Bebas dari Nestapa





DI bumi anging mammiri, sebuah kabar duka kembali berhembus. Baru beberapa waktu lalu, aku menulis tentang duka seorang sahabat yang ditinggal kekasih, kini, aku harus kembali menulis duka sahabat itu atas kehilangan yang kedua kalinya. Kembali, aku tak tahu bagaimana membuka tulisan tentang kedukaan. Kata-kata menjadi amat terbatas. Aku lebih banyak terdiam.

Bagi yang menyaksikan, barangkali akan merasa masygul ataupun sedih. Namun bagi yang merasakan, intensitas kesedihan itu pastilah berlipat-lipat. Tak ada yang sanggup menakar sedalam apa kesedihan yang dirasakan seseorang. Yang bisa dilakukan hanyalah mengalami, lalu merasakan sesuatu yang menggiris hati, setelah itu ada gemuruh rasa yang menjebol tebing-tebing bahagia seseorang.

Kehidupan selalu punya kotak penuh misteri. Kita hanya bisa membuka kotak, dalam keadaan mata tertutup, lalu mengambil satu demi satu misteri. Memang, kita bisa berencana untuk memilih hendak mengambil dari kotak mana. Akan tetapi, kita tak kuasa untuk menentukan jenis misteri apa yang terambil dari kotak itu. Kita hanya bisa mengulurkan tangan lalu menyerahkan pada takdir tentang misteri apa yang bisa muncul.

Seringkali aku merasa bahwa posisi manusia hanyalah pion kecil dari permainan catur yang arenanya sudah bisa diprediksi. Kaum yang fatalistis memilih sesuatu yang diyakininya benar demi justifikasi atas apa yang sedang dan akan terjadi. Mereka lalu bergerak berdasarkan sesuatu yang dianggapnya benar itu. Mereka menentukan masa depan dan takdir baik buruk berdasarkan ukuran dan nilai-nilai itu. Mereka menilai setiap kejadian dengan ukuran orang banyak, kehilangan adalah kesedihan, kelahiran adalah kebahagiaan.

Namun dalam banyak hal, aku kerap bersetuju dengan Buddha yang mengatakan bahwa bahagia dan duka hanyalah konsep-konsep yang terlanjur tertanam di kepala kita. Yang terjadi adalah kita membangun mahligai harapan lalu meletekkan semuanya pada mahligai itu. Namun ketika kita membebaskan diri dari semua penjara konsep itu, semesta akan menjadi sangat indah.

Barangkali kita terlampau menyandarkan diri kita pada sesuatu. Kita terlanjur mendefinisikan diri kita pada sesuatu yang bisa berupa materi, keluarga, kampung, atau barangkali berbagai tolok ukur duniawi. Dalam hal materi, kita selalu ingin menjadi pemilik materi lebih. Ketika tak ada materi, tiba-tiba saja kita merasa kehilangan banyak hal. Apa yang kita sebut kesedihan bermuara pada ada tidaknya materi tersebut. Di saat materi itu lenyap, kita merasa nelangsa dan kehilangan arah.

Ketika seseorang bisa membebaskan dirinya dari berbagai standar dan definisi, maka realitas akan berbeda. Seseorang akan mudah mengalir dan menyatu dengan berbagai kenyataan. Bahagia dan sedih hanya menjadi atribut biasa yang tak melenakan. Tujuan hidup bukan untuk mencari bahagia dan meninggalkan sedih, melainkan bagaimana bisa mengalir dan sesegera mungkin menceburkan diri ke dalam sirkuit kenyataan.

Barangkali, yang harus dikembangkan adalah sikap pasrah dan melihat kehidupan secara apa adanya. Segala yang terjadi adalah kehendak alam yang seringkali tak bisa disangkal. Kita mengalir mengikuti aliran dari sungai semesta, berenang dan belajar di dalamnya, lalu setelah itu memasrahkan diri dan meyakini bahwa segala sesuatu bergerak telah mengikuti garis takdirnya. Pada titik ini kita akan menemukan kebebasan dari segala nestapa.

Turut berduka wahai sahabat. Bangkit dan tertawalah pada dunia.


Berau, 27 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar