DARI berbagai penjuru dunia, para penyelam
berdatangan ke Pulau Derawan. Mereka mencari sesuatu yang alami, tak banyak
terjamah manusia, serta tak pernah ditelusuri. Mereka tak sekadar mencari
pemandangan bawah laut menakjubkan, atau penyu yang setia hilir mudik di
sekitar pulau itu. Mereka mencari perawan!
***
KAPAL speedboat kecil yang memuat 12 orang
penumpang melaju kencang dari Tanjung Batu, Berau. Aku dan kawan-kawan bergerak
ke Pulau Derawan untuk rekreasi. Kami, rombongan peneliti muda, berharap
menemukan sesuatu yang berbeda. Minimal kami bisa menuntaskan rasa penasaran
kami atas kemasyhuran Derawan hingga manca negara.
Perjalanan itu dimulai dari Bandara
Kalimarau di Tanjung Redeb. Selanjutnya kami meneruskan perjalanan dengan mobil
selama dua jam ke Kampung Tanjung Batu. Dari sini, kita hanya butuh sekitar 20
menit untuk mencapai Derawan. Jika ingin perjalanan itu sempurna, lanjutkanlah
ke Pulau Maratua, Kakaban, dan Saumlaki. Selalu ada yang unik di setiap pulau.
Selalu ada rasa dan cerita yang berbeda di setiap tempat.
Sejak beberapa tahun terahir, Derawan
ibarat bidadari cantik yang terus-menerus dibincangkan para traveler dan
penikmat wisata bawah laut. Pulau ini dianggap bisa memuaskan hasrat berpetualang,
hasrat untuk menyelam, dan hasrat menemukan pemandangan bawah laut yang
menakjubkan.
Beberapa orang mengatakan bahwa pulau ini
lebih kondang di luar negeri. Bersama pulau-pulau lain seperti Maratua, Samalaki,
Samama, dan Kakaban, gugusan pulau ini adalah zamrud di bumi khatulistiwa yang
digandrungi banyak kalangan. Arus wisatawan meningkat. Banyak orang lalu
menanam mimpi untuk ke pulau ini. Mereka membayangkan bagaimana indahnya pantai
pasir putih, laut biru, serta penyu hijau yang berenang di sekeliling.
Setiba di Pelabuhan Derawan, kami bergerak
menyusuri pemukiman. Ternyata, pulau ini adalah rumah bagi orang-orang Bajau
yang sejak dulu mendiami pulau. Bajau memang dikenal sebagai pengelana lautan.
Mereka punya filosofi bahwa lautan adalah rumah bagi siapapun yang bisa
didatangi dan dikunjungi kapan saja. Mereka bebas tinggal di pesisir manapun,
khususnya yang tak pernah dikunjungi manusia lain.
Orang-orang Bajau yang kusaksikan ini
sedemikian ramah dan bersahabat. Mereka menawarkan senyum tulus serta persahabatan
pada siapapun yang datang. Mereka bersedia menjadi tour guide, mendemonstrasikan kemampuan berenang bersama
penyu-penyu hijau di pesisir pulau, serta bersedia menawarkan rumahnya menjadi
tempat berdiam selama beberapa waktu.
Di tengah keramahan itu, ada semacam getir
yang merekah. Para sahabat Suku Bajau ini hanya menjadi penonton dari dinamika
wisata yang didominasi oleh pemerintah, pengusaha wisata, serta para pelancong
dari berbagai tempat. Orang-orang Bajau ini tak pernah diajak untuk merumuskan
hendak ke mana nasib pulau mereka. Tak ada informasi tentang rencana atas
perkampungan itu. Jangan-jangan mereka akan disingkirkan oleh berbagai resort
mewah yang tumbuh bak jamur di pulau itu.
Aku lalu melihat seorang nelayan tua duduk
sambil merokok di tepi dermaga. Aku lalu singgah dan menemaninya berbincang.
Matanya menerawang saat menunjuk berbagai resort mewah di kejauhan. “Dulu, saya menambatkan perahu di ujung
sana. Tapi sejak helipad dan resort mewah berdiri, saya dilarang ke situ,”
katanya risau.
Pariwisata memang surga bagi sebagian
orang. Tapi bagi yang lain, pariwisata adalah bapak tua kejam yang suka
membatasi gerak. Entah sejak kapan wacana pariwisata mulai menjalar, namun dalam
beberapa tahun terakhir, banyak orang datang ke pulau ini untuk sekadar
menikmati pasir putih dan senja temaram. Yang ingin dicari orang-orang itu
adalah alam yang perawan, molek, dan menantang. Informasi tentang Derawan
beredar di media massa asing serta situs para traveler.
Sementara para “pemilik pulau” itu hanya
menjadi menyaksi. Mereka yang dahulunya bebas menambatkan perahu, mencari ikan,
serta bertualang di laut di atas perahu kecil kian terbatas ruang geraknya.
Demi pariwisata, sejumlah ikan kecil yang dahulunya menjadi penyangga hidup tak
bebas lagi ditangkap. Demi pariwisata mereka harus menyaksikan berbagai orang
baru yang datang sambil membawa perlengkapan selam. Mereka harus menyaksikan
bule-bule berbikini yang angkuh kala melewati pemukiman penduduk.
Mereka tak punya ruang untuk menyatakan
protes. Mereka bisa dianggap tak paham wisata. Mereka bisa dituduh menghambat
program pemerintah yang hendak mempromosikan pulau hingga mancanegara.
Barangkali, ketika wisata tumbuh pesat, mereka bisa dianggap sebagai sampah
yang mencemari pulau. Kelak mereka bisa terusir oleh dibangunnya berbagai
fasilitas mewah demi memanjakan para pendatang dari negeri-negeri yang jauh.
Padahal, merekalah pemilik sah pulau ini
yang tak pernah disebut namanya dalam berbagai brosur pariwisata. Yang
ditampilkan selalu tentang penyu, laut biru, pasir putih, serta pemandangan
menawan. Masyarakat tak pernah dianggap sebagai komponen penting yang
seharusnya menjadi daya tarik utama bagi pariwisata itu sendiri. Padahal, sejak
ratusan tahun silam, mereka mendiami pulau, beranak-pinak, lalu membentuk
peradaban maritim di situ. Hari ini mereka hanya menjadi penonton dari deru
laju industri pariwisata.
Aku lalu menelusuri jalan-jalan kampung
Bajau. Di sudut lain, kampung yang kusaksikan ini dipenuhi aktivitas terkait
laut seperti nelayan yang sedang membersihkan perahu, istri nelayan yang
menenun jaring, anak-anak nelayan yang bermain di genangan-genangan kecil di
dekat rumah, ataupun anak-anak muda yang berbincang di bawah pohon sembari
memandang lautan lepas. Anak-anak nelayan itu kehilangan hasrat kuat untuk
meneruskan marwah dan tradisi bahari orang tuanya.
Nampaknya, perkampungan di pulau ini
hendak berkembang serupa kota. Rumah-rumah dikemas menjadi homestay. Penduduk yang ‘gantung perahu’, berhenti melaut lalu
fokus untuk menjadi pekerja kecil di sektor pariwisata, hingga anak-anak yang
suka bersorak kala menyaksikan seorang bule berbikini sedang melintas. Di depan
beberapa rumah, terdapat penyewaan sepeda serta toko-toko cenderamata.
Tentu saja, pariwisata harus dilihat
pengungkit kekuatan ekonomi masyarakat. Hanya saja, pertanyaan yang kemudian
mencuat adalah bagaimana bisa tetap menjaga tradisi dan budaya bahari
masyarakat agar tetap lestari dan tidak tergerus oleh berbagai mimpi untuk
menjadi seperti para pelancong. Pariwisata harusnya menjadi penyelamat dari
berbagai tradisi lokal serta dunia ekologi bahari orang Derawan sehingga bisa
diwariskan ke anak-anak cucunya.
“Tak banyak lagi anak muda yang mau jadi
nelayan seperti saya,” kata bapak tua itu sembari menghembuskan rokoknya.
Rupanya pariwisata bisa membuka cara pandang masyarakat untuk berlomba-lomba
mencapai kesejahteraan, meninggalkan perkampungan, lalu memiliki gaya hidup
sebagaimana para pelancong yang datang.
Di Pulau Derawan, kulihat alam perawan
yang menawan dan menakjubkan. Di situ, kulihat pula satu sketsa getir tentang
kehidupan.
Pulau Derawan, 26 Mei 2015
1 komentar:
Sorry ralat. Bukan Samalaki tp Sangalaki.
Posting Komentar