Satu Masa Bersama Hilmar Farid


LELAKI yang kerap tampil berambut gondrong itu akhirnya dilantik sebagai Dirjen Kebudayaan. Beberapa tahun silam, tak pernah terbersit di benak saya kalau dirinya, Hilmar Farid, akan masuk birokrasi pemerintahan. Dirinya identik dengan beberapa hal, mulai dari Pramoedya Ananta Toer, kajian buruh, sejarah lisan, hingga aktivitas intelektual.

Kali ini, saya ingin mengenang pertemuan dengannya.

***

SUATU hari di tahun 2008, saya sedang belajar di kelas magister antropologi, Universitas Indonesia. Pada masa itu, saya ingin menulis tesis tentang mereka yang di masa silam mendapat stigma sebagai komunis. Saya tertarik untuk mengangkat kisah-kisah senyap tentang mereka yang berusaha menyembunyikan satu rangkaian kejadian masa silam, yang kemudian dibungkam oleh negera, lalu mengalami kekerasan secara fisik dan emosional.

Saya menemui tantangan yang tak mudah. Saya juga bingung hendak memulai dari mana. Tentunya, tak mudah mengurai trauma yang selama sekian tahun berusaha untuk dilupakan. Tak mudah pula menulis sesuatu yang hampir dilupakan, lalu tiba-tiba kerap hadir dan kembali terasa perih. Selama 32 tahun, rezim Orde Baru membangun versi sejarahnya sendiri, lalu membungkam mereka yang berseberangan, memberi mereka stigma, yang lalu menjelma sebagai sanksi sosial, terbatasnya gerak, serta nestapa yang juga menimpa anak cucu.


Saya tertarik untuk menulis tesis tentang tema-tema itu. Saat itu saya membayangkan betapa menariknya menyajikan etnografi tentang mereka yang berusaha melupakan banyak hal. Hasrat saya meluap-luap untuk menulis tentang mereka yang dilumpuhkan oleh sejarah, namun tetap berusaha menjaga ingatannya, dengan cara mengkanalisasinya pada elemen budaya.

Saya kesulitan untuk membumikan ide-ide yang berseliweran di kepala. Maklumlah, riset itu terletak di tengah-tengah antara kajian sejarah dan kajian antropologi. Saya mesti menarik titik hubung, yang memungkinkan saya menulis secara etnografis, yang lalu diperkaya secara mendalam oleh data-data kesejarahan.

Untungnya, saya punya banyak sahabat yang setiap hari menemani saya berdiskusi dan membahas berbagai topik. Di antara beberapa sahabat itu, ada dua orang yang memiliki minat sama terkait peristiwa 1965. Keduanya adalah Diah Laksmi, alumnus program filsafat UI, serta Riri Purwantari, litbang Kompas yang juga aktif di Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI).

Diah dan Riri beberapa kali menyebut nama Hilmar Farid, atau kerap dipanggil Fay, sebagai sosok yang bisa membantu saya. Nama itu tak asing buat saya. Seorang sahabat, Sundjaya, bercerita tentang Fai. Katanya, Fay membaca Das Kapital, mahakarya Karl Marx dalam bahasa Jerman. Kisah ini sudah cukup membuat saya kagum dengannya.

Saya juga mengenalnya sebagai penerjemah buku An Age of Motion yang ditulis sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi. Buku yang diterbitkan dengan judul Zaman Bergerak ini menjadi buku sejarah yang tak pernah bosan saya baca. Isinya tentang periode awal gagasan kebangkitan nasional mulai berkecambah. Buku ini membahas beberapa sosok, seperti Tirto Adisoerjo, Tjipto Mangoenkoesoemo, hingga Hadji Misbach, yang memiliki perbedaan latar dan ideologi, namun secara bersama-sama menjadi peletak dasar nasionalisme modern.

Terakhir, saya juga pernah membaca tulisannya di buku berjudul Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, yang dieditori Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae. Tulisan Fay di situ berjudul Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial di Indonesia. Tulisannya menjelaskan tentang bagaimana Orde Baru membangun rezim pembangunanisme, lalu menghancurkan diskursus kelas dalam kajian ilmu sosial, dan menghilangkan para intelektual yang kerap menggunakan analisis kelas. Rezim Orde Baru lalu memastikan beberapa istilah dalam analisis kelas dihilangkan atau diganti dengan kosa kata yang lebih enak didengar oleh rezim.

Fay membahas bagaimana praktik diskursif pasca 1965 telah berperan besar dalam membentuk ilmu sosial di Indonesia, lalu membandingkannya dengan kajian Marxis ortodoks, hingga menunjukkan bagaimana relevansi kajian kelas itu dalam analisis mutakhir atas kapitalisme dan kekuasaan di Indonesia, serta bagaimana menghadirkan ilmu sosial kritis untuk mengubah keadaan.

Tulisannya laksana tamasya di jagad teori sosial, demi menemukan satu peluru yang paling tajam untuk menembus kebekuan ilmu sosial Indonesia. Tulisannya membuka satu tabir tentang praktik kuasa yang lalu menentukan arah ilmu sosial agar mendukung tujuan negara. Padahal, tujuan ilmu sosial adalah memahami masyarakat secara kritis demi melakukan perubahan. Demi melakukan revolusi.

***

SUASANA di kantin sastra (kansas) UI di Depok nampak ramai di banding biasanya. Di kantin yang bangunannya berbentuk honai atau rumah adat orang Papua itu banyak mahasiswa sedang duduk sembari menikmati hidangan ala mahasiswa. Di sudut ruangan, saya menyaksikan si gondrong Fay sedang duduk dan berbincang dengan beberapa orang.

Saya diajak Diah dan Riri untuk bertemu dengan Fay. Tentu saja saya senang sekali sebab bisa diskusi berbagai topik. Fay senang sekali saat melihat kami datang. Tangannya menggenggam tangan saya dengan kuat, sembari menyebut nama. Saya pun menyebut nama lalu duduk di depannya.

Kami lalu berdiskusi beberapa hal, mulai dari yang serius hingga bercanda. Ia bercerita tentang perpustakaan luas yang dibangunnya bersama sejarawan John Roosa di dekat Tamini Square.

Yang masih saya ingat adalah Fay menjelaskan tentang metode sejarah lisan (oral history). Ternyata, ia baru saja mengedit buku bersama sejarawan John Roosa dan Ayu Ratih, yang berjudul Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Demi pembuatan buku ini, ia mewawancarai banyak korban yang dituduh PKI, lalu membuat program rekonsiliasi dengan para tentara yang dulu pernah menyiksa korban itu. Pendekatannya menarik sebab terinspirasi dari Gandhi dan Mandela.

Fay menjelaskan bahwa sejarah lisan sangat tepat digunakan untuk meneliti peristiwa 1965. Alasannya, sumber sejarah berupa dokumen  telah dihancurkan oleh pemerintah. Selain itu, kita hampir tidak pernah menemukan bagaimana perspektif para korban dalam memahami kejadian itu. “Bagi para sejarawan klasik, dokumen sejarah adalah segala-galanya. No document no history. Tapi kita bisa mencari jalan alternatif melalui sejarah lisan, lalu melakukan tahapan-tahapan ilmiah yang ketat demi mendapatkan fakta-fakta,” katanya.

Kata Fay, orang pertama yang melakukan riset dengan metode sejarah lisan adalah Pramoedya Ananta Toer saat menulis Perawan Remaja di Sarang Militer. Pramoedya meriset tentang para jugun ianfu atau wanta-wanita yang dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Pramoedya bertemu banyak jugun ianfu saat ditahan di Pulau Buru. Yang menarik, para perempuan itu menyembunyikan identitasnya. Pram butuh proses riset dan pendekatan yang cukup intens sehingga beberapa fakta tersibak. Kesaksian perempuan-perempuan itu menjadi mutiara berharga yang bisa membuat orang-orang memahami apa yang sebenarnya terjadi di masa silam.

Usai bahas yang serius-serius, kami lalu bahas yang santai-santai. Ada beberapa hal yang saya ingat. Ia bercerita tentang perpustakaan besar yang dibangunnya di dekat Tamini Square. Katanya, perpustakaan itu punya koleksi yang lebih lengkap jika dibandingkan perpustakaan Miriam Budiardjo di Fisip UI. Beberapa minggu kemudian saya ke sana, dan sangat terkesan. .

Terhadap Fay, saya tertarik dengan karakternya yang merupakan kombinasi antara intelektual dan aktivis. Sebagai intelektual, ia sangat produktif melahirkan publikasi di banyak jurnal. Sebagai aktivis, ia juga produktif turun ke basis, mendampingi buruh, lalu menulus berbagai hal yang bisa membuka kesadaran publik.

***

SEUSAI pertemuan itu, kami bertemu di beberapa kegiatan. Ia sering menjadi pembicara, dan saya sebagai peserta. Hingga akhirnya, saya mendengar dirinya lalu kuliah program doktor di National University of Singapore (NUS) dan mengambil kelas Cultural Studies. Saya membayangkan kalau dirinya akan semakin berkembang di ranah publikasi.

Suatu hari, saya mendengar dirinya menjadi pendiri Relawan Jakarta Baru, yang mendukung Jokowi dan Ahok sebagai pasangan Gubernur DKI. Saya mulai bertanya-tanya, mengapa ia tiba-tiba merapat ke dunia politik dan mulai berkampanye untuk seseorang.

Saya hanya menduga-duga kalau kebanyakan aktivis memilih untuk masuk pusaran politik demi mengubah sesuatu. Barangkali mereka menyadari bahwa gerak di pinggiran tak akan pernah efektif. Demi perubahan, seseorang tak perlu terus-terusan menjadi demonstran yang berteriak di jalan raya. Orang tersebut mesti masuk parlemen, lalu melakukan banyak hal-hal hebat demi membumikan idealisme.

Ia lalu menjadi relawan Jokowi menuju kursi kepresidenan. Saat parade kemenangan Jokowi, ia ikut berpidato di Monumen Proklamator di Jalan Proklamasi. Dia juga yang kemudian membantu Jokowi untuk menyusun konsep penguatan sektor maritim, serta kalimat Jokowi yang cukup menghentak “Kita terlalu lama memunggungi lautan.”

Persentuhan dengan kekuasaan membuat dirinya menikmati remah-remah politik. Ia lalu diangkat sebagai komisaris PT Krakatau Steel. Terakhir, ia diangkat sebagai Dirjen Kebudayaan. Tentu saja, ada harapan yang disematkan banyak aktivis di pundaknya. Minimal ia diharapkan bisa melakukan perubahan.

Saya sendiri tak ingin menuntut banyak. Saya tahu bahwa menjadi birokrat tak semudah menjadi akademisi ataupun aktivis. Sebagai birokrat ia mesti masuk pada pusaran tarik-menarik kuasa, berjibaku dalam penyusunan program kerja serta anggaran APBN yang pro rakyat. Dia juga harus punya target-target jangka pendek yang harus segera diwujudkan jika ingin dianggap berhasil. Ah, semoga saja dia bisa mengubah kultur birokrasi. Meskipun saya tahu bahwa ini sangat tak  mudah, dan potensi gagalnya lebih besar.

Biarlah sejarah yang mencatat apa saja yang dilakukannya. Apakah kelak ia akan ditulis dengan tinta emas, ataukah akan ditulis dengan horor. Sejarah yang akan memutuskannya. Kali ini, bukan dirinya yang mencatat sejarah, tapi sejarahlah yang akan menulis dirinya, apakah menjadi hero ataukah menjadi pecundang.
                                                                                                            

1 Januari 2016



0 komentar:

Posting Komentar