JIKA politik ibarat satu pertandingan
tinju, maka posisi Aburizal Bakrie tengah tersudut di pojok ring. Ia tak sedang
berhadapan dengan seorang petinju. Ia tengah berhadapan dengan banyak orang
yang sontak naik ke atas ring lalu melancarkan jab ke arahnya. Bahkan
kawan-kawan dekatnya pun kini jadi lawan.
Meskipun Nurdin Halid ikut naik dan
membantunya, namun kekuatan yang dihadapinya kian bertambah banyak. Dalam
situasi ini, hanya ada dua skenario bagi Ketua Umum Partai Golkar ini, apakah
tetap akan bertahan, ataukah mengikuti irama permainan yang diajukan semua
lawan politiknya untuk segera menggelar musyawarah nasional (munas) gabungan.
Pilihan pertama penuh dengan risiko
politik. Kaki-kaki bisnisnya sudah lama tidak sanggup menopang aktivitasnya.
Pilihan kedua adalah bertahan, yang merupakan pilihan paling sulit, sebab dari
segala arah ia sedang ditebas. Pilihan ini jauh lebih membawa risiko. Bersama
kawan-kawan dekatnya, ia sudah mencium satu gelagat untuk menyingkirkan dirinya
dari panggung politik. Dirinya akan tinggal nama di panggung politik. Ia tak
ingin lenyap dari sejarah.
Lantas, apakah gerangan yang hendak dicari
Aburizal? Apakah gerangan kartu terakhir yang masih dimilikinya? Marilah kita
telaah satu episode memilukan bagi seorang politisi yang akan segera tersingkir
dengan cara sistematis.
***
WAJAH lelaki itu langsung menegang. Lelaki
itu, Akbar Tandjung, politisi kawakan yang pernah membawa gerbong Partai Golkar
melalui masa-masa paling sulit dalam sejarah partai itu, dianggap melakukan
sesuatu yang di luar kewenangannya. Salah seorang pengurus DPP Partai Golkar,
Nurdin Halid, menyampaikan adanya teguran kepadanya.
"Memang siapa itu Nurdin Halid?
Pernah berbuat apa dia bagi Golkar?" kata Akbar, sebagaimana dikutip oleh
banyak media, beberapa hari lalu. Akbar pantas menanyakan itu. Teguran
kepadanya adalah sesuatu yang melanggaran anggaran dasar, mengingat posisinya
sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar. Teguran itu adalah isyarat
kalau wacana musyawarah nasional yang diusungnya membuat murka para pengurus
DPP, termasuk Nurdin.
Pernyataan Nurdin bisa dilihat dari banyak
sisi. Di satu sisi, pernyataan itu adalah blunder besar sebab akan memancing
reaksi keras dari kubu Akbar yang juga punya pijakan kokoh di partai itu. Akbar
pernah membawa partai melalui masa-masa sulit. Ia memimpin partai, dengan gaya
seorang organisatoris, sehingga banyak orang yang akan pasang badan untuknya. Menegur
Akbar sama dengan membangunkan satu kekuatan yang selama ini memilih sebagai
penonton dari duel Aburizal versus Agung. Tapi di sisi lain, Nurdin memang
harus menyampaikan itu. Ia sedang melindungi kepentingan serta palagan terakhir
yang dimiliki sang ketua umum, Aburizal Bakrie, yang saat ini kaki-kakinya
tengah digerogoti. Nurdin sedang mengamankan nama baik serta kepentingan ketua
umumnya yang secara perlahan mulai keropos. Nurdin adalah sosok yang tepat
untuk itu.
Politik kita laksana panggung, di mana
masing-masing pihak berusaha untuk berebut wacana. Di pihak Aburizal, mulai
berhembus wacana tentang semua kelompok yang hendak menghabisi kelompok itu.
Hingga saat ini, Aburozal masih bersikukuh tentang legalitas Munas Partai
Golkar di Bali. Tapi perkembangan terakhir sungguh mengejutkan. Di kalangan
pendukung Munas Bali, perpecahan mulai muncul. Banyak yang mulai gerah dengan
sikap Aburizal yang seolah menjadikan Golkar sebagai perusahaan keluarga dan
kelompok. Banyak yang gerah melihat dirinya menganak-emaskan Nurdin dan Setya
Novanto.
***
BEBERAPA tahun silam, Wapres Jusuf Kalla
(JK) mengeluarkan anekdot yang menarik tentang partai politik. Kata JK, PDIP
dan Demokrat ibarat perusahaan keluarga. Di dua partai itu, ada keluarga yang
memegang saham mayoritas. Makanya, jangan pernah bermimpi untuk merebut pucuk
pimpinan partai itu kalau anda bukan dari keluarga. Beda halnya dengan Golkar.
Partai berwarna kuning ini tak punya pemegang saham mayoritas. Semua adalah pemegang saham. Semua kelompok
bisa menjadi pimpinan, sembari membawa gerbong sendiri. Di ajang munas
berikutnya, boleh jadi, kelompok lain yang kemudian menjadi pimpinan.
Makanya, semua Ketua Umum Golkar rata-rata
hanya menjabat satu periode, sebab pergesekan antar kelompok ini sama kuat dan
sama berimbang. Hanya Aburizal yang terpilih dua periode. Penjelasannya bisa
dirunut dari begitu rapinya tim Aburizal yang dipimpin Nurdin Halid bergerilya
lalu mengamankan kursi ketua umum di Munas Bali, yang ditempuh dengan berbagai
cara. Beberapa waktu lalu, rekaman atas rapat strategi ini beredar, sesuatu
yang kemudian memantik murka kubu Agung Laksono.
***
BEBERAPA hari terakhir, terdapat berbagai
perkembangan menarik terkait Aburizal. Yang terlihat di mata publik adalah
munculnya berbagai kubu yang selama ini memilih diam saat berada di kubu
Aburizal. Tak hanya tokoh muda, beberapa tokoh senior pun mulai turun
gelanggang. Mulai dari Akbar tandjung, Jusuf Kalla, Muladi, hingga beberapa
sosok lain yang dahulu dikenal loyalis Aburizal.
Kartu yang dipegang Aburizal hanyalah
kartu legalitas atas Munas Bali. Celakanya, mahkamah tak kunjung melegalkan
munas tersebut. Persoalan seakan mengambang, saat pengadilan justru mengakui
mandat Munas Riau, yang telah lama dinyatakan demisioner.
Yang paling dikhawatirkan Aburizal adalah
posisi pemerintah yang justru tak mendukungnya. Betapa tidak, masuknya
pemerintah untuk menalangi utang PT Lapindo Brantas harus dilihat sebagai
strategi cerdik untuk menjerat Aburizal agar tidak melakukan hal-hal yang
berindikasi penetangan terhadap pemerintah. Hutang Aburizal hanya bisa dibayar
dengan cara bersikap manut pada pemerintah berkuasa, kalau perlu menggiring
Golkar ke posisi mendukung pemerintah. Ia tak punya pilihan sebab dalam situasi
sulit, pemerintah yang memasang badan untuknya.
Jika ia kehilangan Partai Golkar, maka
kekuatannya akan lumpuh total. Aburizal bukan sosok seperti Akbar Tandjung dan
Jusuf Kalla yang memiliki legacy atau
warisan berharga bagi partai itu. Akbar membawa partai melalui masa reformasi,
lalu mengeluarkan kebijakan konvensi Partai Golkar, sesuatu yang sangat penting
bagi dinamika politik Indonesia. Sementara Jusuf Kalla tercatat sukses memimpin
partai itu, relatif tanpa guncangan berarti, dikarenakan posisinya yang kuat
sebagai wakil presiden serta masuknya beberapa kader Golkar ke posisi menteri.
Di tangan Aburizal, partai itu kian
keropos. Di ajang pemilihan presiden, dirinya tak dilirik, padahal partainya
adalah pemenang kedua pemilu legislatif. Konflik lalu bersemi diarenakan
Aburizal yang mengeloa partai sebagai kepanjangan dari kelompoknya. Konflik
berlarut-larut ini lalu membawa dampak pada posisi terpuruk di ajang pemilihan
kepala daerah (pilkada) langsung.
Jika partai itu ingin selamat, maka jalan
musyawarah dan rekonsiliasi harus segera ditempuh. Tapi ini jalan berisiko bagi
Aburizal, sebab dirinya berpotensi besar akan tersingkir. Ia tak memiliki
loyalis seperti Akbar yang selalu mendukung langkah-langkah politiknya. Ia juga
tak sekuat Jusuf Kalla yang bisa mengendalikan Golkar sehingga tak ada gejolak.
Yang dijaga Aburizal adalah kekuatan tim
yang dibekali dengan sumberdaya finansial yang memadai. Pemiihnya semu sebab
loyalitasnya terbeli oleh silaunya sumberdaya material yang dimilikinya. Pemlih
seperti ini punya kesetiaan yang gampang dibeli. Ketika partai itu menggelar
musyawarah, maka diperkirakan smeuanya akan berpaling dari Aburizal. Inilah
hukuman yang diterimanya atas tidak bekerjanya semua mesin partai dikarenakan
sibuk mengurus konflik.
Bagi Aburizal posisi sekarang adalah
skakmat. Kartu terakhir yang dikeluarkannya adalah bertahan selama mungkin,
sembari membuka ruang negosiasi bagi semua kelompok di partai itu. Namun,
pilihan ini sepertinya sulit. Kekuatan kubu lawannya semakin bertambah. Semua
pihak mulai bergabung untuk merntuhkan dinasti serta benteng terakhir yang
dimilikinya. Kekuatan yang dihadapinya laksana air bah, dan dirinya bukanlah
Musa yang sanggup membelah air bah itu.
Aburizal ibarat Kapten John Smith, nakhoda
kapal Titanic yang sendirian di ruang nakhoda saat air bah mulai memasuki
kapal, dan semua penumpang berlarian untuk menyelamatkan diri. Di ruang itu, ia
masih berharap ada keajaiban yang kelak akan menyelamatkannya, sekaligus
merawat namanya di pusaran sejarah sebagai sosok yang pernah berjasa bagi
partai itu.
Ah, mungkinkah?
0 komentar:
Posting Komentar