suasana pagi di Desa Tanjung Batu, Berau, Kalimantan Timur |
Undang-undang
desa menyaratkan semua pemerintah desa untuk menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) di level desa. Pemerintah desa mesti
memetakan apa saja yang menjadi potensi, kekuatan, serta harapan di
level desa. Namun bagaimanakah menyusun dokumen itu ketika tak ada
satupun data-data yang dimiliki pemerintah desa? Bisakah?
***
Kening
pria itu tiba-tiba saja semakin berkerut. Wajah tuanya semakin terpekur
saat diajak berdiskusi tentang data-data yang ada di level desa. Ia
hanya menunjukkan satu blanko isian tentang data potensi kampung dari
pihak pemerintah kabupaten. Blanko itu kosong melompong. Ia tak punya
ide hendak mengisi blanko itu dengan data apa.
Ia
menyilahkanku untuk melihat beberapa data yang terpampang di dinding
kusam kantor itu. Kulihat ada data demografi yang ditulis di papan putih.
Selanjutnya, sketsa kampung itu yang dibuat oleh mahasiswa yang
melakukan KKN di situ. Aku juga melihat papan putih besar yang
bertuliskan data potensi kampung, namun tak satupun ada angka tertera di
situ.
Sebut
saja pria itu bernama Edi. Jabatannya adalah Sekretaris Kampung Tanjung
Batu, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Di Berau, pemerintahan
setingkat desa dinamakan kampung. Nama ini dianggap lebih dekat dengan
kultur serta tradisi yang berdenyut di masyarakat.
Lebih
10 tahun Pak Edi menjabat sebagai perangkat kampung yang digaji
pas-pasan. Namun sejak eranya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Tugasnya adalah
berkantor di sekretariat desa dan memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Setiap hari ia memakai pakaian dinas yang nampak mentereng dan rapi.
“Di
sini tidak ada data. Tapi kalau butuh beberapa data, barangkali saya
bisa hubungi beberapa orang,” katanya. Mulanya ia hendak menghubungi
staf Badan Pusat Statistik (BPS) yang kerap mengumpulkan data. Sayang,
staf BPS itu tak berada di desa itu.
Lagian,
aku juga tak seberapa ingin bertemu staf BPS. Beberapa data BPS yang
kubawa dari Jakarta justru nampak aneh saat tiba di kampung itu. Data
Potensi Desa (Podes) dari BPS menunjukkan bahwa desa itu adalah desa
pertanian, di mana sawah menjadi tumpuan utama kehidupan warganya.
Kubayangkan tempat itu serupa desa-desa di Cianjur yang dipenuhi
sawah-sawah menakjubkan.
Tiba
di desa itu, aku serasa tak percaya. Desa itu terletak di pesisir laut,
pada posisi sebagai gerbang menuju kawasan wisata yakni Pulau Derawan,
Maratua, Kakaban, dan Sangalaki. Tak ada sepetak sawah pun di
desa itu.
Bahkan, beras didatangkan dari luar, yakni Samarinda ataupun Balikpapan. Desa itu tak bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Sebab karakteristik desa itu adalah desa pesisir, di mana warganya mencari nafkah dengan meniti buih dan ombak lautan.
Bahkan, beras didatangkan dari luar, yakni Samarinda ataupun Balikpapan. Desa itu tak bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Sebab karakteristik desa itu adalah desa pesisir, di mana warganya mencari nafkah dengan meniti buih dan ombak lautan.
Data
lain dari BPS yang membingungkan adalah data tentang profesi
warganya. Sungguh aneh karena profesi kebanyakan warga terletak di
sektor industri. Padahal, amatan sepintas saja sudah bisa dipastikan
kalau warga sangat bergantung pada sektor kelautan dan perikanan. Nah,
apa data BPS masih bisa menjadi patokan?
“Ini
data tentang konsesi perkebunan. Kebetulan, kami dikasih oleh pihak
tambang,” kata Pak Edi setelah lama berpeluh untuk menggeledah mejanya
yang nampak berantakan. Data itu lalu kupelajari dan kucatat
bagian-bagian yang penting. Sungguh mengherankan karena beberapa data
justru disediakan pihak perusahaan tambang.
Seorang pejabat Pemda Berau sebelumnya bercerita tentang minimnya data-data di level kampung. Mayoritas kampung tak punya data-data yang bisa menjadi patokan dalam memahami potensi desa, sekaligus merencanakan apa yang terbaik di desa itu. Tanpa data, kita tak punya gambaran tentang potensi kampung, aset-aset ekonomi, aset budaya, serta apa saja yang menjadi tradisi dan budaya masyarakat.
Di
banyak tempat, kantor desa atau kelurahan hanya menjadi tempat untuk
mengurus KTP dan Kartu Keluarga, serta pajak bumi dan bangunan. Di luar
itu, tak banyak kegiatan lain yang bisa disebutkan. Tentu saja, pihak
perangkat desa tak bisa disalahkan.
Sejak masa Orde Baru, posisi perangkat desa hanya sebagai perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah, sekadar menunjukkan bahwa negara hadir pada scope yang terkecil.
Sejak masa Orde Baru, posisi perangkat desa hanya sebagai perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah, sekadar menunjukkan bahwa negara hadir pada scope yang terkecil.
Persoalan
mencuat ketika rezim pemerintahan yang baru hendak memberikan otonomi
ke level desa, lalu menyilahkan desa untuk menyusun perencanaan,
memberikan anggaran dengan porsi memadai, serta kewenangan untuk
mengeksekusi program.
Ketika diminta untuk menyusun perencanaan, pihak desa kelabakan dan tak bisa berbuat apa-apa. Aparat desa tak punya kemampuan teknis untuk membuat berbagai dokumen dan laporan keuangan demi mengeksekusi beberapa rencana kegiatan.
Ketika diminta untuk menyusun perencanaan, pihak desa kelabakan dan tak bisa berbuat apa-apa. Aparat desa tak punya kemampuan teknis untuk membuat berbagai dokumen dan laporan keuangan demi mengeksekusi beberapa rencana kegiatan.
Dalam
situasi seperti ini, muncul para calo di level desa yang menawarkan
bantuan untuk menyusun program, lalu membuat berbagai dokumen. Para calo
meniupkan kekhawatiran bagi pihak desa tentang ancaman penjara karena
ketidakmampuan mengelola anggaran publik. Para calo memberi iming-iming
bahwa mereka punya pengetahuan yang bisa menyelamatkan aparat desa dari
sanksi penjara.
Maka sebuah persekongkolan baru telah lahir di desa yang sebelumnya tak banyak gejolak.
***
Sering kupikirkan adanya satu cultural gap
atau kesenjangan pengetahuan yang cukup jauh. Pemerintah menyaratkan
dokumen perencanaan yang berbasis pada data-data numerik, sementara
masyarakat desa memiliki sistem berpikir dan sistem pengetahuan yang
berbeda dengan apa yang diinginkan pemerintah.
Yang ada di benak warga desa berupa rekaman sejarah serta gerak dan dinamika tradisi justru tak pernah dipandang sebagai data.
Yang ada di benak warga desa berupa rekaman sejarah serta gerak dan dinamika tradisi justru tak pernah dipandang sebagai data.
Pemerintah
kita tak punya satu mekanisme perencanaan yang berbasis pada kearifan
pengetahuan serta kebijaksanaan di level desa. Dengan kata lain, tak ada
mekanisme lain untuk penyusunan program selain dari model penyusunan
yang ada di level pemerintah pusat. Yang kemudian terjadi, kebijakan
pembangunan di level desa, tak lebih dari sebuah copy-paste atas apa
yang terjadi di tingkat pusat.
Yang
selalu diminta pemerintah dan kerap dikhutbahkan para akademisi adalah
model-model dan sistematikan berpikir yang justru tumbuh pada birokrasi
di tingkat pusat. Pengetahuan itu membutuhkan satu kecakapan
administrasi tertentu yang membutuhkan pengetahuan setara dengan
seseorang yang belajar di level sarjana.
Sama sekali tak kulihat satu upaya untuk me-recognize pengetahuan masyarakat, lalu menjadikannya sebagai cara-cara untuk menyelesaikan persoalan yang setiap hari dihadapi.
Sama sekali tak kulihat satu upaya untuk me-recognize pengetahuan masyarakat, lalu menjadikannya sebagai cara-cara untuk menyelesaikan persoalan yang setiap hari dihadapi.
Mestinya
ada satu lompatan berpikir yang tidak sekadar menyeragamkan model
perencanaan dan pembangunan. Barangkali, mesti ada berbagai variasi
model pembangunan yang justru dibangun dari kearifan kultural, yang tak
melulu dan bertumpu pada kecakapan teknis semata.
Yang harus dilakukan adalah memberikan ruang yang luas bagi warga desa untuk melakukan improvisasi dan menyusun kelembagaan, tanpa harus menunggu instruksi dari atas. Mereka harus kreatif, tanpa harus diberi iming-iming tentang anggaran desa senilai miliaran rupiah.
Yang harus dilakukan adalah memberikan ruang yang luas bagi warga desa untuk melakukan improvisasi dan menyusun kelembagaan, tanpa harus menunggu instruksi dari atas. Mereka harus kreatif, tanpa harus diberi iming-iming tentang anggaran desa senilai miliaran rupiah.
Di beberapa desa yang kukunjungi, kucoba memahami bagaimana pemerintahan bekerja pada cakupan yang kecil. Nampaknya, berbagai kebijakan negeri ini senantiasa bertumpu pada dua hal: (1) Penyusunan kebijakan diakukan oleh orang-orang Jakarta yang tak memahami kondisi ril di lapangan. Pendekatannya masih top-down sebab menyaratkan kerja-kerja birokrasi dan pemerintahan yang memang sejak dari sono-nya sudah terdesentralisasi, (2) Banyak kebijakan yang dibangun dari asumsi bahwa ketika program atau anggaran dikucurkan, maka dianggap sebagai keberhasilan, tanpa menelaah lebih jauh tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi, serta bagaimana gerak masyarakat.
Aku
teringat artikel yang dibuat Soedjatmoko bahwa pembangunan adalah soal
kebudayaan. Setiap kebijakan baru mesti diikuti dengan pengetahuan dan
perubahan budaya, khususnya mindset bagi para subyek di lapangan.
Soedjatmoko memberi contoh tentang kebijakan pemberian traktor. Yang
kerap diabaikan adalah pandangan dunia serta sistem berpikir yang juga
menjadi prasyarat bagi dioperasikannya traktor tersebut.
Di
banyak desa-desa yang kusaksikan, argumentasi Soedjatmoko itu ibarat
mengukir langit dan menggantang asap. Masih butuh banyak energi dan
kerja keras untuk sekadar membumikan berbagai pengetahuan, lalu
menjadikannya sebagai kekuatan perubahan.
Yah, kerja memang belum tuntas.
Bogor, 10 Juni 2015
BACA JUGA:
3 komentar:
Mantap ....
sebelum mulai kerja, sy slalu baca tulisan bg yusran. inspiratif! terutama ttg UU Desa :)
hemm.. dilematis juga Kak yah.. sangat inspiratif
Posting Komentar