Blur yang ditulis Bill Kovach dan Rosensteil (sumber: Balairungpress) |
RAMADHAN memang telah berlalu. Seharusnya bulan
suci itu meninggalkan jejak berupa hati yang bersih dari prasangka dan fitnah.
Di media sosial, jejak-jejak Ramadhan seakan hilang tersaput angin. Banyak yang
kembali pada kebiasaan sebelumnya yakni menebar kebencian, prasangka, dan
fitnah.
Tak adil juga menyalahkan orang per orang. Di
era ini, berbagai informasi berseliweran sehingga orang-orang kesulitan untuk
mengetahui mana yang fakta dan mana yang bukan. Jangankan orang biasa, para
doktor pun bisa dengan mudahnya tersulut amarah saat membaca postingan berisi
kebencian lalu membagikannya. Padahal, postingan itu dimuat dalam situs
abal-abal, dibuat seorang lulusan sekolah dasar, yang tujuannya adalah
mendapatkan banyak klik, lalu dijual ke pengiklan
Bagaimanakah kiat-kiat agar tidak terjebak
dalam berbagai settingan informasi dan berbagai provokasi agar membenci yang
lain? Berikut, beberapa kiat yang sebagian di antaranya saya kutip dari penjelasan
Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku Blur,
How to Know What’s True in the Age of Information Overload. Buku ini telah diterjemahkan dan terbit tahun 2012 lalu.
***
SUATU hari saya bertemu Husain Abdullah. Beliau
adalah juru bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla. Husain mengajak saya untuk
ngopi-ngopi di Phoenam, satu kedai kopi yang tersohor di kalangan orang
Makassar di Jakarta. Kami membahas berbagai dinamika informasi yang berkembang
belakangan ini.
Husain bercerita tentang banyaknya akun anonim
di berbagai situs social blog yang isinya adalah pemutarbalikan fakta. Polanya
adalah menuturkan sesuatu seolah-olah itu adalah inside story yang lengkap alurnya, serta siapa-siapa yang bermain
di belakang setiap peristiwa. Narasinya membahas orang per orang, serta
kepentingan, yang lalu mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi. Sepintas,
tulisan-tulisan itu membuka apa yang tersembunyi di panggung politik. Padahal,
isinya sangat jauh dari fakta. Isinya berisikan syak-wasangka yang dikemas
dalam bentuk artikel investigasi, lalu dibumbui dengan tudingan-tudingan.
Husain pantas resah. Pada saat itu, ada
beberapa tulisan yang membahas tentang berbagai tudingan terhadap Jusuf Kalla,
yang dibuat dengan gaya reportase. Artikel itu dibuat oleh orang-orang yang
memakai nama alias atau samaran. Gaya menulisnya seplah berada di satu lokasi
kejadian, dan menyaksikan bagaimana transaksi dana serta aliran uang yang
tujuannya untuk suap. “Tulisan itu seolah-olah pengamatan lapangan yang
disertai beberapa data. Padahal, semuanya adalah fitnah. Tak ada ruang untuk
mengklarifikasinya, sebab akun itu pakai nama samaran,” katanya.
Salah satu contoh yang mudah diamati adalah munculnya
berbagai berita tentang sebab-sebab meninggalnya Husni Kamil Manik. Di berbagai
kanal, muncul berita seolah-olah meninggalnya beliau disebabkan adanya intrik
dari elite politik. Ada saja orang yang mempercaya dan menyebarkannya, lalu
mengabaikan keterangan resmi dari dokter, komentar pihak keluarga, dan berbagai
sumber penting lainnya. Terlanjur menganggap ada settingan, maka semuanya lalu
dianggap settingan, bahkan meninggalnya seseorang pun tetap saja dianggap
settingan.
Dahulu, arena untuk menyampaikan informasi
rahasia dalam politik adalah melalui surat kaleng. Selanjutnya, ada juga yang
menggunakan pamflet dan selebaran. Di akhir kekuasaan Soeharto, para aktivis
menyebarkan pamflet dan berbagai publikasi kritis melalui jalur bawah tanah,
maksudnya bukan jalur resmi yang dikehendaki pemerintah. Pada masa itu, yang
hendak disebarkan adalah fakta-fakta yang tak banyak diungkap ke publik.
Terdapat ebberapa aktivis dan intelektual yang memilih risiko dipenjarakan
daripada ikut dalam lautan massa yang bungkam.
Seiring dengan era internet, serta arus
informasi yang kian menyebar, dinamikanya mulai berubah. Hampir semua politisi dan
kelompok kepentingan menjalin relasi dengan para spin doctors, yakni orang-orang yang bisa mempengaruhi opini atau
wacana di media massa demi menaikkan citra seseorang, atau menjatuhkan citra
kelompok lain. Rekayasa informasi dipandang sebagai sesuatu yang wajib demi
mengendalikan arus wacana. Persoalannya, rekayasa informasi itu seringkali
dibuat dengan cara menyusun narasi yang tak berbasis fakta.
Parahnya, ada banyak orang yang mudah saja
menerima semua informasi yang berseliweran di sekitarnya, tanpa mengeceknya
lebih jauh. Di media sosial, banyak orang yang dengan mudahnya diprovokasi
dengan berita-berita dari berbagai situs abal-abal, lalu kehilangan daya kritis
untuk mempertanyakan semua informasi itu. Publik mudah tersihir dengan berita
seolah-olah inside story, setelah itu
ikut menjadi clicking monkey, para penyebar informasi fitnah melalui berbagai
kanal media sosial.
Fenomena ini mengingatkan pada tulisan seorang
ilmuwan sosial yang mengatakan bahwa orang hanya ingin melihat apa yang ingin
dilihatnya. Maksudnya, saat seseorang terlanjur punya prasangka, maka dia hanya
akan melihat hal-hal sesuai dengan prasangka sebelumnya. Biarpun banyak sumber
kredibel menyatakan fakta itu keliru, ia tidak akan memercayainya. Tapi ketika
satu fakta dari sumber abal-abal menyatakan dirinya benar, ia akan langsung
menyebarkannya, tanpa mengeceknya lagi.
ilustrasi |
Yang saya amati, rekayasa informasi itu selalu
mengandalkan dua pola: (1) menggunakan media abal-abal yang mudah dibentuk di
ranah online, (2) menggunakan serial informasi di twitter dan facebook. Di dua
pola ini, kita akan menemukan informasi yang dikemas seolah-olah investigasi,
seringkali dibumbui kalimat bombastis yang mudah membuat publik percaya.
Di dua kanal ini, para spin doctors dan cyber army
bekerja dengan cara membobardir informasi, menghasur publik agar me-like lalu
men-share informasi, tanpa mengecek mana fakta dan fiksi dalam informasi
tersebut. Di dua kanal ini, posisi publik adalah pasif dan aktif sekaligus.
Mereka menerima informasi yang kebetulan bersesuaian dengan prasangkanya, lalu
menyebarkannya ke mana-mana, tanpa sikap kritis.
Sebenarnya, fenomena banjir dan rekayasa
informasi ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2001, mahaguru para jurnalis, Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel, telah menulis buku berjudul Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload.
Buku ini berisikan bagaimana seharusnya bersikap di era banjir informasi.
Kovach tidak sedang menulis panduan untuk para jurnalis. Kovach menjelaskan
bagaimana keriuhan informasi di era digital, yang kemudian diplintir oleh para
spin doctors. Ia menyasar publik, yang disebutnya tidak lagi menjadi konsumen
berita, namun juga sebagai produser yang juga menyebarkan informasi. Yang perlu
diwaspadai adalah pihak-pihak yang hendak memanipulasi kebenaran demi
kepentingan kelompok tertentu.
Kata Kovach, fenomena banjir informasi ini
bukanlah sesuatu yang baru. Sejak munculnya era komunikasi, manusia terbiasa
berhadapan dengan berbagai informasi. Seiring dengan perubahan lanskap sosial
dan politik, berubah pula cara-cara manusia memahami dan brinteraksi dengan
informasi. Perubahan pola komunikasi itu berjalan seriing dengan perubahan pola
kepemimpinan, mulai dari pemimpin spiritual ke pemimpin suku, pemimpin suku ke
raja, munculnya negara-kota, serta otoritas negara. Informasi juga mengalir
mengikuti otoritas, hingga era sekarang yang memungkinkan informasi bisa
mengalir dari berbagai sisi.
Masih kata mahaguru jurnalistik dari Harvard
University ini, terdapat sejumlah tips bagi warga untuk “diet informasi” dengan
cara menggunakan pola pikir skeptis (skeptical
knowing) langkah demi langkah. Pertama, kenali setiap jenis konten yang
dihadapi. Kedua, kita harus memeriksa kelengkapan laporan media. Ketiga, kita
harus menilai otoritas dan kualifikasi sumber. Keempat, kita harus menilai
fakta dengan membedakan antara mengamati dan memahami, kesimpulan dan bukti,
serta bagaimana berinteraksi dengan fakta. Kelima, lakukan evaluasi
terus-meneru terhadap setiap informasi.
Penuturan Kovach ini memang agak jlimet. Pada intinya, ia mengatakan
bahwa ebagai konsumen, kita harus berpikir kritis. Saat membaca informasi, kita
harus mencari apa yang lebih, serta bisa membuat kita percaya bahwa informasi
itu akurat. Terhadap banyak informasi, kita harus meninggalkan cara berpikir
lama yang seolah-olah media hendak mengatakan “percayalah apa yang saya katakan.”
Kita harus menggantinya dnegan cara berpikir yang melihat semua liputan dengan
pertanyaan, “Apa yang harus membuat saya percaya? Tunjukkanlah bukti-bukti kuat
biar saya yakin.”
Setiap orang harus menjadi editor yang
mempertanyakan semua informasi. Di sini terletak daya kritis dan kemampuan
analitik. Jika seseorang punya daya kritis itu, ia tidak akan mudah
diseret-seret oleh berbagai informasi yang menyebar di berbagai kanal media
sosial. Namun jika orang tersebut tak menggunakan akalnya, semua informasi yang
masuk akan langsung dipercayainya.
Di Indonesia, ada banyak perkembangan menarik
terkait kebiasaan membaca. Yang saya lihat, orang-orang suka menyebar
informasi, tanpa mengecek apakah itu hoax ataukah fakta. Secara praktis, saya
merekomendasikan beberapa kiat agar tidak menjadi obyek penderita di era
internet.
Pertama, jangan mudah terpaku pada judul yang
heboh. Pada beberapa media, judul-judul heboh dan bombastis berguna untuk
membuat audince tertarik dan mengklik. Biasanya, judul itu diawali dengan kata “astaga”,
“luar biasa”, “wow”, dan berbagai kata-kata lain. Malah, saya sering menemukan
judul yang diawali kata “masyallah”. Judul-judul ini sengaja diibuat untuk
menciptakan suasana heboh, dan memaksa orang untuk membacanya.
Kedua, perhatikan media yang memberitakannya.
Saat anda melihat judul heboh, jangan langsung klik. Perhatikan, media manakah
yang memuatnya. Kalau medianya sejenis puyengan.com, analisahebat.com, atau
beberapa media berlabel agama yang belum pernah anda dengar, sebaiknya jangan
langsung klik. Sekali satu media menyebar informasi yang tidak akurat, masukkan
list media itu dalam daftar media yang membodohi dan tidak layak baca.
Dibanding media abal-abal itu, lebih baik
percaya pada media resmi. Sebab media resmi memiliki disiplin verifikasi dan
standar jurnalistik yang sudah lama dibangun. Sering ada yang bertanya,
bagaimana dengan kepentingan pemilik modal di media resmi itu? Boleh jadi ada kepentngan.
Tapi yakinlah, jantung utama bisnis media adalah kredibilitas. Bisnis ini punya
investasi besar. Seorang pemilik modal yang mencampuri kepentingan pemberitaan
bisa berdampak pada turunnya kredibilitas media, yang akan berujung pada
lesunya iklim bisnis. Jika ini terjadi, maka triliunan uang yang keluar akan
percuma. Bisnis media akan bangkrut dan gulung tikar. Pemilik media yang bijak,
tak mungkin mencampuri berita untuk memuji-muji dirinya sebab akan bermuara
pada kemuakan publik yang membuat medianya ditinggalkan.
Keempat, kalaupun anda terpaksa meng-klik,
perhatikan sumber-sumber beritanya. Kalau sumber berita adalah sumber yang
otoritatif, berarti itu pernyataan resmi. Dalam kasus kriminal, sumber resmi
adalah polisi. Dalam berita korupsi, sumber resmi adalah pihak KPK atau penegak
hukum. Tapi kalau sumber yang anda baca adalah seorang penggiat organisasi massa,
maka ragukanlah informasinya. Ragukan pula informasi tentang korupsi, yang
disampaikan oleh seorang pengamat korupsi. Dalam banyak kasus, para pengamat
seringkali menjalankan pesanan tertentu dari sejumlah pemodal.
Kelima, perhatikan keberimbangan. Saat media
memuat satu sumber tertentu, periksa apakah ada pernyataan resmi dari sumber
lain yang berseberengan. Mengapa? Sebagai pembaca, posisi kita serupa hakim
yang akan menimbang-nimbang benar tidaknya sesuatu. Tanpa keseimbangan
informasi, kita tak akan mendapat gambaran utuh terhadap satu kejadian.
Artinya, jika informasi tak seimbang, berarti liputan
itu tidak netral.
ilustrasi |
Keenam, bedakan antara fakta dan opini. Fakta
adalah peristiwa yang terjadi dan disaksikan oleh jurnalis. Sementara opini
adalah himpunan kesan atas peristiwa itu. Media yang kredibel akan banyak
menyajikan fakta sebab pembaca bisa mendapatkan informasi dari tangan pertama.
Media yang tidak kredibel akan menyajikan parade opini yang boleh jadi
bertujuan untuk menggiring persepsi pembaca sehingga bersepakat dengan agenda
isu yang dilancarkan.
Ketujuh, jangan langsung percaya apa yang
disajikan media. Lakukan crosscheck dengan media lain. Dalam riset, ini disebut
triangulasi. Lakukanlah cross-check dengan liputan media lain. Kalau banyak
yang memuatnya, maka informasi itu boleh jadi valid. Mengapa? Sebab informasi
adalah denyut nadi media massa. Ketinggalan satu informasi penting adalah aib
bagi media itu. Makanya, setiap berita heboh, pastilah akan dimuat banyak
media.
***
KIAT ini hanya sepenggal. Masih banyak yang
bisa didiskusikan. Intinya, kembangkan cara berpikir skeptis saat membaca
media. Seperti kata Kovach, pertanyakan setiap informasi. Buat pertanyaan dalam
diri, apa nilai lebih yang membuat anda percaya liputan itu, apakah kekuatan
informasi itu, serta siapa yang diuntungkan dan akan dirugikan dari penyebaran
informasi itu. Jika anda hendak menyebarkannya, yakinkan diri anda bahwa
informasi itu benar dan berguna bagi publik.
Sebab jika informasi itu sesat, maka anda akan
jadi penyebar fitnah. Jika informasi itu tidak benar, anda akan jadi kambing
congek yang mau-mau saja dibodohi semua orang demi agenda-agenda terkait
rekayasa informasi. Jauhkan segala prasangka terhadap seseorang atak kelompok
tertentu yang kerap menjadi sasaran dari media abal-abal itu. Hadirkan sikap
kritis, bahwa di balik setiap pahlawan, pasti ada celah yang menunjukkan dia
manusia biasa. Dan di balik seseorang yang dituduh sebagai penjahat, pasti ada
sisi baik yang memanusiakan dirinya. Melalui keseimbangan itulah, kita bisa
melihat kehidupan sebagai arena yang sangat dinamis.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir
dan batin.
Bogor, 11 Juli 2016
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar