Dalam Tempurung BENEDICT ANDERSON

buku terbaru Ben Anderson yang diterbitkan Marjin Kiri

SEORANG peneliti adalah seorang manusia biasa. Dia menjalani hari dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Bedanya, dalam setiap fragmen aktivitas, dia selalu membangun dialog dengan diri dan sekitarnya, lalu memperkaya pengalaman dan pengetahuannya. Dari pengetahuan yang sedemikian kaya itu, ia menyarikan beberapa kembang dan buah pemikiran, yang kemudian dinikmati orang banyak.

Amat jarang kita menemukan catatan seorang peneliti tentang dirinya, latar keluarganya, serta siapa saja yang mempengaruhinya. Yang lebih sering kita temui aalah hasil amatan lapangan, penjelajahan ke berbagai lapis realitas dengan menggunakan alat bor ilmu dan metodologi, lalu penemuan berbagai danau-danau indah ilmu pengetahuan di kedalaman realitas. Dalam banyak hal, para peneliti lebih suka membahas temuan-temuannya, ketimbang perjalanannya untuk menemukan sesuatu.

Selama seminggu ini, saya selalu membawa-bawa buku Hidup di Luar Tempurung, karya Indonesianis, profesor, dan peneliti hebat Benedict Anderson, terbitan Marjin Kiri tahun 2016. Buku ini adalah catatan harian yang ditulis mengenai dirinya sendiri, serta kisah-kisah di balik lahirnya beberapa karya besarnya yang kemudian mendunia.

Di mata saya, buku otobiografi seperti ini amatlah langka. Dalam ranah sastra, saya pernah membaca tiga jilid buku Proses Kreatif yang diedit Pamusuk Eneste yang mengisahkan perjalanan kepengarangan para pengarang besar, mulai dari Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, hingga penulis Seno Gumira Adjidarma. Untuk peneliti, saya pernah melihat buku Dari Wina ke Yogyakarta: Kisah Hidup Herb Feith yang mengisahkan kehidupan dan latar penciptaan karya dari sosok Professor Herbert Feith. Meskipun sudah memiliki buku tentang Herbert Feith ini, saya belum sempat membaca isinya.

Buku yang ditulis Benedict Anderson, sosok yang akrab dipanggil Ben ini, ibarat oase yang bercerita banyak hal tentang dirinya sendiri. Melalui buku ini, saya menemukan sosok Ben yang paling dekat. Tak sekadar sosok yang membedah nasionalisme dan menjelaskan bagaimana tumbuhnya negara dan bangsa serta mitos-mitos di dalamnya, tapi juga bagaimana pengalaman serta hal-hal biasa yang memunculkan karya-karya luar biasa.

Bagi para pengkaji Indonesia, nama Ben adalah nama yang ditempatkan pada posisi puncak. Akademisi Cornell University ini adalah seorang penjelajah dan perambah di rimba akademik. Ia bukan saja menerabas batasan-batasan pengetahuan yang membuat seorang ilmuwan bekerja dalam kamar-kamar ilmu yang sempit, ia juga seorang aktivis yang berani menyatakan benar sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukannya. Ia juga penentang Orde Baru, sosok pertama yang mengajukan tafsir dan analisis yang berani menuding militer sebagai dalang peristiwa G.30S. Mesipun analisis ini menyebabkan dirinya dicekal masuk ke Indonesia selama masa Orde Baru.

Saya membaca sekilas beberapa buku karya Ben. Yang membekas buat saya adalah dua bukunya yakni Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), yang menelaah bagaimana nasion tumbuh organik dalam beberapa suku bangsa karena beberapa faktor eksternal, serta buku Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990). Dua buku ini ibarat mercon di kepala saya yang meledakkan banyak konsep-konsep. Saya terperangah karena sebagai ilmuwan politik, Ben begitu piawai mendeskripsikan lalu menganalisis berbagai elemen budaya untuk menjelaskan fenomena politik. Ia masuk ke jantung budaya Jawa demi melakukan thick description (meminjam istilah Clifford Geertz) yang membantunya memahami bagaimana budaya merasuki dunia politik, lalu menjelaskannya kembali melalui lensa budaya. Sayang sekali karena saya belum pernah menemukan disertasinya yang  berjudul Java in a Time of Revolution: Occuation and Resistance 1944-1946, yang terbit tahun 1972.  Konon, buku ini sama bagusnya dengan dua buku sebelumnya yang saya sebut di atas.

Buku Hidup di Luar Tempurung adalah terjemahan dari buku A Life Beyond Boundaries. Aslinya, buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Jepang, atas permintaan mahasiswa Jepang yang ingin mengetahui bagaimana cara kerja dan alam berpikir seorang profesor asal Amerika Serikat. Ben menyusunnya serupa seorang kakek yang tengah mendongeng di hadapan cucunya. Ia memulai dari penjelasan tentang dirinya, keluarganya, setelah itu bergerak membahas kajian wilayah, kerja lapangan, kajian komparatif serta pendekatan interdisipliner dalam ilmu pengetahuan. Ia menuntaskan bab dengan membahas percikan pemikirannya saat pensiun.

Meskipun saya tahu bahwa masa silam itu penting, saya tidak terlalu tertarik membaca masa kecilnya. Saya terpesona membahas catatannya tentang kerja lapangan. Di kalangan para pengkaji Indonesia, Ben dikenal sebagai seseorang penuh totalitas dalam hal kerja lapangan. Sebelum ke lapangan, ia mempelajari segala hal tentang budaya yang akan dimasuki, hingga pada taraf menjelma sebagai pemilik budaya itu.

Beberapa orang yang mengenalnya bercerita kalau dirinya memahami bahasa Indonesia dnegan baik, dan bisa menulis dnegan gaya yang sarkastis dan nyentrik. Tak hanya itu, ia juga memahami bahasa Jawa paling halus, dan bisa menggunakannya secara aktif dalam percakapan. Ia mempelajari seluruh mitos, kisah, filosofi, hingga elemen budaya Jawa demi menjelaskan banyak hal dalam dunia politik Indonesia.

Saya suka bagian-bagian yang membahas dialognya dengan kenyataan sekitar. Ia bertemu sejarawan Ong Hok Ham yang menjamunya dengan makanan yang serba pedas di Jakarta. Setelah itu, ia tak bisa pulang ke rumahnya karena hujan, sehingga dipinjami sarung untuk tidur.Di situlah ia merasa klop dengan Indonesia. Saat pulang, ia minta maaf ke ibu kosnya karena tidak pulang semalam. Tapi ibu kosnya menjawab santai, “Itu hal biasa karena hujan. Orang bisa nyangkut di mana saja. Namanya saja laki-laki.”

Mulanya ia merasa shock sebab dirinya melanggar kepantasan ala Eropa, namun ibu kosnya menganggap itu biasa saja. Ia mengalami gegar budaya. Belakangan ia tahu kalau laki-laki dan perempuan punya posisi berbeda di rumah. Perempuan kerap dipingit dan tidak diijinkan keluar rumah. Laki-laki malah dibebaskan. Gegar budaya kedua dialaminya ketika melihat sejumlah anak kecil bermain bola. Demi membedakan lawan dan kawan, maka satu pihak membuka baju dan telanjang bulat. Kembali ia shock sebab anak-anak di Eropa dan Amerika tidak pernah bermain dalam keadaan telanjang.

Saya suka membaca bagian ini. Setiap peneliti pastilah berhadapan dengan berbagai ketidaknyamanan. Pada setiap ketidaknyamanan itu, seorang peneliti terus belajar, sembari memperbaharui pengetahuan teoritik dan metodologi yang digunakannya. Ben memutuskan untuk belajar bahasa Indonesia hingga level mahir. Ia belajar bahasa Jawa pada Professor Poerbatjaraka. Ia bergaul dan berinteraksi dnegan banyak orang, menhabiskan waktunya untuk nonton gamelan, tari, hingga atraksi kesurupan. Ia melalui banyak peristiwa, sampai-sampai pernah dikira intel Belanda. Dari banyak pengalaman lapangan, ia terus mengasah dirinya untuk memahami semua ekspresi lokal, yang mempengaruhi kedalaman analisisnya.



Membaca halaman 99, saya tertegun. Ia bercerita tentang sesuatu yang paling substansi dari kerja lapangan. Ia menyebut sesuatu yang lebih penting, yakni tidak fokus pada riset, melainkan rasa ingin tahu yang tak pernah padam tetang segala hal lalu mencatatnya. Ia mengatakan:

“Saya mulai menyadari sesuatu yang mendasar perkara kerja lapangan; bahwa percuma kiranya untuk berkonsentrasi semata-mata pada “proyek riset”. Orang harus punya rasa ingin tahu yang tak ada habisnya tentang segala sesuatu, mempertajam mata dan telinga, dan mencatat hampir apa saja. Inilah rahmat besar kerja semacam ini. Mengalami rasa menjadi orang asing membuat semua indera jauh lebih peka ketimbang biasanya, dan kedekatan pada kajian komparatif jadi kian dalam. Ini sebabnya kerja lapangan juga berguna saat kau kembali ke tempat asal. Kau akan mengembangkan kebiasaan mengamati dan membuat perbandingan yang mendoong atau memaksamu mulai menyadari bahwa budayamu sendiri juga sama anehnya –asalkan kau melihat dengan cermat, tak berhenti membuat perbandingan, dan menjaga jarak secara antropologis.”

Bagian lain yang saya sukai adalah pembahasan tentang kajian komparatif dan inter-desipliner. Membaca bagian ini membuat saya beberapa kali menggoreskan stabilo. Intinya, Ben tak setuju dengan pengkotak-kotakan ilmu menurut berbagai bidang. Menurutnya, seorang ilmuwan harus terbuka dan harus berani menjelajah ke berbagai bidang ilmu demi bisa memahami satu kepingan realitas secara holistik. Makanya, saat membahas nasionalisme, ia tidak banyak mengutip teori politik. Ia banyak mengambil kajian budaya demi menjelaskan kekuatan politik tunggal dan kerangka kerja yang melandasinya. Penjelasannya menjadi lebih mendalam dari kajian para ilmuwan politik lainnya.

Ia ingin meruntuhkan pagar disiplin ilmu. Ia menganjurkan agar di level pasca-sarjana, mahasiswa diminta untuk membaca buku-buku bagus dari ranah disiplin lain. Bahkan, dibuat kuliah-kuliah menarik yang bisa mempertemukan mahasiswa lintas disiplin. Untuk soal ini saya sangat setuju. Pengalaman saya saat belajar di Ohio, saya menemukan tiadanya pengkotakan itu. Semua orang bisa belajar di berbagai disiplin, setelah itu kembali ke disiplin ilmunya dan membawa pendekatan baru.

Yang mengejutkan saya, Ben malah menganjurkan agar seorang ilmuwan tidak menulis dengan gaya yang terlalu akademis, yang seakan-akan ditujukan hanya untuk sekelompok ilmuwan dari disiplin yang sama. Ia menentang cara menulis jurnal yang seragam seperti itu. Seharusnya, ilmuwan merobohkan pagar keilmuan dengan cara meningkatkan mutu prosa dalam menulis, mengurangi gaya menulis yang membosankan lalu membuka jalan bagi pembaca potensial yang jauh lebih luas. Seorang ilmuwan harus menulis untuk publik, dengan bahasa yang mudah dimnegerti, lalu mencerahkan publik melalui setiap goresan tulisannya. Untuk ini, seorang peneliti harus belajar pada novelis yang piawai menulis untuk orang banyak agar tulisannya tidak menjemukan. Sepakat!

Di luar dari aspek ini, saya juga suka bagian yang membahas guru-gurunya, di antaranya adalah para ilmuwan hebat George MT Kahin, Claire Holt, dan John Echols. Saya ingin mengisahkan hubungan unik Ben dengan gurunya pada tulisan lain. Yang pasti, kisahnya membuat saya semakin yakin pada pernyataan bahwa di balik seseorang yang hebat, terdapat banyak orang lain yang juga hebat, yang menginspirasi, menjadikan orang itu hebat dengan caranya sendiri, lalu dipenuhi bahagia saat melihat orang lain menjadi hebat.

Tanaman yang kokoh akan selalu tumbuh di atas tanah gembur, yang menyediakan segala hal agar tanaman itu berdiri kokoh, cabang dan rantingnya memenuhi udara dan hendak mengagapai mega-mega. Karakter yang kuat hanya akan muncul dari belaian tangan-tangan yang juga berkarakter dan memberikan spirit kuat.  Pada titik inilah, saya mengagumi Ben dan berharap bsia jadi muridnya. Sayang, dirinya sudah dalam genggaman Yang Maha Mengenggam. Lagian, aku mah apa atuh…


Bogor, 6 Oktober 2016

BACA JUGA:









0 komentar:

Posting Komentar