Pelajaran dari Tiga "Penjahat"


ilustrasi

KISAH tentang orang hebat sudah sering kita dengar. Demikian pula kisah tentang orang sukses, orang kaya, ataupun seorang pemimpin. Namun pernahkah kita sejenak mendengarkan kisah tentang mereka yang dianggap sebagai penjahat? Sudahkah kita mendengarkan kisah mereka yang dianggap jahat dan dinistakan oleh dunia sosial kita? Apakah gerangan yang bisa kita pelajari dari kisah itu?

***

LELAKI itu Muksin Tamnge. Tapi ia lebih dikenal dengan nama Temmy. Banyak pula yang mengenalnya dengan nama Taufik. Lahir di Kei, Maluku, pada tahun 1938, namanya kondang di telinga para aparat pada masa Orde Baru. Ia keluar masuk penjara, dan memiliki rekor mengejutkan di dunia rampok.  Ia tercatat merampok hingga 397 kali, mengorganisasi 63 preman dari berbagai etnik di berbagai kota.

Dirinya serupa Robin Hood. Ada saat di mana dirinya merampok miliaran, namun ada banyak saat dirinya membagikan rampokan itu ke banyak orang. Pernah, ia memberikan puluhan berlian kepada seseorang. Ia tak punya kriteria siapa yang hendak mendapatkan bantuannya. Selain rajin memberikan uang bagi orang sekitarnya, ia juga sering kedapatan memberikan bantuan bagi orang yang kecelakaan di jalan raya.

Kepribadiannya kompleks. Dari dalam penjara, ia pernah diwawancarai Prisma, jurnal ilmu sosial. Katanya, kepuasan tertinggi dalam batinnya adalah saat berhasil melahirkan senyum di bibir orang yang tengah dilanda kesusahan dan penderitaan. Makanya, ia tak pernah menikmati sendirian hasil rampokan. Dihadiahkannya ke banyak orang, sebagai wujud dari aktualisasi mimpinya, untuk menghadirkan senyum di wajah orang lain. Mengapa dia harus menjadi perampok?

Kisahnya panjang. Masa kecilnya menyedihkan. Ayahnya sering mencambuknya, hingga beberapa kali lari dari rumah. Dia lalu belajar di madrasah, lalu lanjut sekolah menengah di Makassar. Setelah studi lanjutan tentang pendidikan jasmani di Denpasar, ia disiapkan untuk menjadi sosok pelatih olahraga. Ia lalu dikirim ke Belgrado, Yugoslavia, demi mendapatkan pelatih olahraga handal. Apalagi, Indonesia akan menggelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo) yang digadang-gadang akan menyaingin olimpiade.

Sayang, nasibnya tak semulus itu. Ia diharuskan membayar sejumlah uang kepada pejabat Deplu. Tuntutan uang itu tak bisa dipenuhinya. Ia lalu kembali ke Denpasar, Bali. Kegagalan itu mengganggu tidurnya. Ia berpikir kalau batas antara pejabat dan penjahat amatlah tipis. Seorang pejabat bisa saja jadi penjahat. Ia lalu kembali ke Jakarta, lalu menjadi preman di Pasar Senen. Di dunia hitam, ia menjadi Don yang ditakuti. Ia hanya mau merampok dua hal: (1) orang kaya yang memperkaya dirinya secara tidak wajar, (2) pegawai negeri yang memperkaya dirinya dengan fasilitas negara.

Yang mengejutkan, ia tahu kalau tindakannya jahat. Makanya, ia menutupinya dengan menamatkan Al Quran. Jika rekor merampoknya sebanyak 397 kali, maka ia berhasil menamatkan bacaan Al Quran hingga 548 kali. Dibanggakannya, kalau jumlah itu lebih banyak dari angka kejahatan yang dilakukannya.

Ah, biarlah Tuhan yang menilai.

***

DI ujung sel lain, terdapat seseorang bernama Kusni Kasdut. Lelaki ini sama terkenalnya dengan Muksin. Ia spesialis perampok berlian. Dalam menjalankan aksinya, ia selalu membunuh polisi.  Ia dua kali divonis hukuman mati. Pertama karena membunuh polisi di sebuah perampokan berlian terbesar. Kedua, karena membunuh miliuner Arab yang kaya raya. Lelaki ini kian fenomenal karena beberapa kali lolos dari penjara.

Lahir pada tahun 1929, dirinya menjalani masa kecil sebagai penjual rokok dan kue. Di usia 16 tahun, ia mengetahui satu rahasia bahwa dirinya lahir dari hubungan gelap antara ibunya dengan seseorang, yang tak jelas. Ia kecewa berat.

Demi menutupi aib itu, ia mencari kegiatan lain. Di masa Jepang, ia bergabung dnegan heiho, lalu mejadi pejuang. Ketika republik ini berdiri, ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia, dengan pangkat sersan. Tugasnya di BKR cukup unik. Ia diminta merampok, mencuri, membunuh, dan merampas harta orang kaya demi perjuangan republik. Semuanya untuk kemerdekaan Indonesia.

Ia memulai tugas sucinya demi republik dengan merampok orang Tionghoa kaya di Madiun. Hasil dirampokan diserahkan ke komandannya. Beberapa kali ia terlibat dalam pertempuran bersenjata. Hingga akhirnya, Konferensi Meja Bundar (KMB) telah menghentikan semua pertempuran itu. Kabinet Hatta melakukan rasionalisasi. Ribuan tentara direkrut menjadi tentara republik, sisanya diarahkan menjadi pegawai negeri. Banyak pula yang tidak direkrut sebagai tentara ataupun pegawai, sesuatu yang memicu banyak pemberontakan.

Kusni sungguh sial. Namanya tak terdaftar dalam barisan tentara. Kembali, semua luka-luka hatinya kambuh. Ia seorang anak haram, ia seorang perampok bagi republik, ia menjadi ampas yang dibuang begitu saja. Mulailah dirinya menjadi sosok lain. Mulailah ia berkhianat pada republik yang dahulu dibelanya. Kusni menjadi sosok yang lain. Baginya, tak ada beda antara merampok orang Tionghoa kaya di Madiun, dengan merampok emas milik negara.

Tahun itu, tahun 1979, adalah tahun dimulainya Kabinat Pembangunan Kedua. Soeharto melancarkan hegemoni di semua lini. Mahasiswa dijinakkan sehingga kembali ke kampus. Kampus dibanjiri dana rset bagi dosen. Jutaan anggota PKI dibunuh. Pengangguran merebak. Para preman berkeliaran. Soeharto lalu mengeluarkan kebijakan agar aparat berhak menembak para preman di jalan-jalan. Mayatnya dibiarkan begitu saja.

Di tengah situasi itu, Kusni Kasdut melancarkan aksinya. Hingga akhirnya, ia divonis mati. Ia mengganti nama menjadi Ignatius Waluyo, lalu menjadi seorang Katolik yang taat. Hingga akhirnya, suatu hari di tahun 1980, peluru menembus jantungnya. Ia menjalani hukuman mati. Tamatlah riwayatnya di dunia hitam.

***

SOSOK lain adalah Henky Tupanwel. Ia lahir di Ende, 17 Agustus 1932. Berbeda dengan Muksin dan Kusni Kasut yang berasal dari lapis menengah ke bawah, sosok Henky justru berbeda. Ia dibesarkan oleh seorang pendeta yang berumah di Bandung, dan bertugas di Angkatan Darat (AD). Ia menikmati hidup berkecukupan, serta sedikit lagi akan menjadi sarjana di Universitas Padjajaran.

Hanya saja, dirinya justru tidak nyaman. Ditempa disiplin yang ketat, serta keharusan belajar agama, Henky memutuskan untuk meninggalkan rumah. Mulailah ia bertransformasi menjadi seorang penjahat. Pada usia 25 tahun, ia merampok bank di Bandung. Ia dipenjara, namun berhasil kabur. Beberapa kali mencuri dan ditahan, ia akhirnya ditahan di Nusa Kambangan. Hingga akhirnya berhasil lari, dan kembali merampok bank.

Ia serupa filsuf dalam tahanan. Ketika hakim memutuskan hukuman mati, ia bertanya, “Bagaimana cara Yang Mulia melaksanakan hukuman mati? Apa saya diperkenankan untuk memilih mati dengan cara disalib?” Terhadap seorang pendeta, ia menjelaskan, salib adalah simbol dari kepahlawanan. Jesus mati sebagai pahlawan. Makanya, dirinya pun ingin mati dengan cara demikian. Pada malam sebelum ditembak mati, ia menulis puisi:

Megah-megah dalam penjara
Hingga segalanya harus ditentang
Nyisih dari segala kegelapan
Akan pudar
Megah-megah dalam penjara
Hingga datang kemenangan jiwa
Aku bangga aku bangga
Karena kelelahan jerih payahku
Kan kuperuntukkan hanya bagi keulyaan Tuhan
Di mana tanah tandus aku bercocok tanam.

Bait puisi ini bisa dilihat dari berbagai perspektif. Yang terasa dari puisi ini betapa Henky berbangga atas apa yang dilakukannya. Ia mungkin mengalami momen pertobatan, lalu menerima dengan ikhlas semua yang terjadi. Ia lalu melihat dirinya serupa martir yang mengorbankan diri demi Tuhan.

Dalam diri Henky, terdapat banyak pertanyaan tentang agama. Ia melihat para pendeta sibuk memenjarakan agama dalam pemenjaraan suci (holy confinement) untuk disentuh ajaran agama manapun. Agama dilihatnya hanya sebagai kuasa yang dimiliki para pelakunya, yang kerap mengeluarkan tafsir sesuai dengan keyakinannya sendiri.

Hidup menjadi semakin paradoks bagi Henky. Ia berani menempuh hukuman mati, akan tetapi dengan cara seperti yang ditempuh oleh Jesus. Namun hakum tak bergeming. Pada tanggal 5 Januari 1980, dirinya ditembak oleh aparat. Dia terbunuh atas nama hukum, atas nama hukum Ketuhanan, yang ditegakkan negara.

***

TIGA kisah para penjahat ini saya temukan di satu bab dalam buku Menerjang Badai Kekuasaan, yang ditulis Daniel Dhakidae, tahun 2015. Saya menemukan beberapa hikmah yang menarik dari hasil bacaan tentang mereka yang dituduh sebagai penjahat ini.

buku Menerjang Badai Kekuasaan

Pertama, di balik setiap penjahat, terdapat kisah-kisah yang menarik untuk ditelusuri. Selalu ada “the turning point” atau titik balik yang mengubah haluan hidup seseorang. Selalu ada proses dan pengalaman personal yang kemudian membuat seseorang memilih untuk berada pada posisi politik tertentu.

Setiap manusia akan selalu mempertanyakan pilihan-piihannya, sembari melihat sekelilingnya. Saat ia menyaksikan paradoks, ataupun menemukan manusia lain yang serba ambigu, maka seseorang bisa memilih posisi yang abu-abu, dengan pertimbangan bahwa orang lain pun melakukannya. Setiap manusia selalu menghujam banyak tanya, menyerap pengalaman, lalu memutuskan apa yang terbaik baginya. Di setiap pilihan itu terdapat sedemikian banyak konsekuensi.

Dalam hal Muksin, situasi yang dihadainya adalah seorang pejabat yang hendak memeras dirinya. Ia mulai mempertanyakan batasan antara baik dan buruk, antara legal dan ilegal, antara kebenaran dan kesalahan. Kusni Kasdut pun demikian. Ia mempertanyakan batasan antara merampok seseorang untuk tujuan republik, serta sikap republik yang justru meminggirkannya.

Ia bertanya tentang apa makna nasionalisme, ketika jiwa dan raga diserahkan untuk negeri, tapi justru negeri tak peduli dengan dirinya. Demikian pula Henky Tupanwel. Ia mempertanyakan berbagai doktrin agama yang justru dilihatnya sebgaai penjara. Nilai-nilai dan ajaran moral menjadi nisbi, dan seolah dihadirkan untuk dilanggar.

Kedua, selalu ada kaitan antara pilihan itu dengan kondisi sosial. Sehingga penting memahami konteks, setting, ataupun dinamika sosial yang menyebabkan seseorang memilih untuk di titik tertentu. Yang terasa dari tiga kisah ini adalah betapa institusi negara hanya menguntungkan kelompok tertentu, betapa struktur negara tak bisa mewujudkan supremasi hukum dan bertindak adil pada sesamanya. Negara menjadi ajang persekongkolan massal yang semakin mengaburkan batasan antara moral baik dan buruk, antara benar dan salah, antara legal dan ilegal.

Dengan cara memahami konteks sosial, kita bisa melihat kaitan atau relasi antara satu tindakan dengan tindakan lain, antara setiap keping peristiwa dan kepingan peristiwa yang lain, sehingga upaya untuk menyelesaikan masalah sosial bisa lebih holistik, dengan cara melihat kaitan antara dunia sosial dan dunia manusia yang saling berkelindan. Mustahil mengatasi masalah manusia, jika masalah negara tak terselesaikan.

Sebagaimana dikatakan sosiolog C Wright Mills dalam buku Sociological Imagination tentang tiga hal yang menjadi dasar untuk memahami satu masyarakat, yakni biografi, sejarah, dan struktur sosial. Ketiga aspek ini saling berkaitan erat, saling meresap, dan saling berpotongan di banyak titik. Setiap tindakan individu adalah produk sejarah yang dipengaruhi struktur masyarakat. Maka, upaya untuk mengatasinya bukanlah sekadar menyalahkan individu, melainkan meletakkan tindakannya dalam satu konteks sosial, yang kemudian diurai secara perlahan, dan dipahami maknanya.

Saya sedang memikirkan para teroris yang meledakkan bom di Sarinah. Saya memikirkan bahwa setiap tindakan mereka dipengaruhi oleh banyak aspek, mulai dari doktrin religi, kondisi desa yang tak memberi banyak peluang, serta tangan-tangan lembut negara yang tak menjabat tangan semua warganya. Negara hanya hadir di Starbuck, tanpa hadir di desa-desa melalui upaya pencerahan, serta perlindungan bagi warga yang tertindas.

Beberapa bulan lalu, ada kisah mengharukan tentang seorang warga desa bernama Salim Kancil yang terbunuh oleh para preman kepala desa. Di manakah negara dalam kondisi seperti itu? Di saat negara tak hadir sebagai pahlawan di hadapan warganya yang lemah, maka janji-janji tentang surga di langit akan semakin kuat mendera seseorang. Demi menjemput takdir itu, apapun akan dilakukan oleh seseorang itu, demi surga, demi langit.

Yang pasti, dari kisah tiga penjahat itu, ada banyak makna yang bisa diserap untuk menafsir kini untuk masa depan.





1 komentar:

Anonim mengatakan...

Muksin tamnge atau taufik tamnge... Kakak dari bapak saya, dimana saya bisa dapatkan bukunya?

Posting Komentar