MESKIPUN bukan penggemar berat pengarang
Dewi Lestari, aku selalu saja menyukai pertemuan dengannya. Di Solo, Jawa
Tengah, kembali aku melihatnya di satu pelatihan menulis. Ia bercerita tentang
beberapa bacaan yang menginspirasi. Aku terkejut saat dirinya menyebut nama
Natalie Goldberg yang buku-bukunya mengajarkan tentang menulis sebagai arena
meditasi.
***
PEREMPUAN itu hendak memulai pelatihan
menulis. Ia tidak tahu hendak memulai dari mana. Ia juga tak menyiapkan bahan-bahan
untuk presentasi. Mulanya, ia mematung, dan selanjutnya mulai membuka
percakapan. Setelah itu ia lalu mengambil kertas putih, memandanginya sesaat,
kemudian berkata, “Saya tak tahu hendak mulai dari mana. Bagaimana kalau kita
mulai dari pertanyaan?”
Perempuan itu adalah Dewi Lestari, yang
kerap disapa Dee. Ia seorang penulis perempuan yang cukup produktif. Ia menulis
beberapa seri Supernova, beberapa certita pendek, serta skenario film. Ia juga
produktif menulis beberapa lirik lagu. Ia punya banyak penggemar setia, yang
senantiasa membaca setiap goresan penanya.
bersama Dewi Lestari |
Di forum itu ia menyilahkan semua penulis
pemula untuk bertanya. Ada yang bertanya tentang berbagai hantu-hantu yang
mengikat seseorang hingga tak bisa menulis. Ada pula yang bertanya tentang bagaimana
memulai novel, bagaimana menyisipkan kisah cinta, konflik, hingga adegan
romantis. Banyak juga yang bertanya tentang bagaimana mengemas ide yang
berseliweran menjadi satu karya tulis yang renyah dibaca.
Ia mencatat semua pertanyaan, kemudian menjawab
satu per satu. Ia lebih menekankan pada interaksi yang mengalir serta
dialog-dialog untuk mengatasi masalah. Ternyata, ia memang tak punya satu
rumusan tunggal tentang bagaimana memulai tulisan. Ia lebih menekankan pada
bagaimana energi yang ada pada tubuh seseorang mengalir deras secara lepas.
Tulisan hanyalah cara untuk melepaskan segenap energi itu dan memasuki relung
hati semua orang yang membacanya. Siapakah yang menginspirasinya?
“Saya membaca buku yang ditulis Natalie
Goldberg. Terasa seperti mercon yang meledak di kepala. Saya mulai menulis
sebagai kegiatan yang mengasyikkan sebab bisa mengalirkan semua jati diri,”
katanya.
Bersetuju dengan Dewi, semua orang punya
banyak kisah menarik untuk dikisahkan kembali. Kisah itu bisa berangkat dari himpunan
pengalaman, catatan perjalanan, atau barangkali sekelebat gagasan yang muncul
pada banyak kesempatan. Tugas penulis adalah mengumpulkan ulang, menata, lalu
mengalirkannya kembali pada teks-teks yang berjejalan di satu medium. Tugas
penulis adalah mengumpulkan semua kepingan gagasan yang berserakan lalu
menyajikannya ulang dnegan harapan agar orang lain bisa tergugah dan tergerak
untuk ikut hanyut dalam samudera perasaan seorang pengarang.
“Sebagai penulis, kalian hanya mengalirkan
sesuatu. Semua pengalaman kita tersimpan dalam satu celengan besar alam
semesta. Setiap kali menulis, kita mengambil satu demi satu koin dari celengan
besar yang berisi gagasan tersebut,” katanya.
Hmm. Aku tiba-tiba teringat Natalie
Goldberg, sosok yang selalu disebut Dewi.
***
AKU membaca buku-buku karya Natalie
Goldberg sejak beberapa tahun silam. Aku mengoleksi beberapa karyanya. Di
antaranya adalah Writing Down the Bones,
Wild Mind, dan terakhir adalah The
True Secret of Writing. Natalie sejak
lama dikenal sebagai praktisi teknik menulis bebas atau free writing. Ia seorang penganut filosofi zen yang melihat menulis
serupa meditasi untuk menstabilkan gelombang otak dari seseorang.
Di kelas yang diasuhnya, duduk menulis
adalah upaya untuk menemukan suara-suara jernih dalam diri, kemudian dialirkan
lewat jari-jemari yang menekan keyboard laptop. Mereka yang keluar dari
pelatihannya akan merasakan lega serta bahagia karena berhasil melepaskan
energi melalui tulisan.
Di mataku, buku-bukunya unik. Ia tak
pernah menawarkan satu rumusan baku tentang kiat menulis, baik menyangkut cara,
gaya, teknik, format ataupun style. Semua individu memiliki keunikan.
Semua individu pasti memiliki cara pandang atau opini yang berbeda atas sesuatu.
Dengan cara menuliskan sesuatu secara bebas, maka setiap orang memiliki
kesempatan untuk menyampaikan pendapat serta apa yang dirasakannya. Menulis
hanyalah jembatan untuk membantu seseorang untuk mengekspresikan diri.
Nah, kebanyakan penulis pemula selalu
takut untuk memulai sebuah tulisan. Ada banyak hantu-hantu di skeitar kita.
Mulai dari takut dikira bodoh, takut dikira tolol, ataupun takut dianggap tidak
berpengalaman. Di saat bersamaan, seringkali kita merasa diri kita hebat,
pintar, sehingga seakan-akan kita telah memiliki satu standar tersendiri di
dunia kepenulisan.
Kata Natalie, semua sikap-sikap itu adalah
sebuah penjara bagi siapapun yang hendak menulis. Seseorang yang hendak menulis
harus berani menyingkirkan semua perasaan itu. Menulis harus dilihat sebagai
upaya untuk mengalirkan sesuatu yang sedang dipikirkan. Menulis adalah upaya untuk
bercerita atau menyampaikan sesuatu, tanpa harus terpenjara oleh keinginan
untuk dipuji, atau ketakutan kalau-kalau orang akan menganggap bodoh.
***
DI arena yang menghadirkan Dewi Lestari
itu, aku mengingat Natalie Goldberg. Pantas saja jika Dewi tak memulai dnegan
teknik atau kiat-kiat memulai tulisan. Pantas saja jika ia memilih untuk
berdialog dan meminta orang-orang bercerita pengalaman masing-masing, yang
kemudian sama-sama dielaborasi untuk menemukan cita rasa tulisan masing-masing.
Kita tak butuh banyak buku untuk menemukan
cara menulis. Sebab yang paling penting adalah keberanan untuk melepaskan apa
yang ada di pikiran kita secara bebas, tanpa harus terikat pada banyak konvensi
atau aturan kepenulisan. Aturan-aturan dalam kepenulisan dan berbahasa hanya
akan menjadi pemjara yang membuat kita tak akan pernah bisa menulis.
Yang harus dimiliki adalah keberanian. Lupakan
semua aturan. Labrak semua konvensi tentang cara menulis. Kemudian mulailah
menulis secara bebas. Tak usah peduli apa kata orang. Toh, kita menulis untuk
diri kita sendiri yang didasari niat tulus untuk berbagi. Benamkan dirimu dalam
energi menulis, sebagaimana kata Natalie:
“Let your whole body touch the river you are writing about,so if you call it yellow or stupid or slow, all of you is feeling it.There should be no separate you when you are deeply engaged.”
Pada akhirnya, apa yang disebut baik dan
buruk dalam menulis selalu bersandar pada kriteria yang bisa diperdebatkan. Di
mataku, tak ada kriteria baik dan buruk dalam menulis. Yang ada hanyalah satu
bentuk kepenulisan yang lebih bisa diterima khalayak dan satu lagi belum
diterima. Bukan berarti yang belum diterima itu buruk. Ini hanya soal waktu dan
cara kita memandang tulisan itu.
Nah, kapan Anda mulai menulis?
Bogor, 16 Juni 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar