Menulis untuk Para AKTIVIS


 “JIKA satu peluru bisa menembus satu kepala, maka satu tulisan bisa menembus berjuta-juta kepala sekaligus.” Kalimat ini telah lama dipahami para aktivis dan praktisi perubahan. Sejak lama para aktivis menganggap tulisan sebagai senjata untuk perubahan sosial. Akan tetapi, sejak era media sosial dan informasi telah menjangkau seluruh pelosok, tak banyak yang memahami bahwa seyogyanya kalimat itu telah lama bergeser. Kini, tulisan para aktivis bukan lagi satu-satunya pemantik perubahan.

***

DI tanah Papua Barat, seorang perempuan desa bernama Fransina Mayor menulis tentang seorang pelukis yang bahan bakunya adalah pasir sisa pertambangan di PT Freeport. Tulisannya ringkas, dan lebih mengedepankan ekspresi seni bagi seorang warga Papua. Namun ketika dibaca utuh, tulisan itu menghadirkan sekeping ironi. Bahwa ternyata, warga Papua hanya mendapatkan remah-remah atau sisa dari kekayaan alam di tanahnya sendiri.

Tulisan itu memang singkat. Akan tetapi ada satu ekspresi kuat yang deras mengalir kala membayangkan betapa kayanya tanah Papua, dan betapa sedikitnya hasil alam yang bisa dinikmati warga lokal. Tulisan itu serupa belati yang menusuk-nusuk nurani, bahwa di balik kemegahan rencana besar bernama investasi asing, terselip begitu banyak kenyataan yang memiriskan hati.

Saya membaca tulisan Fransina pada buku Pesona Papua Barat yang diterbitkan oleh Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogr (IPB). Meskipun buku ini diniatkan sebagai rangkuman tulisan tentang wisata dari warga lokal, isinya membahas berbagai topik menarik yang bisa menggugah nurani, sebagaimana bisa dibaca pada goresan Fransina.

Pada titik ini, sebuah tulisan bisa menjadi jendela bagi nurani banyak orang. Sebuah tulisan bisa menjadi nyanyi sunyi yang mengingatkan kita akan begitu banyaknya hal yang terjadi di sana. Tulisan dari warga setempat menjadi satu keping informasi berharga yang menjelaskan kepada kita bagaimana repon warga atas perubahan sosial di sekitarnya. Selanjutnya, tugas dari banyak pihak adalah bagaimana mengangkat suara-suara yang selama ini nyaris tak terdengar itu sehingga diketahui banyak orang.

Tulisan itu menjadi berbeda sebab disampaikan oleh warga lokal yang setiap hari bergelut dengan realitas. Jika saja tulisan itu disampaikan oleh para aktivis ataupun praktisi organisasi non-pemerintah (Ornop), maka barangkali tulisan itu akan muncul banyak interpretasi. Bisa saja muncul kesan kalau tulisan aktivis itu diniatkan untuk mendapatkan hibah dana asing, atau barangkali provokasi pada pemerintah agar mengucurkan anggaran.




Selama sekian waktu tulisan para aktivis menjadi satu-satunya cermin bagi dinamika sosial. Tulisan itu menjadi peluru yang mengoyak kesadaran banyak orang bahwa ada banyak hal penting dan terabaikan di sekitar kita. Namun dengan era kemajuan media sosial dan informasi yang mengalir hingga pelosok, maka tulisan para aktivis tak lagi sendiri. Ada sedemikian banyak ekspresi dari warga lokal yang juga mesti mendapatkan panggung. Barangkali, opini warga tak setajam para penggiat gerakan sosial, namun ada kekuatan dan sikap yang jelas harus dipahami oleh kita semua.

Lantas, apakah tulisan sang aktivis menjadi tidak penting? Tentu saja tetap penting. Namun bergantung pada siapa aktivisnya. Jika sang aktivis tak punya tilikan dan observasi yang mendalam di lapangan, maka tulisan itu akan sangat bernilai. Namun ketika sang aktivis memiliki interest pribadi dan tidak berniat untuk mengangkat suara-suara komunitas, bisa dipastikan, tulisannya akan kehilangan makna. Tulisan itu akan berjarak dengan dunia sosial. Tulisannya akan gagal memahami detak jantung dan denyut nadi masyarakat lokal.

Pada titik ini, kita mesti menimbang pentingnya ekspresi langsung dari warga lokal. Apapun yang dituliskannya adalah ekspresi dari apa yang sedang dihadapinya. Boleh jadi, tulsiannya akan lebih jernih, lebih bening, dan lebih jeli dalam mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Maka yang harus dilakukan seorang aktivis adalah bagaimana membangkitkan kesadaran untuk menulis bagi warga setempat.

Sudah bukan zamannya lagi untuk menjadikan warga lokal sebagai informan ataupun obyek yang diwawancarai. Warga lokal harus menjadi subyek yang bisa menyampaikan sikap-sikap politiknya. Masyarakat harus diberikan ruang memadai untuk menuliskan gagasan, demi mengetahui berbagai praktik pembangunan yang dihadapinya setiap saat. Mereka harus didorong untuk menyamapikan sikapnya atas setiap pengalaman yang dilalui sebagai warga biasa.

Bergeser

Sejauh pemahaman saya, dunia riset sosial kita telah lama mengajurkan kolaborasi dengan masyarakat lokal ini. Ketika berguru pada Prof Gene Ammarell, seorang antropolog senior di negeri Paman Sam, ia menjelaskan pentingnya bekerjasama dengan warga. Pernah, saya bertanya tentang trend penelitian ilmu sosial saat ini. Ia lalu menjawab singkat bahwa saat ini, trend penelitian bergeser ke arah riset yang sifatnya kolaboratif antara peneliti dengan masyarakat lokal. Jika demikian halnya, bagaimanakah menjembatani kesenjangan pengetahuan bagi kedua belah pihak? “Ajak mereka untuk sama-sama menulis. Temukan makna pada tulisan mereka,” kata Gene.

Dalam konteks praktisi gerakan sosial, yang harus dilakukan adalah bagaimana melakukan sharing pengetahuan dengan masyarakat lokal, melatih mereka untuk memahami metodologi riset sehingga menyampaikan gagasan dalam artikel yang sederhana. Yang mesti dilakukan adalah menguatkan gagasan masyarakat lokal, memberinya senjata untuk membidik kenyataan, memberikan cahaya terang untuk bisa mengenali kenyataan di sekitar.

Tulisan tersebut harus diihat sebagai upaya untuk memberikan advokasi kepada masyarakat dengan cara memberinya kekuatan untuk bergerak. Satu kekeliruan yang kerap melanda aktivis adalah anggapan bahwa advokasi adalah tindakan berdemonstrasi dan berdiri tegak untuk menghadapi senjata dari aparat pemerintah. Advokasi dilihat sebagai kegiatan heroik, revolusioner, serta penuh keberanian.

Padahal, melalui tulisan, langkah-langkah advokasi itu bisa dipicu daya ledaknya. Melalui tulisan, para aktivis bisa memberikan panggung bagi masyarakat agar suaranya bisa didengar publik luas. Pada titik ini, seorang aktivis telah membuka pintu gerbang perubahan, ketika masyarakat tercerahkan dan bisa menyampaikan apa yang dirasakannya. Dan kita bisa berharap pada dunia yang warganya punya sikap jelas, tanpa terombang-ambing!



Bogor, 19 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar