mahasiswa Amerika sedang bermain angklung di bawah arahan pengajar bahasa Indonesia, Budi Winurseto |
DI Amerika Serikat
(AS), kajian Indonesia menjadi salah satu kajian yang populer. Bermula dari
riset keindonesiaan yang marak sejak tahun 1960-an, pada masa perang dingin,
kajian Indonesia menjadi pintu gerbang untuk mengenali Indonesia. Tak heran,
jika banyak warga Amerika yang memendam asa dan keinginan kuat untuk berkunjung
ke Indonesia demi belajar kebudayaan, memperdalam pengetahuan tentang sejarah,
serta belajar pada komunitas. What?
Pria itu bernama Nick.
Ia warga asli Amerika Serikat (AS) yang tengah menempuh pendidikan pascasarjana
di Ohio University at Athens. Di antara para sahabatnya, ia terbilang cukup
aneh, sebab memilih kelas bahasa Indonesia hingga level mahir (advance).
Saat ditanya mengapa pria yang kerap mengenakan jaket coklat itu menggemari
pelajaran bahasa Indonesia, ia menjawab singkat, “Bahasa Indonesia akan
segera menjadi bahasa dunia. Sebab penuturnya menempati posisi keempat terbesar
di dunia.”
Tak hanya belajar
bahasa Indonesia. Ia juga mempelajari sejarah serta kebudayaan Indonesia.
Malah, ia hendak menulis karya ilmiah tentang Kartosuwiryo. Dalam satu
kesempatan, ia mengatakan bahwa sejarah dan budaya Indonesia amat unik sebab
lahir dari keragaman serta intensitas dialog-dialog yang kaya. Ia yakin bahwa
kelak, sejarah yang panjang itu akan menjadi energi yang akan menggerakkan
bangsa Indonesia menjadi bangsa unggul di masa datang. Ini soal waktu, katanya.
Di kampus Ohio
University, wacana keindonesiaan cukup kuat. Kampus ini menjadi basis
pengkajian Asia Tenggara atau Center for Southasian Studies di Amerika. Tak
heran jika di sini, pustaka tentang Indonesia sedemikian banyak. Saya sudah
pernah menuliskan tentang buku-buku Indonesia yang malah sulit ditemukan di
tanah air, namun bertebaran di perpustakaan Ohio. Bahkan komik-komik karya RA
Kosasih juga lengkap di Ohio (baca DI
SINI).
Selain kekayaan studi
pustaka, di kampus ini, bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliah yang
ditawarkan kepada mahasiswa asing. Seiring waktu, peminatnya juga cukup banyak.
Yang menarik, peminat mata kuliah ini kebanyakan adalah warga asli AS yang
justru belum pernah mengunjungi Indonesia. Bahasa adalah gerbang kebudayaan.
Melalui bahasa, terbentang minat yang luas untuk mempelajari khasanah dan
pengetahuan tentang budaya serta sejarah yang kaya.
Prof William Condee sedang mementaskan wayang Bali di hadapan warga Amerika |
Sebagai mahasiswa
Indonesia, saya diuntungkan dengan keberadaan para pengkaji Indonesia ini.
Mereka sangat membutuhkan mahasiswa Indonesia sebagai conversation partner
atau teman berdialog demi melancarkan kemampuan bahasa Indonesianya. Di saat
bersamaan, saya juga hendak melancarkan kemampuan bahasa Inggris. Maka
berkawanlah saya dengan beberapa orang. Kami menjalin simbiosis mutualisme.
Saya mengajarinya bahasa Indonesia, dan mereka mengajari bahasa Inggris.
Simbiosis yang adil khan?
Saat berdialog dengan
mereka, saya sering senyum-senyum saat melihat mereka begitu kesulitan
mempelajari bahasa Indonesia. Saya membayangkan, bahwa mereka pun akan
senyum-senyum saat mendengar bahasa Inggris saya yang kacau-balau atau Toefl
saya yang hancur-hancuran. Tapi, nampaknya mereka lebih kesulitan. Seminggu
lalu, saya berdialog dengan salah seorang di antaranya. Ia bertanya dengan
logat Amerika, “Apa kamu suka makan kandang?” Saya langsung kaget. What?
Kok bisa makan kandang? Melihat saya bingung, ia langsung mengatakan “I mean
potato.” Ooo. Itu sih kentang, bukan kandang. Hehehe.
Saya menikmati
saat-saat ketika berbahasa Indonesia dengan mereka. Sebagai mahasiswa dengan
kemampuan bahasa yang pas-pasan, saya merasakan betul bagaimana sulitnya
beradaptasi di tengah masyarakat Amerika yang suka berbicara dnegan cepat
sehingga maknanya susah dicerna. Bahasa Inggris memang simbol kekuasaan. Bahasa
ini menjadi bahasa yang dipakai di jurnal internasional, serta digunakan dalam
pergaulan antar bangsa. Masyarakat kita sering memposisikan penutur asli bahasa
Inggris seolah lebih ketimbang warga sendiri.
Nah, ketika melihat
mereka kesulitan dan terbata-bata berbahasa Indonesia, saya seolah
menikmatinya. Ternyata, bukan cuma saya yang sulit menembus skor Toefl atau
mencapai level berbahasa yang baik agar dimengerti. Mereka pun mengalami
kesulitan yang sama ketika harus belajar bahasa Indonesia. Impas khan?
mahasiswa Amerika dan mahasiswa Cina sedang memainkan wayang golek |
kolaborasi latiha kuda lumping antara mahasiswa Amerika dan Indonesia |
Di antara sekian banyak
teman, saya menjalin persahabatan dengan pria bernama Erick, yang berasal dari
Cincinnati, Ohio. Selain belajar bahasa, ia sudah lama memendam keinginan untuk
pergi ke Indonesia. Ia berharap agar kelak dirinya bisa berkelana mengunjungi
beberapa kota. “Saya ingin menyaksikan langsung sebuah negeri yang telah
memesona dunia dengan keberagaman suku bangsanya, “ katanya dengan bahasa
Inggris.
Apa yang paling menarik
dari Indonesia? Erick menyebut kebudayaan dan beberapa folklore Nusantara. Ia
menganggap Indonesia sebagai negeri yang paling unik, dengan segala
keanekaragaman budaya dan bahasa, namun tengah berjuang untuk melepaskan diri
dari keterpurukan. Ia juga terkagum-kagum saat membaca sejarah bangsa Indonesia
yang berperang selama sekian abad demi melepaskan diri dari belenggu
penjajahan. “Anda sangat beruntung sebab lahir di satu bangsa dengan
semangat dahsyat, yang tidak dimiliki semua bangsa.”
Suatu hari, ia
menghadiri pagelaran wayang Bali yang dibawakan dalam bahasa Inggris oleh Prof
William Condee. Ia terkagum-kagum dan berkali-kali mengatakan bahwa ada
kesesamaan antara orang Bali dengan orang Indian. “Mereka sama-sama meyakini
bahwa alam semesta memiliki spirit atau jiwa. Mereka juga sama-sama yakin bahwa
spirit para leluhur tetap ‘hidup’ bersama komunitas,” katanya.
Sebagaimana Erick,
mahasiswi bernama Jessica juga memendam kekaguman yang sama. Ia setia mengambil
kuliah yang diasuh oleh pengkaji Indonesia, misalnya Prof Gene Ammarell
(penulis buku Navigasi Bugis), Prof Elizabeth Collins (penulis buku Indonesia
Betrayed atau Indonesia Dikhianati), dan Prof William Frederick, salah satu
begawan studi sejarah Indonesia. Para professor ini memiliki reptasi hebat yang
kemudian menjadikan Indonesia sebagai bidang kajian yang memiliki pesona kuat.
Berbeda dengan Erick,
Jessica memperdalam pengetahuan akan musik angklung. Dalam beberapa hajatan
mahasiswa internasional, ia ikut menampilkan permainan angklung bersama
mahasiswa Amerika lainnya. Bagaimana rasanya saat memainkan angklung? “Bagi
saya ini pengalaman unik. Sungguh nikmat bisa memainkan instrument music. Namun
akan lebih asyik jika saya paham tentang filosofi, kekuatan lirik, serta makna
setiap syair. Mudah-mudahan saya bisa menguasainya,” katanya.
Para pengkaji dan
pemerhati Indonesia itu telah membersitkan optimisme di hati saya. Dahulu, saya
tak banyak memiliki kebanggaan sebagai anak bangsa. Namun mereka telah
menyalakan kesadaran bahwa Indonesia adalah negeri yang besar, dan memiliki
pesona kuat di jajaran bangsa-bangsa. Mereka telah membantu saya untuk
menanamkan kebanggaan pada tanah air yang demikian kaya dengan khasanah tradisi
dan kebudayaan.
Mereka seolah
membisikkan rasa cinta serta keyakinan bahwa selalu ada harapan di tanah air.
Bahwa selalu ada cahaya yang memancar di tengah-tengah pekatnya pesimisme
banyak anak bangsa. Bahwa selalu ada embun sejuk di tengah rasa dahaga
ketidaktahuan kita sebagai warga negara tentang potensi besar yang sedang kita
miliki. Kita hanya butuh keberanian untuk menerabas benalu masalah, serta
menanam optimism bahwa negeri ini bisa menggapai impian Bung Karno, sebagai negeri
yang menjadi mercusuar, cahayanya menyinari semua bangsa. Semoga!
Athens, Ohio, 21
Desember 2012
BACA JUGA:
2 komentar:
Luas biasa bung Yusran. Anda motivator negeri...
halo, terima kasih sudah berbagi informasi yang menarik
kunjungi juga webste UIN Walisongo Semarang di walisongo.ac.id
Posting Komentar