DI berbagai media sosial, pemilihan kepala
daerah (pilkada) seolah-olah hanya memperhadapkan antara Ahok – Djarot versus
Anies – Sandiaga. Lantas mengapa survei terbaru Saiful Mudjani Research Center
(SMRC) justru mengunggulkan Agus – Sylvi sebagai pasangan yang paling siap
untuk menantang petahana? Mengapa bukan Anies?
Marilah kita menelaah berbagai fenomena politik
yang di satu sisi susah ditebak, namun di sisi lain justru terang-benderang. Kita
sedang berhadapan dengan satu adu taktik yang senyap, cepat, dan tepat dari tim
Agus, yang secara perlahan meninggalkan tim Anies yang pendukungnya masih sibuk dengan isu agama serta menyebar kabar kebencian, tanpa memasuki jantung
substansi mengapa DKI 1 harus dimenangkan.
Bukan tak mungkin, Agus akan terus menjadi
kandidat paling siap untuk menduduki kursi DKI 1. Selamat datang di era politik
yang serupa prajurit tempur yang senyap cepat dan tepat menguasai arena dan
menancapkan bendera kemenangan.
***
DARI menara gading perguruan tinggi, lelaki itu
akhirnya masuk gelanggang. Dia seorang akademisi yang kerap berkutat dengan
berbagai pemikiran filosofis dan diskursif. Dia seorang doktor bidang filsafat
yang memahami dengan baik filosofi negara, manusia, dan ranah gerak budaya
serta peradaban. Lelaki itu adalah Rocky Gerung.
Hari itu, dia diminta untuk memberi briefing pada anak muda usia 37 tahun
yang akan memasuki panggung politik. Anak muda itu, Agus Harimurti Yudhoyono
adalah putra Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia dua periode. Rocky
diminta untuk menjadi partner Agus berdiskusi. Dia menajamkan gagasan, lalu
memberikan masukan-masukan berharga yang bisa menjadi amunisi gagasan bagi
Agus. Mereka berdiskusi selama dua jam. Agus menjelaskan konsep membangun kota.
Rocky mempertajam gagasan itu menjadi bagaimana membangun manusia.
Pertemuan itu dicatat dalam Tempo, edisi 17-23 Oktober 2016. Di
majalah itu, Rocky mengatakan ingin mengantar transisi Agus dari militer ke
dunia sipil. Tentara selalu berada dalam situasi darurat sehingga pergerakannya
selalu efisien. Dalam militer, perintah atasan tak mungkin didebat. Tapi di
dunia sipil, segala hal bisa didebat. Dialektika adalah cara untuk menemukan
pengetahuan. Biarpun Agus punya latar sebagai alumnus Harvard University, ia
perlu disiapkan untuk memasuki panggung debat.
Diskusi antara Rocky dan Agus itu berlangsung
di tengah hingar-bingar politik bernuansa agama di berbagai media. Gubernur DKI
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tengah menjadi sasaran demo dari berbagai elemen
gerakan Islam. Di berbagai kanal media sosial, pendukung Anies mengutuk Ahok
yang dianggap menistakan agama. Tak hanya itu, kecaman berujung pada kebencian
pada segala hal berbau Cina. Propaganda hitam disebar dan memasuki ruang-ruang
diskusi di berbagai media sosial.
Di atas kertas, Ahok seolah-olah hanya
berhadapan dengan Anies. Agus hanya dianggap sebagai 'anak bawang' yang masih
hijau. Media sosial hanya dipenuhi wacana tentang Ahok, serta Anies yang
memosisikan diri sebagai anti-tesis Ahok. Pertarungan keduanya seolah-olah
ulangan dari duel di arena pemilihan presiden yang memperhadapkan Jokowi dan
Prabowo.
Hingga akhirnya survei SMRC dirilis. Hasilnya
cukup mengejutkan sebab elektabilitas Agus justru berada di atas Anies.
Rupanya, pergerakan Agus ke kantong-kantong pemukiman warga Jakarta perlahan
mendatangkan hasil. Dia tidak sesangar Anies yang menemui warga yang tergusur
akibat pelebaran sungai, akan tetapi Agus justru bisa mengambil banyak poin
saat menungunjungi pemukiman warga kelas menengah.
Bagi yang melibatkan emosi serta aspek
keyakinan religi dalam pilkada, sulit menjelaskan fenomena ini. Rasanya tak
percaya menyaksikan sang idola Anies Baswedan bisa dikalahkan oleh anak kemarin
sore.Padahal, bagi yang mengikuti pilkada ini secara intens, fenomena ini sudah
terbaca sejak jauh hari.
Lima Teori
Marilah kita telaah satu per satu, mengapa Agus
lebih populer dari kandidat yang diajukan Gerindra dan PKS ini.
Pertama, positioning.
Dalam setiap perhelatan pilkada, setiap kandidat berusaha menemukan positioning yang membuat dirinya beda
dari kandidat lain. Sebagai petahana, Ahok sudah punya positioning sendiri. Anies – Sandi memosisikan diri sebagai anti-tesis
Ahok. Mereka datang dengan menawarkan kesantunan serta karakter yang tenang dan
tidak meledak-ledak sebagaimana Ahok. Tak hanya itu, Anies-Sandi juga
melibatkan tiga mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai anggota
tim pemenangan.
Sebagai antitesis petahana, ditambah lagi
dukungan kuat PKS, simbol-simbol agama nampak pada pedukung Anies. Tim-tim
lapangan mengkonstruksi realitas seolah-olah Jakarta akan menjadi basis kaum
pendatang yang beragama lain. Jakarta harus dipimpin mayoritas, yang lebih
paham situasi Jakarta. Anies dihadirkan sebagai pemimpin umat yang selalu
membawa simbol-simbol agama.
Agus memilih positioning yang lain. Dia memilih pakaian berwarna agak gelap,
serta terdapat tulisan namanya. Saat di lapangan, ia serupa prajurit militer
yang mendatangi setiap titik pertempuran. Pergerakannya efisien dan efektif.
Saat datang, ia berusaha meleburkan dirinya dengan orang lain, tanpa harus
mengambil jarak. Ia tidak datang dengan membawa simbol agama. Ia menampilkan
dirinya sebagai figur yang memayungi semua orang.
Kedua, teori konspirasi. Terkait pidato
Ahok di Kepulauan Seribu yang memantik murka, maka terdapat tiga dugaan. Ada yang
menduga isu SARA yang bersumber dari pidato Ahok sengaja dibesarkan tim Anies
untuk menjatuhkan elektabilitas Ahok. Ada juga juga isu kalau tim Agus ditopang
oleh tim intelijen yang efektif lalu menyebarkan tayangan tiga menit itu secara
viral. Terakhir, ada pula yang mengatakan bahwa isu SARA itu dihembuskan oleh tim Ahok sendiri yang lalu memantik murka pendukung Anies.
Apapun isunya, benang merahnya sama yakni pendukung
atau loyalis Anies-Sandi yang lalu terpancing dan menelan umpan itu. Yang
terasa di media sosial adalah berbagai kabar-kabar kebencian terhadap petahana.
Pola kampanye ini sudah pernah dilakukan tim Prabowo saat pilpres lalu.
Strategi ini terbukti kalah telak dan gagal meyakinkan publik. Jika tim Anies
masih melakukan hal yang sama, maka sejarah akan berulang. Lebih parah lagi
saat Anies ikut-ikutan berkomentar yang seolah mendukung suara penuh benci para
pendukungnya. Sikap ini jelas menjadi bumerang yang akan menghantam dirinya.
Dia gagal menjadikan dirinya sebagai negarawan yang hendak menjaga tenunan
kebangsaan yang nyaris sobek oleh kebencian rasial dan isu politisasi agama.
Sejauh ini, kampanye Agus – Sylvi cukup
simpatik. Kampanyenya di media sosial lebih banyak menunjukkan kedekatan mereka
dengan masyarakat. Pengelolaan isunya lebih terorganisir dan rapi. Agus kerap
blusukan ke mana-mana. Formula ini sudah pernah dilakukan Jokowi dan sukses
mengalahkan petahana, yang saat itu adalah Foke.
Ketiga, tawaran program. Tim Anies-Sandiaga
lebih sibuk membahas kinerja dan gerak petahana, ketimbang memperjelas apa yang
hendak mereka lakukan di masyarakat. Mereka sibuk
memetakan kekuatan lawan, tanpa mengukur sejauh mana kekuatan diri sendiri.
Kunci kemenangan adalah pengenalan lawan, namun mengabaikan kekuatan sendiri
adalah jalan pintas untuk kalah. Jauh lebih baik fokus pada keunggulan
diri, ketimbang memikirkan semua kesalahan ataupun nestapa yang telah dilakukan
pesaing saat menjabat.
Yang muncul adalah ketidakjelasan serta
kebingungan publik tentang apa yang akan dilakukan pasangan ini jika kelak
terpilih. Ambil contoh, dalam satu kunjungan ke warga yang hendak digusur, ia
mengatakan, "Harus ada solusinya, Bukan sekadar tidak menggusur atau
menggusur, yang diperlukan masyarakat kecil adalah solusi."
Pertanyaannya, solusi apa yang hendak
diajukannya? Bukankah ia juga tidak memberikan respon yang sejajar? Selain dari visi
Jakarta yang katanya akan lebih manusiawi, publik hampir tak pernah mendengar apa
yang mau dilakukan oleh pasangan ini.
Dalam situasi begini, orang bisa mengambil langkah pragmatis yakni
memilih kandidat yang sudah jelas apa kinerjanya, yang dalam hal ini adalah
petahana.
Tawaran program Anies – Sandiaga memang lebih
banyak kritikan pada petahana. Kalau kinerja petahana buruk, maka dia akan
mendapat nilai plus dari kritiknya, sebagaimana pernah dirasakan Jokowi-Ahok
saat mengkritik Foke sebab dianggap sedang menyuarakan aspirasi kebanyakan
orang. Namun jika kandidatnya bagus dan disukai publik, maka itu sama saja
dengan melempar bumerang. Sejauh ini, mayoritas publik Jakarta puas dengan
kinerja Ahok. Mengkritik program Ahok sama dengan menentang kepuasan sebagian
besar warga Jakarta. Akan lebih baik jika tim Anies memberikan gambaran bagi warga tentang area-area
yang belum pernah disentuh serta harapan yang mereka berikan ketika diberi
kepercayaan untuk menjabat.
Tim Agus setali tiga uang dengan tim Anies.
Bedanya, Agus adalah sosok yang nampak santun, tapi misterius. Kekuatannya
adalah pada ketidaktahuan publik tentang apa saja yang akan dilakukannya.
Publik berharap ada kejutan atau minimal sesuatu yang baru saat memutuskan
untuk memilih Agus.
Keempat, teori personal branding. Karakter
Anies terkesan oportunis. Dia terlihat haus kekuasaan. Dalam banyak momen
politik, ia selalu hadir. Mulai dari konvensi Partai Demokrat, juru bicara
Jokowi – JK, hingga akhirnya menjadi cagub dari koalisi Gerindra dan PKS. Dia
juga belum lama diberhentikan dari posisi menteri di kabinet Jokowi. Selama
menjabat sebagai menteri, tak banyak hal-hal besar yang terdengar di publik.
Yang masih membekas adalah ajakan untuk mengantar anak ke sekolah, yang di media
sosial dibuatkan meme kalau Anies tidak membuat kebijakan agar menjemput
kembali anak itu agar pulang ke rumah.
Tadinya saya berharap dia melakukan banyak hal baik bersama masyarakat. Jika saja Anies mau bersabar, seusai menjadi
menteri, ia bisa kembali terjun ke masyarakat demi melanjutkan kerja-kerja
bersama kelompok relawannya. Ia bisa mengabdikan dirinya sebagai guru di daerah
terpencil demi menepis anggapan dirinya tidak punya track-record sebagai guru
dan pengajar. Dia juga harusnya kembali aktif bersama relawan Turun Tangan dan
membuat banyak hal baik bagi bangsa ini.
Jika ia melakukan pengorganisasian sosial ini,
namanya akan terus dirawat publik sebagai sosok penuh integritas. Beberapa
tahun ke depan, ia akan menjadi kandidat yang paling siap untuk menantang
Jokowi di kursi RI 1. Sandiaga juga terlalu dipaksakan. Sejauh ini hampir belum
ada track-record hebat yang mereka
tunjukkan di arena sebelumnya. Publik diam-diam mencatat itu
Agus dalam posisi yang lebih beruntung. Namanya
memang belum dikenal, tapi semua orang tahu siapa ayahnya. Sebagai mantan
presiden yang dua kali memenangkan pemilihan langsung, ayah Agus punya modal
sosial dan modal kultural yang bisa diwariskan kepada anaknya. Sosok Agus yang
satu-satunya kandidat berlatar militer bisa menjadi nilai plus. Ditambah lagi
pasangannya adalah satu-satunya perempuan di perhelatan politik ini. Maka,
wajar jika publik berharap mereka melakukan hal baru yang merupakan kelanjutan
dari kinerja baik petahana.
Kelima, teori bayang-bayang. Pilkada ini memang
rasa pilpres. Semua kandidat punya mentor. Di belakang Agus-Sylvi terdapat nama
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seorang jenderal ahli strategi militer yang dia kali
memenangkan pemilihan langsung presiden. Di belakang Anies Sandi, terdapat nama
Prabowo Subianto, jenderal yang menjadi kandidat presiden di pilpres lalu. Di
belakang Ahok-Jarot, terdapat nama mantan Presiden Megawati Sukarnoputri, sosok
paling senior di jagad politik Indonesia.
Jangan pula dilupakan nama Jokowi di belakang
Ahok. Hingga kini saya masih berkeyakinan faktor Jokowi adalah kartu paling
kuat yang dimiliki Ahok. Jika Jokowi netral, maka perhelatan politik ini akan
berjalan seru. Sejauh ini, Jokowi adalah politisi yang terkuat saat ini.
Masuknya ia di arena pilkada bisa mempengaruhi banyak peta politik. Di mata
saya, yang berhadapan di pilkada ini adalah Jokowi versus SBY. Kedua-duanya
sama-sama pernah memenangkan pertarungan politik. Biarpun, kemenangan Jokowi
lebih spektakuler sebab memulai karier dari walikota yang melejit hingga
prsiden, kehadiran SBY tetap saja akan membuat pilkada ini menjadi lebih
dinamis dan berliku.
***
LIMA teori di atas hanyalah penghampiran
sederhana dalam menyatukan berbagai kepingan politik yang tengah berdenyut di
jantung ibukota kita. Bagian paling menarik tentu saja hiruk-pikuk publik di
media sosial, yang sejatinya tak pernah bisa menjadi patokan keunggulan.
Mengutip Merlyna Lim (2013), aktivitas politik di media sosial dicirikan
kalimat “Many clicks but little sticks.”
Banyak klik, tapi kurang rencana aksi. Ketimbang berwacana di media sosial,
jauh lebih baik jika turun lapangan, memetakan kekuatan, lalu menentukan hendak
memilih segmen mana.
Masing-masing punya kelemahan, tapi masing-masing punya kekuatan yang bisa dioptimalkan untuk negeri. Kekuatan Ahok adalah kerja-kerja yang
dilakukannya selama menjabat, yang menyentuh hati banyak warga Jakarta. Kekuatan Anies adalah kesantunan dan
kekuatan gagasan yang bisa membawa Jakarta menjadi lebih baik. Kekuatan Agus
adalah kemampuan memetakan apa saja amunisi yang bisa membawa Jakarta lebih
hebat demi menggempur segala masalah di ibukota.
Pemenangnya belum bisa ditebak saat ini. Masih ada waktu empat bulan untuk melihat siapa yang paling pandai menerapkan strategi untuk memenangkan pilkada ini. Sebagai publik, kita berharap akan menyaksikan orkestra politik yang sarat strategi dan taktik. Kita berharap akan menyaksikan ajang festival gagasan, bukannya beragam isu SARA yang justru bisa membuat tenunan kebangsaan ini kian sobek. Kita berharap menyaksikan dialog-dialog yang menumbuhkan bangsa, bukannya aksi saling kecam lalu ancaman untuk membunuh. Kita ingin ada damai yang terus menjadi napas bangsa ini, tanpa harus kehilangan wibawa dan karakter sebagai bangsa yang cinta damai.
Siapakah pemenangnya? Marilah kita bersama-sama menebaknya. Tebakan saya, pemenangnya adalah sosok yang bisa membumikan filosofi perang Sun Tzu, “Kenali dirimu, kenali lawanmu. Maka kau bisa menang dalam 100 pertempuran, tanpa risiko kalah. Kenali bumi, kenali bumi, maka kemenanganmu akan lengkap.”
Siapakah pemenangnya? Marilah kita bersama-sama menebaknya. Tebakan saya, pemenangnya adalah sosok yang bisa membumikan filosofi perang Sun Tzu, “Kenali dirimu, kenali lawanmu. Maka kau bisa menang dalam 100 pertempuran, tanpa risiko kalah. Kenali bumi, kenali bumi, maka kemenanganmu akan lengkap.”
Bogor, 20 Oktober 2016
BACA JUGA:
4 komentar:
Seperti strategi sby kala pemenangan pilpres, analaisanya mantab,
Tapi tetap saja ahok masih memiliki point kemenangan lebih, dengan modal kinerja yang bagus selama memimpin, dan saya rakyat jakarta rata-rata pemilih cerdas...seru juga ini
Kok rasanya si penulis secara tdk langsung kampanyekan patahana y? Itu kesimpulan saya
Menurut saya penulis hanya lebuh jujur dalam memaknai realitas politik mas hehe
Teori ini ditulis dibulan oktober 2016.... tapi sekarang tulisan ini ternyata tidak cocok lagi dengan bulan januari 2017... karena semua sudah terbalik... berarti penulis salah tafsir.
Posting Komentar