DAHULU, betapa bangganya kita menyebut
Indonesia sebagai negeri agraris. Betapa mudahnya kita menyebut mayoritas warga
Indonesia bekerja sebagai petani. Kini, betapa sulitnya kita menemukan anak
muda yang bercita-cita sebagai petani. Jauh lebih mudah menemukan anak muda
yang bercita-cita menjadi bintang sinetron.
Barangkali problemnya terletak pada
citraan-citraan tentang petani. Profesi dari kebanyakan warga ini dianggap
tidak keren, tidak trendy, dan tidak cukup pantas dibanggakan saat melamar
seseorang untuk dijadikan istri. Problemnya terletak pada cara berpikir yang
justru mengingkari wajah sendiri, tak siap melihat wajah bangsa yang
sesungguhnya, lalu menutup mata, dan tak memberi respek.
Saatnya memuliakan para petani. Saatnya
menaikkan derajat para petani sebagai para pahlawan pangan. Para petani mengemban
tanggngjawab besar untuk menyediakan 90 juta ton beras yang akan dikonsumsi
oleh 250 juta warga Indonesia setiap tahunnya. Tanpa petani, masyarakat akan
krisis pangan. Revolusi bisa tersulut. Dunia chaos karena lapar yang terus
mengepung.
Para petani adalah para pahlawan
kehidupan. Saking cintanya pada kehidupan, petani menumbuhkan banyak kehidupan,
lalu memetik manfaat untuk melanjutkan kehidupan. Tanpa pangan, tak akan ada
kehidupan, tak akan tumbuh masyarakat, dan tak ada peradaban. Kebudayaan tumbuh
lewat tangan dingin petani, menjadi rumah bagi kelseuruhan petani, serta
mendatangkan begitu banyak harapan atas bumi yang terus berkelanjutan. Dan
generasi mendatang adalah pewaris dari kedaulatan pangan di masa kini.
Bogor, 9 Juni 2015
0 komentar:
Posting Komentar