Suatu Hari Bersama Penari KOREA

"Song Jong Ki" dan seorang pengunjung di acara Korean Festival

PEREMPUAN muda yang mengenakan jilbab warna pink itu histeris bersama rekan-rekannya. Dia nampak tak sabaran saat memandang panggung. Di sana, saya menyaksikan seorang lelaki muda dengan wajah licin khas Asia Timur, menyapa semua orang. Saat lelaki sipit itu meletakkan tangannya ke atas bibir lalu melambaikannya ke semua orang, kembali perempuan itu histeris. Ia berteriak-teriak, “Ganteng banget…! Mau dong dicium!”

Saya melihat perempuan itu di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, 1 Oktober silam. Saya datang untuk menemani istri yang hendak menyaksikan Festival Korea. Sejak seminggu sebelumnya, informasi tentang acara ini telah menyebar. Tak heran jika banyak orang berdatangan demi menyaksikan acara yang menampilkan aksi panggung beberapa penghibur dari Korea.

Di dekat panggung itu, terdapat beberapa banner dan poster serial Descendant of the Sun. Serial ini pernah menjadi serial paling populer. Istri saya mengikuti serial ini hingga tuntas. Saya cukup familiar melihat wajah Song Jong Ki, aktor pemeran utama, yang memakai pakaian pasukan khusus PBB. Di sudut itu, saya melihat banner Song Jong Ki sedang berdiri. Ada juga posenya yang duduk seolah mengikat tali sepatu di hadapannya. Pengunjung bisa bergaya dan meletakkan kakinya di sepatu itu.

Saya tak tertarik untuk berpose dengan Song Jong Ki. Saya memilih berpose di sebelah banner Song Hye Kyo. Setelah itu, saya sibuk menyaksikan betapa banyaknya orang-orang yang antri untuk berfoto. Dua orang perempuan muda memeluk banner Song Jong Ki seolah lelaki itu beneran. Mereka seolah-olah bertemu dengan artis idola yang selama ini hanya disaksikan melalui layar kaca.

Festival Korea ini tak sekadar menjadi panggung bagi sejumlah penampil dan penghibur dari negara ginseng itu, tapi juga menjadi ajang pertemuan komunitas penggemar Korea di Jakarta. Mereka bertemu secara berkala, sama-sama membahas Song Jong Ki, sesekali pergi bergosip ke resto Korea untuk memakan kimchi, sembari jemari menari di atas ponsel merek Samsung.

Sejak beberapa tahun terakhir, budaya pop Korea menjadi demam yang melanda banyak kota di Indonesia. Korea menginvasi Jakarta melalui berbagai produk budaya populer. Korea identik dengan lelaki berwajah licin dan bermata tajam, serta perempuan muda yang cantik dengan pipi merona. Korea identik dengan serial-serial yang sukses memikat semua orang hingga tahan berminggu-minggu untuk mengikutinya.

Korea juga menjadi destinasi wisata favorit yang didambakan banyak orang. Beberapa spot pengambilan gambar dalam serial drama menjadi tempat paling favorit untuk dikunjungi. Banyak yang ingin mengunjungi lokasi pengambilan gambar serial Winter Sonata, juga ingin melihat Gangnam Street yang pernah melejitkan vokalis Spy sebagai pengibur nomor satu Korea yang lalu merambah dunia.

Saya membayangkan Joseph Nye sedang tersenyum. Beberapa tahun silam, ilmuwan politik dari Harvard University ini menulis tentang soft power sebagai kekuatan tak terlihat yang dimiliki sebuah negara melalui citranya ketimbang melalui kekuatannya. Hard power adalah kekuatan militer atau paksaan ekonomi. 

Soft power di sisi lain adalah bagaimana Amerika Serikat memaksa dunia membeli Marlboro Reds dan celana jeasn Levi’s, dengan menciptakan kesan yang diinginkan, dengan menjajakan citra berkelas. Soft power ini pernah dikritik Marx sebagai ideologisasi yang membuat kapitalisme semakin menancap kuat di benak orang-orang. Bersandar pada teori ini, nampaknya Korea sedang membangun soft power yang kuat melalui berbagai serial televisi, film, pernik-pernik budaya, hingga seni pertunjukan.

Setahun silam, saya membaca buku berjudul The Birth of Korean Cool yang ditulis Euny Hong. Buku ini menjelaskan banyak hal tentang bagaimana soft power itu bekerja. Kata Euny Hong, ledakan budaya populer, yang sering disebut Korean Wave, bermula dari krisis yang mengantam Korea. 

Ada rasa malu serta harga diri yang terkoyak saat negara itu dihantam krisis, yang berlanjut pada keharusan berutang pada IMF. Pemimpin Korea Kim Dae Jung bersama warga Korea bertekad untuk membayar rasa malu itu dnegan kerja keras dan target mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Pada saat itu pula, pemerintah Korea menyewa satu konsultan public relation untuk meningkatkan citra Korea. Negeri itu bercita-cita untuk menjadi pioneer dalam bidang teknologi. Negeri itu juga ingin mengubah citra Korea menjadi negara yang hebat, menjadi pusat kemajuan peradaban, menjadi masa depan yang paling ideal. 

Mulai saat itulah, Korea menyerbu pasar dunia ketiga melalui produk teknologi dan produk budaya populer. Budaya pop hanyalah pintu masuk bagi berbagai produk ekonomi. Invasi itu bahkan merambah hingga Timur Tengah, saat drama Korea berjudul Jewel in the Place sedemikian populer di Iran, sampai-sampai orang Iran dilaporkan mengatur jam makan agar tidak bentrok dengan penayangan serial ini.

Demikian pula serial Winter Sonata yang amat populer di Jepang, sampai-sampai Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, membayangkan lelaki ideal seperti sosok Bae Yong Joon dalam serial itu. Di Filipina, serial You Who Came from the Star menjadi hits lalu dijiplak oleh production house lokal dengan bintang-bintang Filipina. Hingga Indonesia pun ikut-ikut menjiplaknya melalui sinetron “Kau yang Berasal dari Bintang”, dengan pemeran Morgan Oey dan Nikita Willy.

Dengan ledakan budaya pop yang sedemikian massif, bagaimanakah Korea pertama membangun fundasi kokoh industri pertunjukkan itu? Bagaimanakah menciptakan musik, tari, drama televisi, film, video game, hingga pertunjukkan tari yang sedemikian spektakuler dan bisa dijual ke mancanegara? Bagaimanakah perasaan orang-orang yang terlibat dalam industri musik dan pertunjukkan itu?

***

PEREMPUAN itu bernama Han Jung Yeon. Ia adalah seorang penari yang ikut dalam pementasan Fireman, kelompok musik dan tari asal Korea yang manggung di Jakarta. Han Jung Yeon mewakili gambaran tentang seperti apa perempuan Korea. Wajahnya cantik, senyum yang selalu mengembang, hingga kulit yang sedemikian licin.

Saya menyapanya seusai menyaksikan penampilannya yang spektakuler. Bersama rekan-rekannya di Fireman, mereka menampilkan kabaret, aksi komedi yang dipentaskan di atas panggung. Mereka menampilkan komedi yang dipadu dengan akrobat dan gerak tari. Saya terpukau melihat bagaimana mereka menata pertunjukkan itu serupa menyaksikan pagelaran tari yang ditata dengan sangat rapi.


suasana pertunjukan di acara Korean Festival

Han Jung Yeon dan rekannya memainkan lakon tentang perekrutan regu pemadam kebakaran. Anggota baru menjalani masa-masa pelatihan, yang di dalamnya terdapat banyak kekonyolan. Mulai dari seorang peserta yang selalu salah, pelatih yang sering jadi sasaran kekonyolan, cinta-cintaan di antara sesama peserta, hingga seorang staf penjaga keamanan yang bertindak serupa bos. 

Masing-masing orang memainkan karakter tertentu. Saya suka tertawa melihat seorang pemain yang selalu memberikan cium jauh kepada penonton. Setiap kali ia melakukannya, semua orang akan histeris.

Pertunjukan Fireman itu jauh dari kata membosankan. Saya menyaksikan kombinasi antara tari, gerak, komedi, serta drama yang menyentuh hati. Setiap adegan ditata dengan serius hingga akhirnya mencapai klimaks. Saya ikut hanyut saat menyaksikannya. Dalam hati, saya bertekad kuat untuk berbincang dengan penari paling cantik yang gerakannya sedemikian lentur. Beruntung, ia tersenyum saat saya menyapa dan mengajaknya berbincang.

Rupanya ia tidak terlalu fasih berbahasa Inggris. Saya kebingungan mendengar beberapa kalimatnya yang dilafalkan dengan aksen Korea. Saya cukup terbiasa berbincang dalam bahasa Inggris dengan orang-orang Cina dan Jepang. Lagian, kalaupun kami tak menemukan kosa kata yang tepat, maka gestur dan gerak tubuh cukup membantu kami.

“Sejak kecil saya ingin jadi penari,” katanya. Ia berasal dari tepian Seoul, ibukota Korea. Usianya 21 tahun. Sejak kecil, ia memang bercita-cita menjadi penari panggung. Ia tahu kalau dirinya tidak begitu berbakat di bidang sains, bidang yang membuat banyak anak-anak Korea rela memangkas waktu bermainnya untuk belajar dan belajar. Ia ingin merengkuh obsesinya menjadi seorang penari yang kelak bisa berkeliling dunia.

Sudah berapa lama ia direkrut menjadi penari bersama kelompok Fireman? “Saya bergabung sejak sepuluh tahun silam. Tapi, grup ini mulai manggung tahun lalu,” katanya. Lantas, apa yang dilakukannya selama sembilan tahun sejak bergabung? “Saya hanya berlatih. Setiap hari saya diwajibkan untuk mengikuti semua latihan dengan disiplin. Banyak orang yang gagal di industri ini. Kalau gagal, mereka harus melupakan mimpinya menjadi artis panggung,” katanya.

Pengakuannya membuat saya tertegun. Kembali, saya teringat tulisan Euny Hong tentang industri K-Pop, drama televisi, hingga industri pertunjukan di Korea yang berbeda dengan keadaan di barat. Di Amerika Serikat (AS), seorang penyanyi ataupun penari sudah memiliki kemampuan hebat, sebelum dikontrak. 

Para penyanyi yang direkrut satu label telah lebih dahulu memenangkan lomba menyanyi, lalu membuat album. Di Korea, label atau perusahaan rekaman mengontrak seornag penyanyi jauh sebelum menjadi terkenal. Mereka direkrut lalu dilatih selama bertahun-tahun sampai dianggap layak memasuki pasar industri.

Industri hiburan Korea dirancang sebagai investasi jangka panjang. Butuh dana besar untuk menyiapkan soerang anak agar menjadi pemusik dan penari kelas dunia. Pantas saja kalau beberapa media asing menulis tentang K–Pop sebagai mesin industri yang licik. Pihak perusahaan hiburan Korea merekrut anak bau kencur, mengikat mereka dengan kontrak, lalu memaksa mereka dalam disiplin super ketat agar bisa menjadi superstar kelas dunia.





Para pelaku industri Korea punya alasan kuat yakni jumlah penduduk negara itu sangat sedikit sehingga mesti mempersiapkan seorang aktor dengan sangat matang. Persiapan yang lama juga bisa digunakan untuk memantau bakat terpendam seorang anak. Kelak ia akan diarahkan untuk menjadi penyanyi, penari, ataukah aktor. Waktu yang pajang juga bisa digunakan untuk membentuk kelompok musik itu secara alami sehingga memiliki waktu luang untuk berinovasi dan menemukan berbagai bentuk baru yang berbeda.

“Banyak orang yang melihat kami seperti robot. Tapi itulah Korea. Kami harus bekerja keras di bidang apapun. Tak hanya penari, bahkan pekerja kantoran pun juga harus bekerja keras,” katanya sambil memberikan kipas plastik bergambar aktor Song Jong Ki.

Pembicaraan kami berakhir. Gadis yang pipinya bersemu kemerahan itu lalu bergabung dengan rekan-rekannya. Barangkali, ia harus istirahat sebab malamnya kembali akan tampil menari untuk menghibur warga Jakarta. Saya hanya bisa memandangnya yang berlari-lari kecil menyusul rekannya. Saya hanya bisa menggenggam kipas itu. Sayang, saya tak sempat menanyakan alamat email atau akun media sosial biar tetap menjaga pertemanan dengannya.

***

Di acara Korean Festival itu, saya memikirkan banyak hal. Acara ini tak sekadar pementasan dan pameran kebudayaan, tapi juga pameran berbagai biro perjalanan yang menawarkan berbagai trip untuk menjangkau Korea. Saya menyempatkan melihat beberapa brosur. Entah kenapa, saya belum berniat untuk ke sana. Terlampau banyak tempat indah di Indonesia yang belum saya jangkau.

Pembicaraan dengan Han Jung Yeon sangat berkesan buat saya. Untuk mencapai satu level tertentu, seseorang harus bekerja keras. Saya terkenang tulisan Malcolm Galdwell dalam Outliers (2008) yang berkisah tentang grup The Beatles yang menghabiskan wakru selama 10.000 jam untuk berlatih. Jika The Beatles tak berlatih selama itu, mereka tak akan bisa memahami selera pasar serta komposisi musik yang paling pas untuk memikat pasar.

Saya juga memikirkan betapa banyaknya waktu yang dihabiskan hanya untuk mempersiapkan diri menjadi bintang papan atas. Indusri butuh citra dan biaya mahal, termasuk operasi plastik agar nampak lebih cantik, sesuatu yang marak di Korea. Makanya, saya bisa mengerti betapa jengkelnya orang Korea saat mengetahui bahwa Psy mendunia melalui Gangnam Style, padahal Psy adalah tipikal penyanyi Korea yang tidak melakukan operasi plastik, tidak sepatuh dan sedisiplin bangsa Korea. Ia anak yang begal, yang justru lebih tenar dari mereka yang mempersiapkan diri dengan matang.

Di tempat itu saya merenungi banyak hal. Bahwa di balik romansa, keindahan, dan spektakulernya budaya pop Korea, terdapat lapis-lapis kisah mereka yang mempersiapkan dan menempa dirinya. Terdapat kisah tentang anak-anak yang mengurangi waktu bermainnya demi latihan super ketat agar menjadi penghibur kelas satu.

Saat hendak meninggalkan acara itu. Di kejauhan, saya melihat Han Jung Yeon yang melambaikan tangan. Sayup-sayup saya mendengar teriakannya, “Annyeonghi Kaseyo.” Sampai jumpa lagi.


Bogor, 5 Oktober 2016


BACA JUGA:








0 komentar:

Posting Komentar