Studi PORNO, Studi Paling Asyik

ilustrasi

DI sebagian besar masyarakat kita, pornografi masih dilihat sebagai sesuatu yang terlarang untuk dibicarakan. Norma dan sistem sosial memaksa kita untuk tabu membicarakannya secara terbuka. Namun secara tertutup, pornografi adalah salah satu topik paling asyik untuk diikuti. Banyak orang, baik alim ataupun kafir, berilmu ataupun tidak, diam-diam selalu mengikuti dan mencari hal-hal mengenai pornografi.

Hari ini, pengetahuan saya tentang pornografi bertambah. Saya menemukan jurnal ilmu sosial yang bertemakan Porn Studies. Saya bertanya-tanya, apakah gerangan pelajaran yang bisa dipetik dengan mengamati topik pornografi? Bisakah kita mengambil hikmah dan mengajukan proposisi ilmiah seusai memperhatikan berbagai gambar porno? Dugaan saya, topik ini akan menjadi topik paling asyik untuk dibahas dan didiskusikan di kelas. Untuk memahami pornografi, mungkin kita bisa memulai pelajaran dengan melihat gambar porno lebih dahulu. Asyik khan?

Tadinya saya anggap Studi Porno itu hanya candaan. Ternyata memang benar ada. Jurnal ilmiah Studi Porno dikeluarkan oleh Routledge, sejak tahun 2014. Sebagai editor jurnal ini adalah Feona Attwood, profesor di Middlesex University. Editor lain adalah Clarissa Smith dari Univrsity of Sunderland. Di jurnal ini, terdapat undangan untu berpartisipasi. Mereka menyebut jurnal ini adalah yang pertama di dunia, yang bertujuan untuk mengkritik berbagai ide tentang produk budaya yang disebut pornografi.

Yup, pornografi memang produk kebudayaan. Ia ditentukan oleh sejauh mana manusia memaknainya sesuai dengan konteks budaya. Ia sama dengan seksualitas yang selalu dimaknai secara berbeda. Jika orang Cina mendefinisikan kaki perempuan yang kecil sebagai sesuatu yang erotis, maka orang Amerika belum tentu berpandangan sama. Bagi orang Amerika, adegan ketika Demi Moore membentuk keramik dalam film Ghost dianggap sebagai adegan yang penuh erotisme. Adegan itu mengandung unsur porno.

Bahwa melalui pornografi dan gambar-gambar sensual itu, kita bisa menemukan bagaimana masyarakat mengkonstruksi makna pornografi yang berbeda-beda sesuai dengan budayanya. Kita bisa menelaah peta-peta sosial dan budaya saat membahas pornografi. Kita bisa melihat bagaimana persepsi tentang pornografi dibentuk oleh rezim yang berkuasa. Kita bisa mengetahui bagaimana sejarah pornografi menjadi fundasi pemaknaan di setiap zaman. Kita jadi paham bahwa masyarakat kita menafsirkan pornografi sesuai konteks dan budaya.

dua buku Brian Mc Nair yang membahas seks

Hari ini saya membaca satu review buku yang ditulis akademisi Ilmu Komunikasi asal Australia, Brian Mc Nair. Ia menulis buku berjudul Chic! How Pornography Changed the World and Made it a Better Place yang diterbitkan Routledge, tahun 2013. Mc Nair membahas pornografi dalam kaitannya dengan kapitalisme. Ia membedah pornografi dengan cara pandang cultural studies, mendefinisikan bahwa ada wacana pusat dan wacana pinggiran saat membahas identitas pornografi. Pornografi disebutnya telah mendorong lahirnya evolusi teknologi komunikasi dan media industri. Pornografi menginspirasi seni dan budaya, melalui upaya mendorong diferensiasi gender dan seksualitas.

Sekilas membaca buku Mc Nair, saya menemukan istilah menarik yakni "Pornosphere". Ia menggunakan istilah ini untuk menyebut ruang publik dalam pengertian filsuf Jurgen Habermas di mana wacana seksual bisa ditemukan dalam teks ataupun visual. Pornosphere menyediakan demokratisasi hasrat yang bsia disaksikan di berbagai produk budaya dan teknologi, di antaranya cetak, fotografi, gambar bergerak, dan internet.

Studi Porno ini bisa menjadi jendela untuk memahami budaya dan masyarakat. Saya belum tuntas membaca buku Mc Nair, tapi dari membaca sekilas, saya bisa merasakan betapa banyaknya topik yang bsia dieksplorasi dalam studi ini. Yang dibahas bukanlah aspek biologi dan reproduksi, melainkan bagaimana konstruksi sosial, budaya, sejarah, serta lahirnya teknologi yang membuat pornografi menjadi industri yang lalu tersebar ke mana-mana, mendorong lahirnya dialog antar budaya, hingga akhirnya aspek politik yang memapankan pengertian atas mana yang disebut pornografi dan mana yang bukan.

Saya lalu menelusuri Studi Porno ini di beberapa universitas di Eropa dan Amerika Utara. Ternyata studi ini telah lama menjadi bahan kajian para akademisi. Dalam perkuliahan Studi Porno, mahasiswa tidak sedang menonton film porno atau membaca bacaan porno yang memancing hasrat dan birahi. Mereka belajar memahami budaya, idustri, dan masyarakat melalui produk budaya yang identik dengan pornografi. Julie Lavigne, profesor di Quebec, Canada, melihat Studi Porno membahas bagaimana kita secara sosial membentuk pengertian pornografi, dari perspektif sejarah seni. 

“Memutuskan apa itu pornografi sering menggunakan penilaian moral. Dia dianggap tidak obyektif. Tapi jika kamu melihat karakteristik obyektif, kamu akan menyadari bahwa pornografi adalah topik yang lebih terlarang ketimbang kata-kata seperti erotik. Kamu harus mengikuti sejumlah kode-kode budaya agar disebut pornografi,” kata Julie.

Saya setuju dengan Mc Nair. Pornografi adalah satu aspek yang mendefinsikan peradaban kita hari ini. Seperti apa kita melarang dan menerimanya, seperti itu pulalah yang akan menentukan bagaimana kita menata nilai dan norma di masyarakat, yang nantinya membawa pengaruh pada politik dan budaya.

Mengetahui perkembangan Studi Porno ini, saya menyadari sifat ilmu pengetahuan yang serupa tumbuhan, terus berkembang. Tak adil jika belum apa-apa kita langsung memvonis studi ini bakal menjauhkan kita dari Tuhan. Namun bagi pengkaji pornografi, kesan kita atas studi ini juga merupakan refleksi dari pandangan masyarakat atas pornografi, yang nantinya mempengaruhi bagaimana dinamika dan pengaturan aspek sosial dan politik.

Anda tertarik membaca Studi Porno? Apakah Anda secara diam-diam juga menganggapnya sebagai studi paling asyik? Tak usah malu.



Bogor, 24 Oktober 2016

BACA JUGA:









3 komentar:

Unknown mengatakan...

Menarik, om yusran. Salam 😊

Yusran Darmawan mengatakan...

hihihi...iseng aja nih. lg baca2 jurnal, kok tiba2 nemu studi porno. hehehe

Imron Fhatoni mengatakan...

Owalah bang yusran. Memang ulasan bukunya sih menarik, asal jangan keseringan berselancar #eh ^_^

Posting Komentar