DARI demikian banyak buku sejarah yang
pernah kubaca dan kukoleksi, buku An Age
of Motion (diterjemahkan dengan judul Zaman Bergerak) karya Takashi
Shiraishi ini adalah buku yang tak pernah bosan kubaca. Ini tak sekadar karya
sejarah, tapi juga antropologi, ekonomi pada masa kolonial, serta sosiologi
pengetahuan yang berkisah tentang bagaimana gagasan-gagasan tumbuh pada satu
massa dan mewarnai zaman.
Selama tiga bulan terakhir, buku ini
kubawa ke manapun pergi. Aku membaca setiap lembar dengan hati-hati. Kubuat
analisis dan garis-garis saling hubung antara beberapa tokoh. Kucari perbedaan
antara Tjipto Mangoenkoesoemo, Tjokroaminoto, Tirtoadisoerjo, Soewardi Soerjaningrat,
Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, hingga Hadji Misbach.
Mereka berdiri di atas landasan berpikir
yang berbeda. Mereka berpikir di aras ideologi yang berbeda, namun sama-sama
bertemu pada satu jalan yakni cinta tanah air serta harapan munculnya negara
baru yang bebas dari cengkeraman kolonialisme. Di masa ketika negara bangsa
masih serupa bayang-bayang, para tokoh ini telah menyusun cetak biru dan
sintesis gagasan-gagasan, lalu diteruskan oleh generasi yang kemudian
memproklamasikan kemerdekaan.
Fokus buku adalah sejarah sosial dan
intelektual yang terjadi di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, pada periode
1920-an hingga awal Indonesia merdeka. Generasi yang dibahas adalah para
arsitek lahirnya Indonesia. Mereka belajar dari kenyataan, dipengaruhi oleh
situasi sejarah, lalu membumikan ide-idenya pada orang banyak melalui publikasi
dan karya tulis. Mereka bertanding gagasan melalui media demi mendapatkan
simpati banyak orang.
Bisa dikatakan bahwa generasi Soekarno,
Hatta, dan Tan Malaka adalah generasi yang tumbuh dari dialektika dan diskusi
intens Tjokroaminoto dan Tjipto cs. Generasi Soekarno ibarat striker yang
menjebol gawang, setelah sebelumnya bola digiring oleh generasi sebelumnya.
Tanpa sintesis gagasan di masa Tjipto cs, tak akan muncul banyak konsep-konsep
kebangsaan yang justru melampaui zamannya.
Ini memang buku sejarah, namun
penggambaran tokoh-tokohnya begitu detail, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Tak ada kisah tentang para hero atau pahlawan. Juga tak ada
cerita tentang pata jagoan yang mengubah sejarah. Ini adalah kisah tentang
mereka yang memiliki gagasan tentang negeri yang lebih baik, tanpa penindasan.
Yang menarik buatku, sejarah tidak
dilihat sebagai rangkaian peristiwa. Sejarah adalah rekaman kejadian, kesaksian,
serta pemaknaan dari para individu yang hadir pada satu masa. Sebagai
kesaksian, maka ada sejumlah peristiwa dan kejadian besar yang lalu
mempengaruhi pemaknaan atas satu kejadian. Para individu itu memungut dan
menyusun ulang pemikiran atau ide-ide yang diperoleh dari bermacam gagagasan,
misalnya sosialisme Marx dan Islamisme, untuk memaknai tindakan mereka dalam
memperjuangkan dunia yang sepenuhnya baru, yaitu Hindia (Indonesia).
Gaya penulisan ini sangat khas dan detail,
sebagaimana gaya beberapa peneliti Jepang yang pernah kubaca bukunya.
Penulisnya tak ingin terjebak pada kategorisasi yang selalu dilakukan para
sosiolog dan ilmuwan politik yang selalu ingin membagi aliran politik ke dalam
kubu-kubu nasionalis, Islam, dan komunis, sebagaimana pernah dikemukakan
ilmuwan politik Herbert Feith, yang lalu dibantah habis-habisan oleh Harry
Benda.
Sebab di aras realitas, sebagaimana
ditulis Benda, pembagian itu amatlah kabur. Menempatkan posisi seseorang ke
dalam satu kubu berpotensi untuk mengabaikan begitu banyak kepingan fakta
menarik tentang orang tersebut. Seorang Tjipto yang nasionalis dan Islami
memakai pakaian dengan ciri khas Jawa, serta bergaul dan dangat diterima oleh
orang Belanda. Lantas, di mana menempatkan dirinya?
Bagaimana pula meletakkan posisi seorang
Hadji Misbach, haji merah yang belajar di pesantren, setelah itu bergaul dengan
para nasionalis seperti Tjipto, lalu mengakar di kelompok Islam dengan ide-ide
komunisme? Bagaimana menjelaskan sintesis yang dilakukan Misbach atas ruh perjuangan
Muhammad yang menentang penindasan yang bersesuaian dengan pejuangan kaum
proletar, sebagaimana pernah diperjuangkan oleh Pangeran Diponegoro?
Bersetuju dengan penulis buku, aku pun melihat
bahwa pembagian beberapa kubu-kubu itu selalu berujung pada penyederhanaan
persoalan. Yang harus kita lakukan adalah belajar memahami setiap konteks
sejarah, pikiran seorang tokoh, lalu bagaimana situasi zaman yang terus
bergerak. Gagasan tentang perubahan tak pernah tinggal di satu ruang hampa
sejarah, melainkan selalu bergerak berkat dinamika dan dialog dengan kenyataan
sekitar.
Pada mulanya adalah kehadiran lelaki
bernama Tirtoadhisoerjo (1880). Pada tahun 1903, ia menerbitkan koran sendiri
(Medan Prijaji, Potri Hindia dan lainnya), lalu melahirkan Sarekat Prijaji dan
Sarikat Dagang Islamijah, serta membuka bisnis hotel dan biro bantuan hukum. Tirto
menjadi semacam archetype bagi
pemimpin pergerakan pada masa berikutnya. Kemudian pada bulan Mei tahun 1908
organisasi Boedi Oetomo dibentuk.
Tak lama setelah itu, SI/SDI muncul. Berawal dari organisasi ronda untuk menjaga keamanaan di lingkungan pengusaha batik, SI kemudian menjadi wadah masyarakat Islam Hindia terbesar dengan bermacam individu yang memiliki karakter dan latar belakang masing-masing. Dari bermacam karakter dan latar belakang itulah, kemudian, SI menjadi semacam arena bagi pertarungan gagasan dalam menafsirkan bagaimana seseorang seharusnya berjuang menjadi “satria sejati”.
Yang khas di mataku adalah bagaimana penulis buku membagi plot-plot waktu perjalanan sejarah berdasar analisa situasi politik dan ekonomi. Tentang bagaimana situasi ekonomi yang dipengaruhi siklus bisnis mampu memicu radikalisme yang juga naik turun. Ketika periode inflasi tinggi, protes buruh semakin radikal. Sebaliknya, ketika kebijakan represi dilakukan, kondisi politik semakin ‘tenang’. Jadi, ada semacam ‘kebetulan’ yang kemudian dimanfaatkan oleh agen-agen propaganda pergerakan untuk memaknai situasi tersebut.
***
Aku tidak ingin membaca buku ini dengan
bersegera mungkin. Aku ingin membaca dengan gaya close reading yakni
mengikuti aliran-aliran kata demi kata, hingga menyerap maknanya yang dalam. Aku
serasa tidak sedang membaca buku sejarah. Aku seolah membaca novel sejarah yang
ditulis dengan gaya khas Pramoedya Ananta Toer. Apakah Shiraishi belajar
menulis pada Pramoedya?
Tampaknya iya. Menurut informasi dari
sejarawan Sonnny Karsono, Shiraishi belajar gaya menulis pada Pramoedya.
Makanya, kata-katanya demikian bertenaga, serta amat hati-hati dalam menuliskan
fakta dan kejadian pada satu masa. Tapi ada pula yang mengatakan buku ini ditulis
dengan gaya sejarawan Jepang, yang amat hati-hati melihat setiap pecahan fakta,
tidak ingin terlalu banyak menulis opini atas fakta itu, kemudian merangkai
setiap pecahan fakta dengan penuh dedikasi.
Yang paling kusukai dari buku ini adalah para
tokoh-tokoh yang dibahas menyadari bahwa mereka punya perbedaan dalam melihat
persoalan, tapi tak pernah terlibat konflik yang membabi-buta. Perbedaan pemikiran
dan pergerakan itu lalu dibiakkan dalam berbagai terbitan pers. Inilah periode
di mana para aktivis politik adalah para penulis hebat yang kemudian memantik
kesadaran banyak orang tentang perlunya membangun ide-ide kebangsaan.
Beberapa perdebatan yang menarik adalah
antara Mas Marco Kartodikromo dengan Tjokroaminoto, Semaoen dengan
Soerjopranoto yang dipandang sebagai pertentangan antara kelompok komunis
dengan pengurus SI pusat, seorang mubalig radikal beraliran Marxis, Misbach,
melawan Syeitan Kapitalisme (yang dimaksud ialah Moehammadyah), antara Tjipto
Mangoenkoesoemo dengan kelompok Boedi Oetomo, Kesunanan dan Mangkunegaran.
Pada masa ini, pers adalah senjata paling
hebat untuk menggalang advokasi dan perlawanan. Tirtoadhiseorjo menulis di Medan Prijaji, Mas Marco menulis di
koran Dunia Bergerak, Tjokroaminoto
di Oetoesan Hindia, Semaoen di Sinar Djawa, Misbach menulis di Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, hingga Soewardi Soerjaningrat menulis di harian De Express.
Para perintis pergerakan dan pelopor
ide-ide kebangsaan ini adalah para jurnalis hebat yang menggugah kesadaran,
menginspirasi banyak orang tentang pentingnya merdeka dan menentukan nasib
sendiri, serta menjadi peletak semangat hebat di dada para generasi pemimpin
sesudahnya.
Sungguh menyedihkan karena hari ini,
mereka semua terabaikan. Mereka diberi stigma sebagai komunis yang tak perlu dikenang
sejarah. Mereka dianggap tidak penting dan hanya dianggap sebagai catatan kaki
dari sejarah pergerakan kebangsaan kita. Padahal, semua perdebatan pada era
sesudahnya hingga kini, berpangkal pada sintesis ide-ide dan debat yang disulut
oleh generasi emas dalam sejarah sosial kita. Pada merekalah seharusnya kita
banyak berhutang atas setiap tarikan napas di era kemerdekaan.
Bogor, 6 Juni 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar