Indonesia di Mata Bule Australia


sampul buku

KISAH-kisah tentang perjalanan orang Indonesia ke luar negeri telah banyak ditulis. Saya pun pernah menulis satu buku yang isinya perjalanan di negeri lain. Namun, amat jarang ditemukan buku yang berisikan pengalaman orang luar yang datang ke tanah ini. Salah satu di antaranya yang patut dibaca adalah buku Stormy with a Chance of Fried Rice yang ditulis bule asal Australia, Pat Walsh.

Yang khas dari buku ini adalah sudut pandang Pat Walsh yang tak biasa. Ia memotret bagaimana warga biasa sedang bertarung hidup di Jakarta. Ada kisah tentang karyawan di sebuah kafe, pengemis yang duduk di dekat jembatan penyeberangan, serang pengemudi bajaj, sopir taksi, pembantu, hingga penjual jamu juga dicatat dalam artikel.

Namun, ada hal yang membuat saya lama tercenung seusai membaca buku ini. Apakah gerangan?

***

PEREMPUAN itu bernama Nur. Ia berjualan di salah satu ruas jalan arteri kota Jakarta. Ia berjualan di area yang tak dibolehkan oleh pemerintah. Ia menempuh risiko demi mendapatkan banyak pembeli. Ia bisa melihat celah-celah atau kelengahan pemerintah dalam mengawasi pedestrian. Dengan cara itu, ia bisa bertahan hidup.

Ia berjualan rempeyek dan kripik singkong yang dikemas dalam bungkusan plastik yang rapi. Terdapat 20 rempeyek yang dibawanya, yang lalu terjual sebanyak lima bungkus dalam sehari. Jika satu bungkus terjual 10 ribu rupiah, ia mendapatkan 50 ribu rupiah sehari. Baginya, ini jumlah yang cukup besar demi membayai keperluannya. Suatu hari, seorang lelaki bule, tiba-tiba saja mengajaknya berbincang.

“Untuk apa kamu berdagang snack ini?” tanya bule tersebut.
“Untuk mudik. Agar saya bisa pulang kampung ke Jawa Tengah untuk merayakan Idul Fitri,” katanya.

Dialog itu berakhir. Tapi bagi si bule, peristiwa itu terus terngiang-ngiang dalam batinnya. Ia menyadari dorongan paling kuat bagi kebanyakan bangsa Indonesia untuk bekerja dan mencari nafkah adalah keinginan untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Ini menjelaskan bahwa meskipun seseorang telah lama tinggal dan berumah di Jakarta, namun keasadaran tentang kampung halaman masih tertanam kuat.

Orang Indonesia serupa merpati yang selalu ingin kembali ke rumah, sejauh apapun ia mencari nafkah. Kesadaran itu telah menggerakkan ekonomi, menjadikan momen mudik sebagai peristiwa kultural terbesar yang ada di Indonesia. Dari berbagai penjuru, orang-orang ke kampung halamannya untuk sekadar bertemu keluarga, serta memperkokoh identitas sebagai warga kampung. Padahal, orang-orang tersebut telah lama mukim di Jakarta.

***

BULE itu bernama Pat Walsh. Ia berasal dari Melbourne, Australia. Ia datang ke Jakarta untuk bekerja pada satu lembaga yang concern pada hak asasi manusia di Indonesia dan Timor Leste. Selama 12 bulan, ia tinggal di Jakarta. Ia lalu mencatat banyak hal-hal menarik, yang kadang luput dari pandangan banyak orang asing.

Buku Stormy with a Chance of Fried Rice ini adalah kumpulan catatannya tentang pengalaman selama di Jakarta. Sudut pandangnya tak biasa sebab ia memotret banyak kepingan realitas tentang orang-orang yang terpinggirkan. Selain kisah tentang Nur, seorang penjual makanan ringan, ia juga mencatat banyak kisah tentang mereka yang berada di tepian, yang seringkali terabaikan oleh kelas menengah Jakarta.

Nampaknya, ia serupa peneliti yang rajin mewawancarai lalu mencatat setiap detail amatan. Ia menyenangi pertemuan dengan bayak sosok, menggali kisah-kisah di baliknya, lalu mengisahkan ulang dalam narasi yang kuat. Buku ini bisa dikatakan sebagai rekaman tentang warga Jakarta dari berbagai latar belakang. Melalui buku ini, kita melihat sisi lain jakarta, sisi yang tak kita temukan dalam berbagai sinetron atau borusr pemerintah, namun menjelaskan dengan jujur tentang kota berpenduduk jutaan jiwa ini.

Sepintas, kerja-kerja Pat Walsh ini mengingatkan saya pada kerja Humans of New York, salah satu fanpage di Facebook yang paling saya sukai dan selalu saya ikuti postingannya. Human of New York menyajikan foto-foto tentang orang New York, lalu menyisipkan cerita-cerita menarik sebagai pengantar atas foto itu. Fotoyang ditampilkan adalah warga dari berbagai lapis sosial. Mulai dari karyawan kantoran hingga seorang homeless atau tuna-wisma. Yang terpenting di situ adalah kisah-kisah dari beragam manusia yang tinggal di satu ekosistem bernama New York. Tak percaya? Silakan cek Human of New York, trus like. Keren lho.


Bedanya, yang ditampilkan Pat Walsh adalah narasi-narasi, tanpa menampilkan gambar. Andaikan ada gambar, maka bukunya akan jauh lebih bertenaga. So far, saya cukup menikmai narasi yang tersaji dalam buku berbahasa Inggris khas Aussie ini. Setidaknya saya bisa belajar banyak hal tentang bagaimana orang luar membingkai segala peristiwa di tanah air kita. Saya bisa memahami apa yang mereka rasakan saat melihat satu keping realitas di sekitar.

Ada beberapa tulisan yang menarik. Pada bahagian awal, Pat bercerita tentang perayaan hari pahlawan 10 November di Jakarta. Sejumlah anak-anak datang ke Gedung Juang dengan menggunakan seragam. Bagian yang membuatnya terheran-heran adalah saat semua anak berbaris dan mencium bendera. Pat bertanya-tanya, apakah gerangan pesan yang hendak disampaikan. Lebih terheran-heran lagi saat melihat seorang pria berorasi dengan gaya khas Bung Tomo untuk membangkitkan semangat. Kembali ia bertanya-tanya, untuk apa gerangan.

Meskipun tak menulis rinci tentang perasaannya, saya bisa memahaminya. Sebab di luar negeri, kesadaran tentang nasionalisme dan bela negara tidak ditanamkan lewat aksi cium bendera atau pidato penuh semangat. Kesadaran itu ditumbuhkan sebagai sesuatu yang organik, melalui kehadiran negara untuk melindungi warganya, melalui pelayanan publik serta perlindungan atas hak asasi manusia, serta melalui kebajikan-kebajikan negara yang menyantuni warganya.

Sebagai bule, tentu saja, Pat Walsh juga sering mendapat stereotype sebagai sosok yang kaya-raya. Seorang teman bule saya pernah bercerita kalau orang Indonesia selalu mengira dirinya adalah karyawan perusahaan tambang, atau perusahaan besar yang bergaji ribuan dollar. Pat Walsh mengalami bagaimana seorang pengemudi taksi selalu menyebut tarif hingga 200 ribu rupiah, untuk jarak yang pernah ditempuhnya dengan taksi dan hanya membayar 20 ribu rupiah.

***

YANG membuat saya tercenung seusai membaca buku ini adalah kesadaran tentang kota sebagai satu ruang besar yang menjadi rumah bagi banyak orang, yang ternyata tidak banyak saling mengenal. Harus diakui, kita banyak berinteraksi dengan orang, akan tetapi tidak membuat kita saling mengenal. Kita hanya tahu seseorang berprofesi sebagai pembantu, tanpa tahu siapa namanya, berasal dari mana, serta mengapa sampai menjadi pembantu.

Kota serupa himpunan rumah-rumah yang warganya tak selalu berinteraksi. Pergaulan kita amatlah terbatas. Kita hidup dalam penjara ego yang membuat kita kehilangan empati. Akan tetapi, dalam diri kita, ada kesadaran untuk mengenali dan mengetahui apa yang dialkukan orang lain. Makanya, banyak di antara kita yang mengidap penyakit kepo, selalu ingin tahu yang dilakukan orang lain. Mungkin, ini pula yang menjelaskan mengapa kita semua suka gosip, suka selancar di media sosial, suka memantau gosip tentang orang lain.

Yang dilakukan Pat Walsh sepintas terkesan biasa saja. Bagi kita orang Indonesia, apa yang dilakukannya ini barangkali telah lama kita tahu. Tapi bagi publik luar, yang dilakukannya ini adalah upaya untuk mengenali Indonesia, memahami pengalaman warga, mengetahui betapa abainya negara terhadap mereka, serta memahami fakta penting tentang betapa banyaknya kisah-kisah yang tersaji dalam kota, yang seharusnya bisa mengasah nurani kemanusiaan kita.

Pada titik ini, Pat Walsh telah menjadi juru bicara tentang sisi terdalam tanah air kita.

Bogor, 30 Januari 2016

BACA JUGA:





0 komentar:

Posting Komentar