Sehari Bersama Prananda Paloh



KONON, kampus Universitas Harvard menyiapkan ruang kelas yang berisikan calon pemimpin dunia. Mahasiswanya adalah putra dari semua presiden, pemimpin, ataupun tokoh politik di berbagai negara. Pihak Harvard meyakini bahwa pemimpin masa depan memiliki hubungan genealogis dengan pemimpin sebelumnya. Asumsinya adalah nilai-nilai kepemimpinan memang tak bisa diwariskan, akan tetapi bisa disebarkan secara kontinyu di dalam satu keluarga.

Nah, jika saja, pihak Universitas Harvard hendak membuat kelas serupa di Indonesia, siapakah gerangan wajah-wajah yang akan mengisi dunia politik tanah air kita di masa mendatang? Barangkali mereka adalah Yenny Wahid, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono, Anindya Bakrie, Solichin Kalla, dan Prananda Surya Paloh. Semuanya sedang mempersiapkan diri ke arah itu. Namun, Prananda Surya Paloh nampak berbeda dengan yang lain.

Apakah yang sedang dipersiapkan oleh anak muda usia 26 tahun ini?

***

RUANG kecil di sudut lantai 23 gedung DPR RI itu nampak lengang. Penghuninya hanya tiga orang saat aku singgah berkunjung. Sepintas, ruangan itu nampak sama dengan ruang kerja anggota DPR RI yang lain. Tapi setelah berada di dalam, ternyata atmosfernya nampak berbeda.

Atmosfer ruangan itu ditata sebagai ruangan khas seorang anak muda berusia 26 tahun. Di situ, aku melihat satu teropong besar yang bisa digunakan untuk melihat bintang. Aku melihat rak yang berisikan buku-buku mengenai politik dan kebudayaan. Yang menonjol di mataku adalah beberapa buku karya Tan Malaka yang disimpan dalam posisi mudah digapai dan dibaca.

Di ruangan itu, nampak pula layar televisi yang sedang menyajikan informasi tentang dinamika parlemen. Hari itu, layar televisi sedang menampilkan sikap dari beberapa anggota DPR yang menolak dikucurkannya dana aspirasi. Namun, banyak yang justru menerima penggunaan dana yang seyogyanya bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih substansial.

Ruang kerja itu dihuni oleh Prananda Paloh, anggota Fraksi nasional Demokrat (Nasdem) di DPR RI. Kesan santai sengaja dibangun agar ruangan itu bisa menjadi tempat diskusi yang nyaman bagi siapapun yang berkunjung. Ini juga disesuaikan dengan jiwa muda Prananda. Di ruangan itu, aku bertemu dan banyak berdiskusi dengan tim-tim ahli yang menopang kegiatan Prananda.

Maka terbukalah beberapa lapis kabut pengetahuan tentang Prananda. Banyak pihak yang hanya mengenalnya sebagai putra Surya Paloh, tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang dlakukannya untuk bangsa. Selama ini kupikir beliau sebagaimana politisi lain yang hanya mengandalkan jejaring keluarga, serta menjadi ruang-ruang parlemen sebagai lahan untuk mencari nafkah. Melalui dialog-dialog singkat, kutemukan beberapa gagasannya untuk Indonesia yang lebih baik.

Selama beberapa bulan ini, informasi tentang dirinya beredar melalui dunia maya. Di kanal twitter, ia beberapa kali menjadi trending topic dunia. Dalam banyak isu, suaranya mengemuka dan disebar banyak orang di ranah media sosial. Beberapa isu yang mencuatkan namanya adalah penolakan hukuman mati, tanggapan atas penenggelaman kapal ikan, hingga yang terbaru adalah penolakan atas dana aspirasi sebesar 20 miliar rupiah. Melalui media sosial, suaranya bergema ke mana-mana.

Ia menjadi ikon dari generasi muda yang paling banyak dibicarakan. Tak hanya itu, fanpage-nya di facebook dikunjungi hingga ribuan orang. Ia menggelar kuis tentang Pancasila yang diikuti banyak kalangan. Website Prananda juga paling sering ter-update. Informasi lengkap disajikan, mulai dari kegiatan harian di ranah politik, hingga berbagai informasi yang isinya adalah pertanggungjawaban kepada publik atas kiprah selama beberapa waktu di gedung parlemen.

“Saya ingin menyajikan satu ruang politik yang terbuka. Saya ingin semua orang tahu kegiatan seorang politisi. Saya ingin memutus jarak, dan memilih satu ruang yang memungkinkan saya untuk bisa belajar dan menyerap informasi dari banyak orang,” kata Prananda pada suatu ketika.

Sepintas, pergerakan ini tak ada yang baru. Hampir semua politisi menggunakan kanal media sosial untuk menyapa semua konstituennya. Akan tetapi jelajah di ranah maya ini justru menarik dilakoni seorang Prananda. Betapa tidak, sebagai pemilik salah satu jaringan media paling besar ditanah air, ia bisa dengan mudahnya memanfaatkan jaringan media yang dimilikinya.

Ia justru memilih cara lain untuk menyampaikan ekspresi. Ia memilih dan memperkuat media sosial sebab meyakini bahwa interaksi di kanal ini bersifat langsung, di mana semua orang memiliki posisi yang setara saat berinteraksi. Dengan cara berinteraksi secara langsung, ia menjadi role model bagi politisi yang menggunakan semua suara-suara publik yang tersebar di berbagai kanal, lalu menggunakan kanal itu membumikan ide-ide besarnya.

Pada diri anak muda ini terletak kerja-kerja sistematis yang berpijak pada hari ini dan hari depan. Ia di-backup oleh tim analis media yang tangguh. Semua informasi didapatkan dari beberapa kanal, lalu dianalisis, dilihat seberapa besar urgensinya. Informasi itu kemudian diteruskan melalui berbagai kanal, baik itu kanal politik, maupun kanal yang lain. Sebagai politisi, ia memaksimalkan jejaring yang dibangunnya di ranah ini.

Namun ia juga membentuk berbagai lembaga kemanusiaan dan yayasan yang tujuannya untuk memberikan bantuan kepada siapapun yang membutuhkan. Satu saja catatan atas kerjanya, yakni hanya mencakup Sumatera Utara yang menjadi basis politiknya. Harusnya, ia bisa melebarkan sayap hingga ke banyak tempat di tanah air. Dengan cara demikian, ia bisa membangun branding sebagai tokoh nasional yang bisa melintasi sekat-sekat geografis dan perbedaan.

***

PADA diri Prananda Paloh, kita bisa belajar banyak tentang masa depan dunia politik kita. Hampir semua analis telah melihat bahwa politik Indonesia memiliki dinamika dan bandul yang kerap berulang. Banyak politisi hari ini adalah mereka yang justru memiliki kaitan erat dengan politisi masa silam. Barangkali haya Joko Widodo yang sukses menerabas tradisi yang kerap berulang ini.

Namun sejauh ini, penting sekali untuk melihat bagaimana generasi poltiik hari ini menyiapkan generasi mendatang. Kekuasaan memang tak bisa diwariskan, tapi semangat serta hasrat kuat untuk membumikan politik bisa disebarkan melalui sejumlah sosok yang memahami dengan baik urat nadi gagasan itu.

Dalam tuturan sosiolog anthony Giddens, setiap gagasan pasti lahir dari satu konteks sejarah tertentu. Setiap ide pasti memiliki ruang tempat persemaian serta pertumbuhan semua tunas-tunasnya. Penting untuk melihat satu sosok secara utuh, yang tidak hanya mencakup pemikiran, tapi juga bagaimana struktur sosial tempat tokoh tersebut lahir.

Beberapa waktu silam, aku pernah bertemu sejarawan William Frederick di kampus Ohio University. Ia menyaranan agar membangun analisis yang bisa membangun sintesis antara gagasan ideal seorang tokoh, serta pendidikan, jejaring sosial, serta apa yang dilakukannya pada masa silam. Dengan cara itu, kita bisa memiliki perspektif yang lebih menyeluruh atas satu sosok, bisa membaca bagaimana kecenderungan masa depan, serta bagaimana

Apa yang dibaca pada sosok Prananda. Setidaknya kita menyaksikan beberapa hal. Mislanya tentang bagaimana membangun nama besar dan reputasi politik dari hal sederhana, bagaimana seorang politisi merencanakan masa depan melalui langkah kecil di masa kini, serta bagaimana membangun jejaring dan struktur tim kerja yang adaptif terhadap berbagai gagasan besar. Mudah-mudahan ada ruang memadai untuk menjelaskan setiap detail dari apa yang dilakukannya.

Saat bertemu dengannya, ada satu pertanyaan yang menggelayut di benak. Siapakah gerangan sosok pemikir yang mendasari gerak dan langkahnya di jagad politik? Ia sempat terdiam, lalu mengambil dua buku di raknya, Ia menunjukkan buku Madilog dan Aksi Massa yang ditulis Tan Malaka, sosok pendiri republik yang dibisukan sejarah karena dianggap sebagai tokoh kiri. “Tan Malaka menunjukkan arah besar bangsa, serta bagaimana menjaga api idealisme di tengah segala keterbatasan,” tuturnya.


Bogor, 23 Juni 2015


0 komentar:

Posting Komentar