TERIMA kasih buat mereka yang
menyederhanakan sesuatu yang rumit. Dahulu, saya kesulitan memahami naskah
filsafat. Hingga akhirnya, saya menemukan buku karya Jostein Gaarder berjudul
Sophie's World (diterjemahkan menjadi Dunia Sophie), yang menyederhanakan
filsafat yang rumit itu sesederhana membaca komik Kungfu Boy.
Kini, di saat saya kesulitan memahami
sejarah, saya menemukan buku terjemahan dari bahasa Jerman berjudul Sejarah
Dunia untuk Pembaca Muda (terbitan Marjin Kiri) karya Ernst H. Gombrich. Isinya serenyah membaca
petualangan Percy Jackson bersaa dewa-dewa, yang dibuat Rick Riordan atau
seringan kisah-kisah dongeng.
Membacanya tak bikin kening berkerut, tapi bisa membuat kita tercerahkan. Saya serasa bertamasya, mengarungi lautan sejarah yang luas, bertemu banyak tokoh, lalu menyerap banyak makna.
Membacanya tak bikin kening berkerut, tapi bisa membuat kita tercerahkan. Saya serasa bertamasya, mengarungi lautan sejarah yang luas, bertemu banyak tokoh, lalu menyerap banyak makna.
Saya membaca banyak buku sejarah. Tapi
buku karya Ernst Gombrich ini lain dari yang lain. Tak ada penuturan tentang
tanggal dan tahun yang ketat. Tak ada debat metodologis tentang setiap
peristiwa. Yang ada adalah kisah-kisah sejarah yang menarik, serta bisa
dipahami siapa saja. Dengan cara bercerita, sejarah menjadi punya jiwa, ruh,
dan tidak sekadar menjadi himpunan peristiwa.
Penulisnya serupa seorang kakek yang
sedang bercerita kepada cucunya sendiri. Makanya, kalimat-kalimatnya sederhana
dan mudah dipahami. Padahal, penulisnya adalah seorang doktor bidang sejarah
seni rupa dari Universitas Wina. Sebelum menulis buku ini, ia saling berkirim
surat dengan anak seorang temannya. Anak itu ingin tahu banyak hal tentang
bidang yang ditekuninya. Ia lalu mendapat satu keping inspirasi. Bahwa
pengetahuan sejarah bisa diajarkan ke seorang anak cerdas, tanpa harus
menggunakan terminologi ilmiah yang rumit.
Apalagi, Gombrich tentang mengalami
kejenuhan dengan bahasa ilmiah, seusai menuntaskan disertasinya. Ia lalu
menyiapkan satu tulisan berjudul Time of
The Knight (zaman ksatria). Ternyata, artikel ini disukai oleh satu
penerbit. Ia lalu ditantang untuk menyelesaikan semua buku dalam enam minggu.
Tantangan ini menjadi awal dari suara Gombrich yang bergema ke seluruh dunia.
Buku ini tak hanya beredar di Jerman,
melainkan ke berbagai penjuru. Sebagai seorang kakek, cerita-cerita Gombrich menyebar
ke berbagai bangsa-bangsa. Ia mengisahkan masa-masa awal sejarah, betapa
tingginya pengetahuan orang Mesir kuno yang mencipta hieroglyph, eksotika kota
Athena yang dipenuhi puisi dan karya-karya filsafat, hingga manusia-manusia
bijaksana yang memberi jejak bagi peradaban. Mulai dari Siddharta Gautama,
Yesus Kristus, Muhammad, hingga para filosof Cina seperti Konghucu dan Lao Tze.
Ernst Gombrich |
Saya menikmati bahasan tentang beberapa
hal penting. Mulai dari sejarah nama-nama hari, abjad yang digunakan, pertempuran
di Thermopylae, kejatuhan Roman Empire (Kekaisaran Roma), kebangkitan Arab dan
Islam, kemunculan Galileo Galilei yang lalu memantik revolusi Perancis, hingga
abad pencerahan atau renaisans. Terakhir, ia lalu membahas zaman modern,
manusia dan mesin, berbagai pertempuran, serta kapitalisme.
Saya tergelitik dengan ucapan penulisnya
di awal. Katanya, sejarah tampak seperti telaga yang tak berujung. Sebagai
manusia, kita seakan mengambil segumpal kertas, membakarnya, lalu membiarkannya
jatuh. Kertas terbakar itu akan jatuh ke dalam dan terus menyala. Di sepanjang
lubang, ia akan menerangi dinding-dinding telaga. Semakin ke dalam, cahayanya
akan pudar, hingga akhirnya lenyap ditelan kegelapan.
Mungkin, yang dimaksud dengan cahaya
adalah ilmu pengetahuan yang disampaikan dengan narasi yang memikat. Sebab
narasi akan bercahaya dan mencerahkan ketika dipahami oleh pihak lain,
khususnya generasi muda. Makanya, berbagai narasi sejarah ibarat cahaya yang
menyingkirkan gelap, menyingkirkan ketidaktahuan, yang dengan cara itu, manusia
bisa belajar banyak hal demi menata masa kini dengan lebih baik.
Dari susunan kalimat-kalimatnya yang
ringan, buku ini sangat tepat untuk dibacakan oleh orangtua demi menemani
anaknya yang sedang terlelap. Namun jika dilihat isinya yang agak tebal,
nampaknya, buku ini diniatkan untuk semua kalangan. Saya sendiri mendapatkan
banyak hal-hal baru. Ternyata, wawasan sejarah saya sangat terbatas. Saya tak
memahami banyak hal, hingga akhirnya buku ini membantu saya untuk membuka
lapis-lapis ketidaktahuan itu dengan cara yang sederhana.
Bagian lain yang saya sukai adalah Manusia
dan Mesin. Penulis buku ini sangat hati-hati ketika membahas tentang
sosialisme, serta kesadaran para buruh untuk bersatu agar tidak menjadi sekrup
dari mesin-mesin kapitalisme. Sosialisme yang diajarkan Karl Marx itu menjadi
sedemikian mudah dipahami. Padahal, di berbagai buku, bagian ini cukup sulit
diterangkan. Tak semua orang bisa memahami esensi yang dimaksud Marx.
Ada satu hal hal yang membuat saya tidak
merasa nyaman. Buku ini terlampau banyak membahas tentang Eropa. Pembahasan
tentang timur, dan segala aspek filosofinya tak begitu banyak. Padahal, saat
membaca bagian tentang Siddharta Gautama, serta filsuf Konghucu, saya merasa
tak puas. Saya ingin tahu lebih banyak. Demikian pula saat sampai pada bagian
tentang Muhammad dan kebangkitan Islam, lagi-lagi saya belum puas. Dahaga
intelektual saya tak terpuaskan.
Namun saya sadar betul kalau buku ini
hanya menyajikan deskripsi singkat di setiap zaman. Tentunya, tak mudah memadatkan
peristiwa selama 5.000 tahun ke dalam 300-an halaman. Membaca buku ini ibarat
bertamasya ke sejarah dunia, menyaksikan episode kemenangan dan kekalahan,
menyaksikan kebijaksanaan dan kedunguan, merasakan kekuatan dan kelemahan,
memahami kekuatan-kekuatan yang menggerakkan sejarah, hingga melihat masa kini
sebagai kelanjutan dari masa sebelumnya.
Di lembar akhir, terdapat satu kalimat
menarik. Gombrich menyamakan waktu serupa sungai yang mengalir.
Pada mulanya, es mencair di zaman prasejarah, lalu memunculkan sungai nil, yang
menjadi awal peradaban Mesir yang ditandai banyaknya piramida. Setelah itu,
muncul banyak peradaban di tempat lain, seperti Menara Babel, Acropolis, hingga
akhirnya sungai ke lautan luas. Manusia ibarat buih-buih yang muncul di
sepanjang sungai. Kita sedang bergerak ke depan, menuju satu masa depan yang
terselubung kabut.
Ada banyak kemalangan, ada banyak derita,
ada banyak bom atom jatuh menghujam. Tapi harapan-harapan akan terus tumbuh
selagi manusia masih memiliki ide-ide kemajuan, serta kebaikan yang tumbuh bak
mawar di tengah reruntuhan. Melalui ide-ide itu kita berharap dunia akan selalu
lebih baik, dunia akan selalu tersenyum
Bogor, 13 januari 2016
7 komentar:
Dalam satu bulan berapa buku yang bang Yusran baca hingga selesai ?
Mantap sekali.. !
nda ji. tergantung kalau lg ada buku baru ataukah tidak.
Bagus sekali bang yusran.. salam kenal lagi kita pernah ngobrol di fb di 2011an dulu saya masih di kompasiana..
saya lagi gerilya bukunya skrng hehehe..
Terimakasih ulasannya. Saya juga lagi tertarik sama sejarah setelah baca dunia sophie. Tapi apa buku ini menjelaskan secara gamblang soal renaissance? Mohon infonya. Terimakasih
Abad pencerahan di buku ini diceritakan cukup gamblang kok. Bagi yang belum pernah tau istilah "renaissance" akan dg mudah mengenal istilah itu. Bagi yg sudah tau, maka menambah ikatan memory plus-plus. Knp plus-plus?! Karena dari bab awal sampe akhir kisah" di buku ini seperti ada sihir yg menambah ataupun merangkai pengetahuan kita tntg dunia; baik dari film, komik, dll.. (Nih seminggu baru tuntas baca, hehee)
Masya Allah. mantap..
Posting Komentar