Seusai Membaca "The Post-American World"



SETIAP zaman selalu memiliki tantangan. Setiap zaman selalu memiliki dinamika. Hanya mereka yang bertahan melewati tantangan yang akan survive. Hanya mereka yang bisa membaca masa kini, lalu menyiapkan strategi untuk masa depan yang akan menjadi pemenang.

Saya baru saja usai membaca The Post-American World yang ditulis Fareed Zakaria, salah seorang pemikir yang bermukim di negeri Paman Sam. Yang saya rasakan adalah apa yang kita sebut sebagai tatanan dunia tak pernah statis. Seusai Perang Dunia II, ada banyak negara yang tumbang, tapi kini mereka bangkit dan menjadi kekuatan ekonomi baru. Sementara Amerika sendiri perlahan mulai goyah akibat mengeluarkan biaya tinggi demi mempertahankan imperium kekaisaran yang dibangun sejak akhir masa perang.

Dunia serupa sirkuit balapan raksasa yang pesertanya adalah bangsa-bangsa dan negara yang punya start berbeda. Ada yang pernah jadi pemenang, lalu menentukan aturan balapan. Tapi banyak pula yang telat memasuki arena balapan, namun perlahan menjadi pemenang.

Meskipun ada kata Amerika di buku ini, bukan berarti membahas tentang keterpurukan amerika. Yang sedang dibahas adalah bagaimana transformasi dan perubahan terjadi di banyak negara, yang lalu mengubah tatanan. Penulis serupa sejarawan Arnold Toynbee yang menjelaskan dinamika challenge and response. Bahwa di setiap zaman selalu ada challenge (tantangan). Bangsa yang survive adalah bangsa yang bisa mengajukan response dengan tepat, sesuai dengan kondisi zaman itu.

Nah, cobalah berimajinasi bahwa kita hidup di akhir tahun 1800-an. Jika hidup di zaman itu, kita tak akan pernah membayangkan tatanan dunia saat ini. Pada masa itu, Amerika ibarat remaja yang tengah luka-luka akibat perang sipil dan konflik antar negara bagian. Pada masa itu, Inggris adalah negeri superpower yang memancarkan pengaruh ke mana-mana. Luas teritorinya adalah 4,6 juta kilometer persegi. Inggris membangun koloni di seluruh dunia, menjadikan bahasanya sebagai bahasa internasional, memiliki armada laut paling hebat dalam sejarah.

Akan tetapi, beberapa keputusan politik yang keliru telah menyebabkan negeri itu perlahan bangkrut. Perang Dunia I menghabiskan anggaran hingga lebih 40 miliar dollar. Negara itu sampai berutang hingga 136 persen dari pengeluaran domestiknya. Menjelang Perang Dunia II, negara itu membeli banyak peralatan tempur hingga tiga kali lipat pengeluaran, sepuluh kali lebih banyak dari para prajurit di Terusan Suez. Perang Dunia juga menewaskan lebih 700 ribu anak muda Inggris. Finansial mulai keropos, hingga kekuatan ekonominya hancur.

Tak disangka, anak tiri Inggris, yakni Amerika Serikat mengambil alih posisi superpower dan mencengkeram dunia dengan kuat. Amerika datang dengan kekuatan ekonomi terbesar, lalu membangun militer paling kuat. Saat negara-negara industri tumbang, Amerika datang sebagai pemilik kekuatan global. Amerika lalu menyebar nilai-nilai seperti demokrasi dan hak asasi manusia, sambil memperkuat penetrasi ekonomi, menguasai pasar perdagangan dunia, serta memiliki militer paling kuat.

Saat ini, Amerika masih menjadi negara dengan daya saing ekonomi paling tinggi di dunia. Negeri itu unggul dalam hal inovasi, ketersediaan teknologi terbaru, serta punya koloborasi paling bagus antara litbang universitas dan industri. Selama puluhan tahun, negeri ini berkuasa dan mengatur dunia. Tapi bukan berarti bahwa kenyataan ini akan selalu statis.

Saya tergelitik dengan kutipan di sampul belakang buku. Dijelaskan kalau dua puuh tahun silam, Amerika Serikat adalah pemuncak dari semua kategori. Kini, terjadi pergeseran di mana-mana. Perusahaan terbesar bermarkas di Tiongkok, industri film terbesar ada di Bollywood (India), pesawat terbesar dirakit di Rusia, serta munculnya kebangkitan negara-negara baru sebagai kiblat ekonomi dunia, yakni Brazil, India, Rusia, dan China. Globalisasi menggeser banyak hal. Belum lagi, krisis keuangan dunia telah memicu pergeseran pasar. Kebangkitan beberapa negara secara perlahan telah mengubah lanskap politik internasional, yang selama beberapa puluh tahun dikuasai Amerika Serikat.

Akan tetapi, buku ini tak bisa dikatakan berisi prediksi muram tentang Amerika. Yang ada adalah berbagai transformasi negara bangsa, yang juga penuh celah di sana-sini. Asia memang bangkit, namun ada beberapa masalah internal yang bisa menjerat laju kencang bangsa seperti Cina dan India. Di sisi lain, Amerika juga punya masalah, yakni campur tangan yang tidak efektif di banyak negara. Makanya, buku ini menawarkan banyak alternatif, serta perlunya melihat ulang beberapa kebijakan demi menjaga warisan dari para bapak bangsa amerika, mulai dari Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Benjamin Franklin, hingga Theodore Roosevelt.

***

Bagian awal buku ini mengejutkan saya. Sejarah mencatat tentang ekspedisi pelayaran yang dilakukan oleh Laksamana Ceng Ho dari Cina. Kapal-kapal yang digunakannya punya ukuran yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kapal yang pernah digunakan Columbus ketika menemukan Amerika. Asia pernah mecatat kegemilangan, sesuatu yang kemudian runtuh perlahan-lahan.

Argumentasi yang dibangun penulis buku ini sanat menarik. Menurutnya, pasca-pelayaran Ceng Ho, pihak Kekaisaran Cina memiliki perubahan orientasi. Pelayaran itu danggap tidak memberi manfaat yang signifikan bagi perkembangan ekonomi. Makanya, blueprint teknologi kapal itu lalu dimusnahkan. Kemunduran Cina disebabkan oleh sentralisasi kekuasaan, yang menyebabkan perubahan kebijakan yang senantiasa mengikuti rezim berkuasa.

Jika saat ini, Cina pelan-pelan menjadi raksasa dunia, bisa ditafsir dari banyak sisi. Mulai dari nasionalisme ekonomi, pengaruh Confucianis dalam ekonomi, kebijakan untuk membuka pintu ekonomi dan terintegrasi dnegan pasar dunia, serta kebijakan untuk menguasai sektor energi. Secara ekonomi, Cina mulai kuat dan bersiap untuk menghantikan Amerika, tapi itu tidak akan terjadi walam waktu cepat. Amerika masih punya kekuatan militer, serta banyak sumberdaya yang akan tetap menempatkannya dalam posisi atas bangsa-bangsa, di antaranya adalah kekuatan korporasi, jaringan dagang, serta kemampuan untuk mendikte bangsa-bangsa lain.

Asia Barat dahulu adalah pusat peradaban. Tapi hari ini malah tumbang. Negara-negara Timur Tengah sibuk dalam konflik antar negara. Kuatnya sentralisme kekuasaan, menyebabkan posisi masyarakat menjadi pasif, sehingga rezim dengan mudahnya menggiring masyarakat untuk perang yang lalu menguras sumberdaya, serta menghancurkan tatanan hebat yang pernah dibangun. Jika saja negara-negara di kawasan Timur Tengah hidup damai, maka barangkali sejarah dunia akan ditulis ulang dan episode kehebatan di masa kini, akan dimulai dari sana.

Memang, hal ini sangat memiriskan. Kian massifnya konflik di Timur Tengah bisa juga ditafsir sebagai faktor dari luar yakni intervensi banyak negara seperti Amerika. Nampaknya, argumentasi penulis buku ini cukup hati-hati. Ia menyebut keterlibatan Amerika di Irak, Afghanistan, dan Suriah adalah kebijakan yang keiru sebab menimbulkan masalah yang berlarut-larut. Di bawah rezim Obama, Amerika sedang meninjau ulang keterlibatan di banyak negara, dan fokus untuk mengurusi dalam negeri. Nampaknya, negara itu belajar dari Inggris yang tumbang karena kebanyakan mengurusi aspek internasional, konsekuensi dari imperium yang sangat besar.

suatu ketika di dekat Patung Liberty

Minggu lalu, saya mengikuti diskusi bersama ekonom UGM, Tony Prasentiantono, yang bercerita tentang peta-peta politik internasional. Katanya, harga minyak dunia akan terus turun disebabkan oleh beberapa hal. Dahulu, Amerika mencampuri urusan negara-negara itu karena mengincar sektor energi. Tapi sekarang tidak lagi. Kata ekonom UGM itu, Amerika Serikat telah menjadi produsen minyak terbesar berkat inovasi teknologi yakni fracking.

Negara itu mampu menjadi jawara di rantai produksi minyak dunia karena mereka meningkatkan operasi pengeboran sumur. Spencer Dale mengungkapkan bahwa puncak naiknya produksi minyak terjadi pada tahun lalu, lebih dari 1800 anjungan beroperasi di sector minyak dan gas AS, mengebor sekitar 40 ribu sumur baru. Amerika memang tidak main-main dalam hal urusan tambang. Buktinya, produksi produksi minyak AS menjadi  11,6 juta barel per hari, mengalahkan Arab Saudi dan negara penghasil minyak lainnya.

Kata Tony, negara-negara yang mengandalkan minyak mesti bersiap memasuki kenyataan baru. Negara-negara itu mesti siap dengan situasi minyak dunia yang kian menipis. Katanya, jika minyak bumi habis, Amerika adalah negara yang paling siap. Sebab negara itu menempati posisi terdepan dalam hal riset-riset tentang energi terbarukan.

Tantangan yang dihadapi di masa depan kian kompleks. Masing-masing negara tengah bersaing untuk menguatkan fundasi sosial bangsa-bangsa, menguasai nanoteknologi, serta memahami ekonomi masa depan sebagai ekonomi padat pengetahuan. Hanya bangsa-bangsa yang inovatif, dan punya visi bisnis yang akan bisa bertahan, lalu menjadi pemenang. Apakah itu Amerika? Tunggu dulu. Boleh jadi, ada negara itu mengambil kebijakan keliru lalu tersandung. Boleh jadi pula ada bangsa-bangsa yang sukses menyalip dan menjadi bangsa superpower yang terbaru.

Pada akhirnya, buku ini merekam dinamika dan pergulatan antar bangsa. Akan tetapi, saya serasa membaca satu buku sejarah masa silam, yang lalu mempengaruhi masa kini, dan sejarah masa depan. Untuk memahami dinamika ekonomi itu membutuhkan satu pengetahuan holistik yang meluaskan perspektif kita atas banyak hal, mulai dari sejarah, pemetaan geografi, ekonomi sumberdaya, serta sejumlah anasir budaya yang menjadi sebab kebangkitan satu bangsa.

Pelajaran berharga yang saya dapatkan adalah tak ada sesuatu yang statis. Persiapkan diri untuk mengadapi beragam situasi. Kemenangan tak selalu menjadi kemenangan. Kekalahan pun tak selalu menjadi kekalahan. Mereka yang menang adalah mereka yang paling siap menafsir kenyataan hari ini, lalu menyiapkan masa depan.


10 Januari 2015


0 komentar:

Posting Komentar