SAHABAT
ini bernama Ricardus Keiya. Ia berasal dari Paniai, Papua. Beberapa tahun lalu,
dia datang bersama rombongan calon mahasiswa dari Papua untuk belajar di salah
satu kampus besar di Bogor. Ada 40 lebih mahasiswa dari Paniai, yang datang
dalam tiga angkatan di kampus itu. Dari desa-desa di Papua, mereka datang
dengan harapan untuk belajar hal baru, lalu membawanya ke kampung halaman.
Sekian
tahun berlalu, satu demi satu mahasiswa Papua itu berguguran. Jauh lebih banyak
yang di-DO dengan berbagai alasan. Dari 40 mahasiswa, hanya ada dua yang
bertahan dan berhasil diwisuda, yakni sahabat ini dan seorang lagi. Dia
mengungkap beberapa alasan. Mulai dari standar dan kualitas SMA yang tidak
setara antara timur dan barat, ketidaksiapan menghadapi persaingan, kebiasaan
kampung halaman yang dibawa ke kota, hingga banyaknya hal yang memecah
konsentrasi di kota-kota.
Saya
tersentuh saat dirinya bercerita tentang masa-masa awal yang berat.
"Tiba-tiba saya disuruh belajar kalkulus. Padahal, waktu SMA saya tidak
kenal binatang bernama kalkulus itu." Jangankan dia, saya pun akan
“taputar” kalau disuruh belajar kalkulus. Tapi dia cukup sabar dan tahan banting.
Ditanya kiat suksesnya, ia tak tahu hendak menjawab apa. Selama kuliah, ia
lebih banyak bermain bola. Beberapa kali menjadi pemain sepakbola terbaik,
serta mengantarkan timnya menjadi juara adalah prestasinya. Olahraga membuatnya
terkenal di seantero kampus.
Banyaknya
mahasiswa yang berguguran ini menjadi catatan penting untuk mendiskusikan
program serupa di masa mendatang. Saya mendengar pemerintah pusat akan
mendatangkan banyak siswa dari Papua untuk belajar di sekolah-sekolah menengah
di Jawa, juga mendatangkan mahasiswa untuk belajar di Jawa. Lagi-lagi, Jawa
dianggap lebih beradab dari pulau tempat saudara kita di ujung timur sana.
Orang Timur harus ke barat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih memadai.
Mengapa
kita tak membalik kenyataan itu? Mengapa kita tak membenahi fasilitas
pendidikan di Papua menjadi yang terbaik sehingga anak-anak Papua tak perlu
jauh-jauh ke Jawa? Kenapa tak buat sekolah-sekolah keren, menciptakan guru-guru
hebat, hingga menjadikan sekolah di sana sebagai sekolah terbaik? Mengapa kita
tak membuat hal paling bagus di sana, biar mahasiswa dari Jawa yang datang ke
sana untuk menuntut ilmu?
Kita
sedang menyaksikan kesenjangan. Kita menyaksikan ketertinggalan timur atas
barat. Hanya dengan cara memahami masyarakat Papua, serta berpikir sebagaimana
mereka, banyak hal hebat bisa lahir di sana. Tanpa memahami apa yang diinginkan
orang Papua, program sebagus apapun hanya akan sia-sia. Tanpa mengajak mereka
bercerita tentang dunianya, mustahil merencanakan satu format pendidikan yang
bisa menjawab apa yang mereka inginkan.
Ah,
apapun itu, saya senang bersahabat dengannya. Satu pekerjaan telah
mempertemukan kami. Selanjutnya, dia banyak membantu saya. Cukup sering saya
memanggilnya datang untuk sama-sama melakukan sesuatu. Ketika dia datang dan
bercerita yang lucu-lucu, dunia langsung terasa indah. Dalam banyak hal, kami
punya kesamaan. Mulai dari melihat kehidupan dengan sederhana, tak suka bahas
yang serius-serius, suka membahas hal-hal lucu, hingga sama-sama suka
menghabiskan hari dengan bercerita ngalor-ngidul.
Tapi
beberapa hari ini, dia nampak kalut. Dia nampak sedih. Sebagai sahabat, saya
berharap bisa menghiburnya. Kepadanya saya hanya bisa berucap, “Kaka jangan
sedih. Selalu bahagia yaa”
Bogor,
19 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar