Kampung Bugis Diapit Dua Bidadari



DI bumi Kalimantan Timur, orang-orang Bugis membangun perkampungan lalu menjelajah ke mana-mana. Mereka punya etos kerja hebat sehingga menguasai lapangan ekonomi, menjadi para saudagar baru, lalu menguasai jabatan publik. Di kampung kecil Tanjung Batu, Berau, aku menyaksikan harmoni yang amat memukau ketika orang Bugis menjadi nelayan yang menguatkan semua nelayan lain untuk bangkit dari keterpurukan.

***

DI Tanjung Batu, Berau, lautan menjadi nadi kehidupan banyak orang. Hampir seratus persen, pekerjaan penduduk adalah nelayan. Mereka menyandarkan kehidupannya pada lautan. Mereka menata masa kini dan masa depan, dengan menjadikan laut sebagai titik pusatnya. Mereka mengelilingi laut demi menyerao energi kehidupan melalui profesi sebagai nelayan ataupun pedagang hasil laut.

Di kampung itu, aku singgah di dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Derawan dan Pulau Maratua. Dari desa ini, Pulau Derawan hanya berjarak sekitar 15 menit perjalanan dengan speedboat. Pulau Maratua yang eksotik itu hanya sejauh satu jam perjalanan. Dermaga ini adalah pintu masuk ke pulau-pulau yang menawan dan molek serupa bidadari. Kampung yang kusinggahi ini seakan dikepung oleh dua bidadari di pesisir timur Kalimantan.

Harum aroma kopi menggiring langkahku untuk singgah ke satu warung kopi. Saat duduk di situ, aku mendengar pembicaraan para pengunjung. Aku bisa mengenali bahasa Bugis yang digunakan oleh para pengunjung warung kopi. Mayoritas pengunjung warung ini adalah orang Bugis. Sayup, aku juga mendengar lagu Bugis yang menyayat hati dari televisi di sudut ruangan. Ketika pemilik warung mendekat, ia lalu bertanya, “Mau pesan apa ki?”

Warung kopi itu menjadi jendela untuk mengamati banyak hal. Para nelayan tangguh di kampung ini adalah orang-orang Bajau dan Bugis yang mencari rezeki dengan menantang samudera hingga ke perairan negara tetangga. Sejarah tentang mereka terbilang panjang. Pertautan dan dialog budaya itu telah lama terjadi. Laut menjadi saksi.

Seorang warga mencatat kalau nelayan Bugis telah lama mendiami perkampungan ini. Pada mulanya, orang Bugis banyak berdiam di Pulau Derawan. Ketika bajak laut Filipina datang dan mengamuk, konflik tak terhindarkan. Banyak penduduk yang lalu pindah ke Tanjung Batu, hingga kini.

Kampung ini tumbuh menjadi miniatur dari berbagai suku bangsa. Selain Bugis, orang Bajau dan Jawa banyak pula yang tinggal di sini. Akan tetapi, tak pernah ada satupun kisah tentang konflik yang berujung pada aksi saling bantai. Tak pernah ada kisah tentang perkelahian antar etnik di sini. Semuanya hidup tenteram dengan tingkatan ekonomi yang berada di level sejahtera. Semua mencari jalan damai, khususnya saat sama-sama merasakan deru ombak lautan.


Sejarah Berau memang tak bisa lepas dari peranan para imigran Bugis. Ibukota Berau, Tanjung Redep, bermula dari perkampungan yang didiami orang Bugis. Pada tahun 1810, terjadi konflik internal di Kerajaan Berau. Seorang raja memindahkan kerajaan ke kampung Bugis itu sebagai strategi politik demi mendapatkan dukungan dari orang-orang Bugis. Sebuah dukungan bisa dikonversi sebagai semangat perlawanan yang tak bakal habis kepada siapapun.

Tak puas dengan dukungan, sang raja lalu menikahi putri Raja Wajo di tanah Bugis. Maka lengkaplah persekutuan itu. Lengkaplah dukungan pasukan serta ikhtiar untuk mengembangkan perkampungan itu menjadi satu kerajaan yang kemudian melawan Belanda.

Kisah ini menunjukkan bahwa diaspora dan persebaran budaya itu bukanlah sesuatu yang baru terjadi hari ini. Prosesnya sudah berlangsung lama dan menyejarah. Apa yang dikira sebagai gejala hari ini sesungguhnya telah berurat akar di masa silam. Pertanyaan penting yang menarik untuk diurai. Bagaimanakah kisah diaspora di masa kini?

***

DI hadapanku duduk sosok lelaki berusia sekitar 30 tahun. Sebut saja namanya Andi Innong. Aku menghubunginya sehari sebelumnya. Ia adalah sosok penting yang menjadi petinggi satu organisasi nelayan. Lelaki ini adalah pebisnis ikan yang menjadi bapak bagi ratusan nelayan. Ia memberikan banyak bantuan pada nelayan. Mulai dari subsidi bagi nelayan yang hendak membeli peralatan tangkap, hingga rencana membuat bank ikan yang nantinya akan menjadi wadah bagi nelayan untuk menabung dengan ikan.

Tadinya kupikir dia adalah seorang warga asli Tanjung Batu yang lama malang melintang dan menjalin relasi dengan para nelayan. Saat berbincang, dialek Bugis keluar dari bibirnya. Ternyata ia adalah perantau yang telah lebih 10 tahun berada di kampung itu. Tapi ia tak hendak menyebut dirinya perantau. Menurutnya, wilayah itu adalah kampung nenek moyangnya yang pernah datang beramai-ramai ke situ.

Bisnisnya terus mekar. Ia meraup omzet hingga 900 juta rupiah dalam sebulan. Belakangan, aku berpikir bahwa barangkali ada motif pada kebaikannya. Dengan cara selalu memberikan bantuan kepada nelayan, ia telah membangun satu aliansi bisnis yang kuat. Para nelayan itu menjadikannya sebagai bapak angkat, sekaligus sebagai satu-satunya agen yang menerima setoran ikannya. Barangkali, ia kaya raya dengan bisnisnya. Sementara nelayan itu jutsru stagnan dan jalan di tempat.


Andi Innong hanya satu dari sedemikian banyak manusia Bugis yang lalu berumah di Kalimantan. Mereka tersebar di mana-mana, mulai dari sektor bisnis, hingga politisi dan kepala daerah. Mereka mudah diterima di mana-mana sebab ada pertautan sejarah dan ingatan tentang pertautan budaya antara bangsa Bugis dan sukubangsa di Kalimantan.

Di satu sisi, wajar saja jika orang Bugis melesat bak meteor di tanah Borneo. Mereka punya etos kerja hebat. Mereka punya spirit rantau yang membuat mereka tahan banting lalu memenangkan duel di berbagai bidang. Hanya saja, aku memikirkan tentang penduduk lokal yang kian tersingkir oleh dinamika zaman. Mungkin etnis lokal akan kalah di segala lini sehingga tak punya daya untuk sekadar menjadi tuan di negerinya sendiri. Mungkin pula mereka akan kehilangan arena untuk sekadar eksis dan mempertegas identitas Kalimantan.

Mungkin, akan lebih baik jika dipikirkan kebijakan negara yang bisa memberi ruang bagi warga lokal untuk tetap memiliki ruang di berbagai lini penting kehidupan. Kasus Malaysia bisa menjadi rujukan ketika Perdana Menteri Mahathir Mohamad menerapkan kebijakan New Economy Policy yang memberikan ruang bagi orang Melayu agar bisa bangkit. 

Tapi lagi-lagi, gagasan ini akan memunculkan pertanyaan, mana budaya asli dan pendatang? Bukankah budaya dari etnik pendatang telah bersenyawa dengan budaya setempat? Marilah kita sama memikirkannya.

Apapun itu, sosok Andi Cinnong ini sungguh inspiratif. Ia menjadi pahlawan bagi ratusan nelayan sebab dianggap meningkatkan harkat dan derajat para nelayan. Ia menunjukkan bahwa diaspora Bugis di masa kini bisa membawa berkah bagi dunia sekitarnya. Ia membuktikan bahwa niat tulus serta sikap rongan tangan pada sesama adalah kunci-kunci untuk menggapai keberhasilan. Tanpa banyak teori, ia menguatkan pihak lain, lalu bersama-sama membentuk jaringan yang kuat.



Berau, 24 Mei 2015
Saat merancang perjalanan ke Pulau Derawan

0 komentar:

Posting Komentar