyak orang.

Biarpun berkantor di istana wapres, Husain tetaplah Husain yang dulu. Ia jauh lebih mudah ditemui di warung kopi sembari ngobrol hal-hal yang lucu-lucu. Di warung kopi Phoenam, di Jalan Wahid Hasyim Jakarta, saya selalu bertemu dengannya. Saya selalu menjaga etika untuk tidak membahas politik di situ. Warung kopi adalah public sphere, sebagaimana disebut filsuf Jurgen Habermas, yang memosisikan semua orang secara egaliter. Yang dibahas di situ adalah berbagai hal-hal ringan yang bisa mempertautkan semua komunitas. Baginya, warung kopi adaah oase yang menjadi ruang untuk bersantai dan bertemu dengan banyak kalangan.

Di warung kopi pula, saya mendengar namanya disebut-sebut sebagai calon Walikota Makassar. Saya belum pernah berbicara detail tentang ini dengannya. Saya kadang merasa bahwa dirinya lebih tinggi dari sekadar posisi pejabat publik di kampung halamannya. Barangkali dia ingin lebih banyak berbuat. Dia ingin membumikan berbagai pengalaman dan butiran hikmah yang didapatnya seusai menyaksikan banyak peristiwa dan kejadian politik di negeri ini.

Mungkin inilah waktu yang tepat baginya untuk tampil ke depan dan membuat satu keping sejarah baru tentang seorang pemimpin yang merakyat, egaliter, dan telah mengenyam asam-garam di dunia politik. Seorang pendekar tidak selalu harus melalangbuana sembari mengayunkan pedang di mana-mana. Ada masanya pendekar kembali ke kampung halaman lalu membumikan pengalamannya di kampung halaman dengan cara menebas ketidakadilan, lalu mendedikasikan dirinya sebagai seorang samurai yang melayani banyak orang.

Saya percaya kalau karakter egaliter yang disandangnya semenjadi menjadi akademisi, jurnalis, hingga tangan kanan wakil presiden tetap akan dibawanya ke manapun. Ia tetaplah seorang Husain yang menjadi sahabat banyak orang. Ia bukan lagi Husain yang mencatat dari tepian, melainkan Husain yang mengolah semua catatan itu menjadi satu genangan rasa yang menjadi titik berangkat dari semua kebijakan politiknya. Saya meyakini bahwa dunia jurnalistik adalah awal baginya untuk mengubah dunia. Jurnalistik adalah senjata untuk mengubah dunia.

Jika saja ia membaca tulisan ini, saya ingin kutipkan kalimat dari Joseph Pulitzer, “I still believe that if your aim is to change the world, journalism is a more immediate short-term weapon."


Bogor, 28 Oktober 2016




1 komentar:

Nur Terbit mengatakan...

Saya juga sudah lama mengenal (dari jarak jauh) nama Husain Abdullah sejak masih koresponden RCTI Makassar, justru menonton dia saat saya sudah merantau di Jakarta melalui TV.

Sebagai sesama wartawan, saya pernah bertemu di lapangan. Kalau tidak salah saat saya bersama teman
wartawan Jakarta meliput Kongres PAN di Makassar dimana Amien Rais terpilih sbg Ketum. Saya sempat berkenalan.

Di kesempatan lain, kami bertemu lagi di rumah kediaman almh Hj Tuti Alawiyah ketua BKMT yg ketika itu jadi menteri Peranan Wanita di Jatiwaringin, Pondokgede Bekasi. Ada acara bhakti sosial pemberian sembako kepada warga. Kotak sembako bertuliskan Capres/Cawapres JK-Wiranto.

Mungkin karena baru dua kali bertemu muka di darat, Husain agak lupa-lupa dgn saya kalau sdh pernah ketemu di acara PAN di Makassar sehingga saya hrs kembali berkenalan. Dia terlihat dingin menyambut perkenalan kedua saya ini.

Belakangan setelah saya tahu jadi jubir Wapres JK, sementara saya masih tetap saja wartawan, saya jadi takut mendekat dan memperkenalkan diri. Ya takut kalau dia msh saja lupa dgn saya. Padahal kali ini sdh bertetangga dgn pos liputan saya di Balai Kota Pemprov DKI Jakarta. Kantor Wapres sama2 di kawasan Kebon Sirih Jakpus.

Saya kapok dan Trauma. Sama kapoknya dengan pengalaman saya berkali-kali ketemu dengan teman lain: Adjiep Padindang, mantan wartawan yg jadi anggota DPRD Sulsel dan kini masuk Senayan sbg anggota DPD. Karakternya sama dengan Husain Abdullah. Suka lupa ingatan, eh maaf maksudnya, suka lupa kalau saya sdh pernah berkenalan hahaha...

Terima kasih. Salam

Posting Komentar