MASYARAKAT awam kerap menganggap bahwa dunianya
generasi sekolahan adalah dunia yang serba bernalar, serba rasional, serta
penuh dengan kejernihan. Tak banyak yang mengetahui bahwa dunia kaum terpelajar
pun penuh dengan mitos-mitos, sesuatu yang diterima begitu saja tanpa sikap
kritis.
Kita bisa menyebutnya sebagai kegenitan kaum
terpelajar. Tujuannya untuk membangun jarak antara kaum terpelajar dan tidak
terpelajar. Jarak itu dibangun melalui sejumlah mitos, mulai dari mitos semakin
banyak mengutip maka semakin keren, mitos menggunakan bahasa-bahasa tinggi dan
susah, mitos merasa hebat saat menemukan banyak kesalahan argumentasi
seseorang.
Yuk, kita diskusikan sama-sama.
***
BAPAK itu memulai presentasinya di hadapan para
mahasiswa. Ia adalah doktor yang mengajar di satu kelas perkuliahan perguruan
tinggi. Mahasiswa hanya tertarik mengikuti materinya selama setengah jam.
Selanjutnya, tak ada lagi yang fokus ke materi. Bapak itu terus berbicara tanpa
henti. Saat keluar ruangan, seorang mahasiswa berkata, “Gimana mau tertarik
kalau penuh dengan bahasa susah. Saya tak mengerti.”
Saya tak terlalu terkejut dengan penuturan
mahasiswa itu. Di dunia perguruan tinggi, saya banyak bertemu dengan
orang-orang yang suka menggunakan bahasa tinggi. Yang dimaksud dengan bahasa
tinggi di sini adalah penggunaan kata-kata yang diserap dari bahasa lain. Beberapa
istilah-istilah bertaburan di teks-teks perkuliahan yang dipelajari di perguran
tinggi, yang tak bisa dipahami semua orang.
Di kalangan warga kampus, mungkin sejumlah
istilah sudah sama-sama dipahami. Tapi saat istilah itu dikeluarkan di
masyarakat awam, tak semua orang bisa memahaminya. Iyalah, tak semua orang tahu
apa itu paradigma, aksioma, idealisme, riset, hingga holistik. Jangankan
masyarakat, kaum terpelajar di kampus belum tentu paham makna istilah itu.
Yang saya amati, beberapa orang suka menyebut
istilah-istilah tinggi bukan untuk menyampaikan maksud. Banyak di antaranya
yang hendak mengesankan dirinya pintar, serta mendapatkan respek dari orang
banyak. Maklum saja, posisi sebagai kaum terpelajar dianggapnya lebih tinggi
sehingga pantas mendapatkan penghormatan dari masyarakat biasa. Gimana caranya
supaya diketahui kalau dirinya terpelajar? Lewat sejumlah istilah tinggi yang
susah dipahami.
Coba saja hidupkan pesawat televisi. Amati
dialog-dialog di situ. Pastilah anda akan menemukan begitu banyak istilah dan
bahasa tinggi yang hanya dipahami oleh segelintir orang. Nampaknya, virus
penggunaan bahasa tinggi bukan hanya melanda para akademisi dan pengamat di
media, tapi juga merambah hingga para politisi, kaum profesional, hingga para
pekerja media. Kalau nyambung, maka tetunya tak ada masalah. Yang sering
terjadi adalah seringkali istilah yang digunakan justru tidak nyambung, serta
membuat jarak dengan masyarakat awam.
Berbahasa tinggi hanyalah satu mitos kaum
terpelajar. Sejatinya, terdapat banyak mitos-mitos lain yang juga menghinggapi
kalangan yang menganggap dirinya generasi sekolahan. Beberapa kitos itu tumbuh
subur di beberapa perguruan tinggi di tanah air kita. Selain istilah tinggi,
mitos lain adalah:
Pertama, mitos penggunaan kosa kata bahasa
Inggris. Entah kenapa, ada anggapan kalau berargumentasi dengan sesekali
menyematkan kosa kata bahasa Inggris akan lebih keren dan meningkatkan gengsi
seseorang. Saya mengenal beberapa orang yang kemampuan bahasa Inggris-nya biasa
saja, tapi saat berargumetasi, ia kerap menggunakan beberapa kosa kata bahasa
Inggris. Padahal, ia bisa saja menggunakan bahasa Indonesia. Tapi itu tadi,
dianggapnya tidak keren.
Saat membaca banyak buku yang ditulis akademisi
dalam bahasa Indonesia, saya menemukan begitu banyak kosa kata bahasa Inggris
dalam teks. Demikian pula, saat membaca jurnal berbahasa Indonesia, saya juga
menemukan hal yang sama. Saat melihat kata itu dengan detail, saya merasa bahwa
seharusnya kata itu bisa diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Lihat saja dua paragraf tulisan yang saya ambil
dari satu buku teks perguruan tinggi di atas. Dua paragraf itu menggunakan
banyak kosa kata bahasa Inggris yang disisipkan dalam tulisan. Misalnya: “media management”, “media-friendly”, “public
awareness”, “image-management”, dan “political
marketing”. Padahal, kata-kata itu sudah ada padanannya dalam bahasa
Indonesia yakni kata: “manajemen media”, “ramah media”, kesadaran publik”, “manajemen
gambar”, hingga “pemasaran politik.”
Saya tak mengerti sejak kapan tren penggunaan
bahasa Inggris ini masuk dalam beberapa buku teks yang diterbitkan di tanah
air. Dugaan saya, beberapa istilah sengaja ditampilkan dalam bahasa aslinya
agar tidak terjadi pergeseran makna dari teks aslinya yang berbahasa asing. Tapi
persoalannya, penggunaan bahasa Inggris itu menjadi kebablasan saat hal-hal
sederhana yang hendak disampaikan ditulis pula dalam bahasa Inggris.
Kembali pada pertanyaan awal, mengapa kita suka
menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris? Sebab penggunaan kata itu akan
dianggap keren, berkelas, serta punta cita rasa kaum terpelajar. Bisa saja
menggantinya dengan kosa kata bahasa Indonesia. Namun kata itu akan kehilangan
greget. Seolah-olah tidak ilmiah.
Kedua, mitos banyaknya kutipan. Beberapa kali
saya membaca tesis dan disertasi yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Kesan
saya adalah terlampau banyak kutipan-kutipan serta nama-nama ilmuwan dari
berbagai belahan bumi. Saya bisa memahami kalau kutipan dan nama itu bertujuan
untuk membentangkan peta permasalahan, mendiskusikan satu soalan secara luas
dan mengetahui pendapat dan teori dari banyak orang yang pernah memikirkan hal
yang sama, lalu menemukan celah-celah yang menunjukkan kebaruan dari perspektif yang ditawarkan.
Tapi dalam banyak kasus, sering kali kutipan dan
nama ahli itu sengaja diperbanyak, lalu pendapat pribadi sang penulis tak banyak
muncul di teks yang sedang dibaca. Yang kita temukan adalah parade kutipan,
tanpa melihat bagaimana seseorang mendemonstrasikan gagasannya sendiri. Bagi
saya sih, yang terpenting adalah pendapat orisinil seseorang, sesederhana
apapun itu. Setelah itu bagaimana dia mendialogkan ide-idenya dengan kenyataan
di sekitar, termasuk melihatnya dari perspektif teori.
Ketiga, mitos ujian sebagai arena pembantaian. Di
banyak perguruan tinggi yang saya amati, ujian adalah ajang yang paling mendebarkan
bagi kaum terpelajar baru. Di situ, para guru besar akan menampilkan
kebesarannya sebagai penilai yang menentukan layak tidaknya seseorang menjadi
kaum terpelajar. Bagi seorang mahasiswa, ujian seringkali menjadi ajang
dibantai dari banyak lini. Dalam setiap ujian, para penguji akan mencari
kesalahan sebanyak-banyaknya lalu mendebat mahasiswa itu hingga kehilangan
kata.
Seringkali ada anggapan kalau semakin banyak
menemukan kesalahan, maka semakin bagus. Ujian tidak dikemas menjadi ajang
pembelajaran yang seharusnya membuka perspektif seorang anak didik tentang
hal-hal yang perlu dirambah dan dikuatkan dalam penulisannya.
Dua tahun silam, seorang senior saya dari Pulau
Buton meninggal dunia, beberapa hari setelah ujian proposal. Kata seorang
kawan, ia tertekan karena proposal itu dibantai dan dikatai sampah oleh
pembimbingnya. Dalam beberapa kesempatan, saya juga mendengar berita tentang
mahasiswa yang bunuh diri hanya karena gagal ujian. Beberapa hari lalu, seorang
kawan mendapat kecelakaan saat berkendara ke rumah. Usut punya usut, ternyata
ia berkendara dalam keadaan stres sebab ujiannya tidak mengesankan. Ia merasa
kesalahannya dikuliti hingga akar-akarnya.
Andaikan mitos “ujian sebagai arena pembantaian”
itu dibenahi, maka tak bakal ada asus-kasus seperti yang saya sebutkan di atas.
Harusnya, ujian menjadi arena pembelajaran yang paling baik. Idealnya pula,
kritik yang disampaikan dalam setiap ujian harus tetap fokus pada gagasan, dan
tidak merendahkan si mahasiswa. Kesalahan memahami satu hal dalam dunia
persekolahan adalah hal yang wajar. Melalui kesalahan itu, seseorang bisa
belajar banyak dan mengembangkan kapasitasnya. Sayangnya, seringkali ujian tak
dimaknai sebagai ajang pembelajaran. Yang ada adalah ketakutan karena akan
didebat sampai kehilangan kata.
***
APA yang saya catatan di atas hanyalah sedikit
dari demikian banyak kesalahan anggapan di dunia kaum terpelajar. Harusnya,
intelektualitas menjadi landasan bagi seseorang untuk memahami sesuatu yang
kompleks, lalu membahasakannya dengan cara sesederhana mungkin. Tugas seorang
kaum terpelajar adalah mencerahkan dunia, memisah terang dari gelap, serta
memberikan arah bagi setiap gerak bangsa yang melenceng.
Barangkali, kita bisa mengatakan bahwa
masyarakat kita adalah masyarakat yang terlampau lama dijajah bangsa barat
sehingga segala hal yang identik dengan barat akan dianggap keren, berkelas,
dan oke punya. Makanya, kita berusaha memirip-miripkan gaya dan cara bertutur
demi mengesankan diri kita go international
dan berkelas, padahal yang terjadi adalah kita sedang mendemonstrasikan
ketidakmampuan kita dalam berbahasa dan memilih diksi yang tepat.
ilustrasi |
Saya teringat kisah tentang perbedaan antara
pendekar yang baru belajar, dan pendekar yang sudah makan asam-garam. Seorang pendekar
yang masih baru belajar atau kerap disebut sabuk putih akan membawa pedang ke
mana-mana. Ia akan selalu mengeluarkan pedang dan menebas apapun, demi mendapat
pujian ataupun anggapan sebagai pendekar. Sementara pendekar yang benar-benar
pendekar tak perlu membawa pedang. Ia akan menjadi warga biasa yang berjalan
membawa ranting pohon. Namun di saat dirinya dalam kondisi krisis dan harus
bertempur, ia bisa mengubah ranting itu menjadi pedang yang paling sakti.
Mungkin demikianlah seharusnya dunia kaum terpelajar.
Semakin sakti seseorang, semakin membumilah dirinya. Ia tak akan membangun
jarak dengan masyarakat. Ia akan melebur bersama masyarakat, ia menjadi tempat
bertanya, ia memberikan jawaban yang terang dan jelas, ia menjadi penjaga nilai
yang menyerap kearifan dari setiap masyarakat, lalu mengembalikannya sebagai
embun berharga bagi orang banyak.
Saat mengakhiri tulisan ini, saya baru saja
mendengar percakapan seorang terpelajar dan seorang masyarakat awam.
“Brother, apakah bisa
kita melakukan sharing resources
sehingga bisa tercipta landasan hidup yang lebih equal di antara kita? tanya seorang terpelajar kepada kawannya.
“Maksudmu?” kata
kawannya.
“Maksud saya, resources harus dibagi rata biar tidak
terjadi instabilitas sosial yang memicu konflik sebagai akibat dari segregasi
sosial,”
“Saya tak ngerti,”
“Maksud saya, apakah
rokok itu bisa dibagikan?”
“Ah, sialan kau, Ternyata
kau hendak minta rokok. Ngapain pula memulainya dengan berbagai istilah-istilah
tinggi!”
Bogor, 8 Agustus 2016
BACA JUGA:
3 komentar:
Hahaha....mitos ketiga, Bang. Saya pernah mengalaminya, tetapi masih bisa diantisipasi kalau yang "terbantai" juga pandai bercocoklogi. Hahahahaha....asalkan bukan soal eksak. ^^,
Wah saya agak kesindir sih, karena kadang-kadang memasukkan kata-kata serapan dari bahasa asing kedalam tulidan untuk pembaca Indonesia. Ampunnnnn
Alhamdulillah, sejauh ini mitos ketiga belum kerasa. Mulai dari seminar proposal sampai hasil, yang saya terima berupa masukan saja. Hanya bisa berharap di ujian meja juga terjadi hal yang sama, sehingga tidak ada yang namanya pembantaian.
Posting Komentar