Mencari jejak di NEGERI MARITIM



“Sebagai negara maritim, samudra, laut,
selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita.

--- Joko Widodo
Presiden RI


DI layar televisi, lelaki kurus itu sedang berpidato perdana sebagai Presiden RI ke-7. Tadinya, semua orang mengira ia akan berpidato dengan intonasi datar, dengan isi yang juga datar, sebagaimana pendahulunya. Ternyata ia berbicara tentang sesuatu yang substansial. Ia bicara tentang jagad maritim, khasanah kekayaan bangsa Indonesia yang selama sekian dekade seakan terlupakan.

Ia juga melanjutkan kalimatnya:

“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, dan memunggungi selat dan teluk. Ini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga 'Jalesveva Jayamahe', di laut justru kita jaya, sebagai semboyan kita di masa lalu bisa kembali.”

Kalimat itu telah menyentak banyak orang. Indonesia adalah negeri kepulauan yang memilih lebih dari 17 ribu pulau-pulau. Indonesia memiliki lautan yang luas, samudera lebar yang membentang dan mengikat satu demi satu kepulauan, serta sumber daya maritim yang amat kaya dan menempatkan bangsa ini ke dalam jajaran terhomat bangsa-bangsa yang punya mega-diversity dalam hal sumber daya hayati. Namun mengapa negeri ini tidak juga menjadi negara maritim yang perkasa?

Kalimat Presiden Jokowi yang mengatakan, “Kita terlalu lama mengunggungi laut” mengingatkan pada ucapan Presiden Soekarno di Bumimoro, Jawa Timur, tahun 1951. Soekarno pernah berkata, “Usahakan agar kita menjadi pelaut kembali. Ya...bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal...bukan! Tapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang memiliki armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri."

Pantai Nirwana di Baubau, Sulawesi Tenggara

Tak hanya Soekarno, sastrawan terbesar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, Pramoedya Ananta Toer juga mengingkapkan hal yang sama. Saat berbicara tentang tenggelamnya kerajaan di nusantara, khususnya Jawa, ia mengatakan, "Kehancuran kerjaan di Nusantara, khususnya di Jawa karena singgasana rajanya dialihkan dari laut."

Yup, laut serupa urat nadi yang amat penting bagi bangsa. Jika sejarah dimaknai sebagai himpunan kearifan, kebijaksanaan, dan akumulasi pengalaman yang tertata rapi dan melintasi generasi, negara ini selayaknya bersedih.

Catatan emas pelaut Nusantara yang menaklukan benua dan samudera, jejak sejarah peradaban kita yang telah lama berkarib dengan lautan, justru tidak pernah dilihat sebagai kekuatan untuk menata masa kini. Sejarah mengajarkan bahwa Sriwijaya (684-1377) dan Majapahit (1251-1459) menggapai keemasannya karena menguasai lautan. Sayang, kerajaan setelahnya justru memunggungi lautan.  Indonesia pernah mengembalikan kekuatan lautnya era Soekarno. Setelah di bawah penjajahan, mental negara maritim diubah menjadi negara pedalaman yang terpuruk dalam nalar mistik.

Soekarno sadar potensi maritim sangat besar sehingga pada 1960 dibentuk Dewan Maritim saat pembentukan Kabinet Dwikora. Ada juga Kemenko Bidang Maritim, di bawahnya Menteri Perhubungan, Menteri Perikanan dan Pengolahan Laut, dan Menteri Perindustrian Maritim. Kemenko Maritim yang digagas Soekarno langsung dihapus saat Orde Baru bertahta. Di bawah pemrintahan Soeharto, Indonesia lebih mementingkan pembangunan berbasis agraris sehingga Kemenko Maritim dihapus. Daratan dianggap lebih utama, ketimbang lautan.

Sejak itu, Indonesia menjadi negara yang ‘lupa lautan.’ Kita tak pernah lagi merawat seluruh potensi dunia maritim untuk membangun postur negara yang kuat. Sekian dekade pembangunan kita, hanya fokus pada daratan, tanpa memosisikan lautan sebagai titik berat pembangunan. Selama sekian waktu, lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” hanya menjadi lagu yang mengantar tidur seorang anak. Lagu itu tidak menjadi mercusuar untuk menjelaskan kedirian, genealogi, asal-muasal, serta orientasi hendak ke mana negeri ini bergerak.

Hari itu, presiden baru tiba-tiba berbicara tentang Indonesia Poros Maritim Dunia. Akankah terwujud?

***

SEORANG nelayan di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, tengah mengamati layar televisi. Lelaki yang disapa Daeng Reka itu terharu ketika presiden baru menyebut kata ‘nelayan’ dalam pidatonya. Berbilang banyak presiden telah berganti, namun tak ada juga yang menyebut nelayan dalam pidato kenegaraan. Ia paham bahwa nelayan dan juga para petani sering diposisikan sebagai lapis bawah negeri ini. Ia paham bahwa

Hari itu, saya bertemu Daeng Reka menonton televisi sebelum berangkat melaut. Saban hari, ia menangkap ikan, kemudian menjualnya di beberapa pedagang pengumpul. Ombak lautan Sulawesi telah menjadi sahabat karibnya. Ia seorang nakhoda ulung yang menjadikan lautan sebagai kanvas untuk mencari nafkah. Sayang, garis hidupnya seolah terpatok  sebagai nelayan biasa. Ia masih belum bisa keluar dari mata rantai kemiskinan yang telah lama membelit dirinya.

Di kalangan nelayan, ia hanyalah seorang sawi atau nelayan biasa. Di kalangan nelayan yang tumbuh dalam tradisi Bugis-Makassar, sawi adalah bawahan dari seorang punggawa atau pemilik kapal. Seorang sawi hanya bekerja sebagai anak buah, menjalankan instruksi, serta melaksanakan apapun yang menjadi keinginan seorang punggawa.

perahu layar di Baubau, Sultra

Struktur sosial ini telah berlaku selama beberapa dekade. Para nelayan lapis bawah tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan itu, lalu menjadi sosok pemilik kapal. Yang bisa dilakukan adalah sesegera mungkin keluar dari mata rantai kelembagaan yang mengekang, lalu memperkuat semangat wirausaha sehingga lambat laun bisa mengatasi segala masalahnya. Namun, apakah kenyataan sesederhana itu?

Di tengah akses yang lemah serta kondisi perbankan, para nelayan kemudian berpaling pada tengkulak. Memang, bunga pinjaman pada tengkulak jauh lebih tinggi, akan tetapi para nelayan itu mendapatkan kemudahan berupa akses yang cepat serta tidak ada administrasi yang berbelit-belit. Di sisi lain, para tengkulak sukses memanfaatkan jejaring kekerabatan yang kuat di masyarakat. Pantas saja jika nelayan berpikir bahwa meskipun bunga mahal, akan tetapi jika tak perlu mengurus administrasi dan menyerahkan dokumen agunan, mereka akan memilih bekerjasama dengan para tengkulak, ketimbang bank.

Belum lagi, ada jarak geografis yang begitu jauh. Para elite politik di Jakarta sibuk mengatasnamakan rakyat. Segala kebijakan politik, bahkan yang menyangkut nasib para nelayan, justru diputuskan dari Jakarta, tanpa memahami dan mendengar apa yang diinginkan para nelayan. Semua partai politikpun mengatasnamakan rakyat sebagai jantung dari semua kegiatan politik. Namun, apakah mereka benar peduli pada rakyat? Apakah mereka punya komitmen untuk membantu jutaan rakyat Indonesia yang berharap banyak pada mereka?

Hari itu, Daeng Reka menyeka air matanya ketika mendengar pidato sang presiden. Seusai pelantikan, sang presiden berkata, “Kepada para nelayan, buruh, petani, pedagang pasar, pedagang asongan, TNI, Polri, pengusaha, dan kalangan rofesional, saya menyerukan untuk bekerjasama, bahu-membahu, bergotong-royong, karena inilah momen bersejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama-sama untuk bekerja, untuk bekerja, dan bekerja,” katanya.

Daeng Reka hanya paham sedikit apa yang dimaksudkan presiden. Ia tahu bahwa yang diinginkan adalah bekerja secara bersama-sama. Padahal, makna yang disampaikan itu cukup luas, melampaui semua yang dikatakan. Pidato itu menegaskan posisi strategis nelayan sebagai salah  aktor utama dalam  mewujudkan Indonesia sebagai negara yang kuat. Ketika nelayan disebut lebih awal ketimbang rofesi lain mencerminkan pemikiran presiden yang hendak memacu dan memberikan perhatian khusus kepada nelayan.

Selama ini, para nelayan diposisikan hanya sebaga obyek dari berbagai kebijakan. Aspirasi mereka tak didengarkan. Mereka menjadi figuran dari orkestra pembangunan di tanah air sendiri. Terbukti dari kenyataan yang ada saat ini, dimana nelayan sebagian besar berada dibawah garis kemiskinan. Selain nelayan penangkap ikan, juga pembudidaya seperti petambak ikan belum mendapat prioritas peran dalam pembangunan nasional.

Akses permodalan yang sulit serta peningkatan SDM yang lemah turut dirasakan oleh nelayan, dimana pengembangan infrastruktur pendidikan yang minim di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi salah satu pemicunya. Disisi lain jaminan kesejahteraan, perlindungan bagi nelayan kecil masih jauh dari harapan. Data tahun 2014 menunjukkan jumlah  nelayan di Indonesia mencapai 37 juta jiwa, 70 % dari total tersebut dibawah ambang kemiskinan serta hidup dari hutang ke hutang.  Salah satu penyebabnya adalah kelangkaan BBM, dimana nelayan sulit untuk membeli BBM jenis solar sesuai dengan harga eceran yang ditetapkan pemerintah. Kedepan, persoalan rencana kenaikan harga BBM tentu juga perlu mempertimbangkan hal tersebut.

Keberadaan nelayan akan sangat menentukan kemampuan produksi perikanan negara Indonesia, sementara karena tekanan ekonomi seperti penjelasan diatas mendorong banyaknya nelayan berpindah profesi yang termasuk mendorong terjadinya urbanisasi masyarakat pesisir ke kota-kota besar.  Hal lain yang berdampak negatif  terhadap nelayan adalah perusakan lingkungan serta praktik privatisasi lahan di wilayah pesisir. Perusakan lingkungan akan menyebabkan terganggunya ekosistem sehingga hasil produksi perikanan menurun.

Privatisasi atau pengkaplingan lahan di pesisir menyangkut kebutuhan tempat tinggal serta lahan alternatif bagi keluarga nelayan untuk bercocok tanam atau membudidaya ikan saat harus bertahan  pada  masa panceklik atau  kondisi dimana tangkapan dari laut berkurang atau bahkan tidak ada.  Jokowi dalam pidatonya memberikan harapan besar untuk menempatkan posisi nelayan sebagai inti pembangunanan Indonesia dan menjadi “Poros Maritim Dunia” , dengan demikian akan memberikan perhatian khusus kepada nelayan sehingga berbagai persoalan tersebut dapat diatasi.

***

PERTEMUAN dengan Daeng Reka yang amat berkesan bagi saya. Batin saya seakan diguyur oleh pencerahan baru tentang betapa banyaknya kerja keras yangharus ditempuh demi menyambungkan harapan seorang pemimpin dan realitas yang dihadapi seorang warga. Tentu saja, berdiam diri tidak menyediakan jalan keluar apapun. Yang harus dilakukan adalah merangkum semua keresahan, lalu mengalirkannya dalam berbagai kanal yang tepat demi menemukan muara yang memberi jawaban atas semuanya.

Namun seiring dengan hadirnya pemerintahan baru, sebuah harapan telah bersemi. Seiring dengan hadirnya pemerintahan baru, saatnya kita menggelorakan kembali segala kesadaran tentang pentingnya laut yang tak hanya berfungsi sebagai medium  transportasi,  ideologi dan pertahanan, melainkan sebaga semesta kehidupan dari begitu banyak manusia. Laut tidak dilihat sebagai pemisah tetapi pemersatu yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Laut adalah sabuk yang merekatkan Nusantara.

Sejarah mengajarkan kita semua bahwa pada masa silam, perjuangan adalah perlawanan untuk meraih kemerdekaan dan lepas dari rantai penjajahan. Kini, semangat itu bertransformasi menjadi bentuk perlawanan terhadap himpitan ekonomi dan berbagai persoalan pelik yang saat ini tengah dihadapi seluruh anak bangsa. Mulai hari ini, identitas bangsa dan negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang terintegrasi dengan wilayah perairannya (lautan) harus diperkukuh kembali. Lautan tak hanya menjadi spektrum geografis sebagai negara kepulauan, tetapi juga identitas bangsa berbudaya maritim yang dinamis. Geo-political destiny kita adalah maritim.  

Seluruh anak bangsa mesti menyadari pentingnya budaya bahari Indonesia. Negara ini kaya akan hasil laut, tetapi banyak kekayaan laut tersebut dikuasai oleh asing baik secara legal maupun ilegal sehingga tidak memberi kontribusi nyata bagi kemakmuran bersama.

Komitmen yang harus diwujudkan  dalam tindakan nyata adalah mengelola lautan dengan segala potensinya menjadi peluang untuk memajukan bangsa, karena kejayaan  nusantara sebagai bangsa maritim dahulu diperoleh atas kemampuan memahami potensi serta mengelolanya.  Tekad yang harus dikuatkan adalah mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negeri maritim yang berjaya di banyak aspek, tak hanya sektor perikanan dan kelautan, tapi juga perniagaan, dan pertahanan.

Pantai di Gili Nanggu, Lombok

Dengan hadirnya pemerintahan yang memiliki ketajaman visi dan kesadaran terhadap posisi strategis nusantara akan membawa negara ini disegani oleh negara-negara lain dimasa yang akan datang. Perubahan yang diharapkan kedepan tentunya berangkat dari paradigma berpikir yang selama ini lebih mengedepankan pemanfaatan sumberdaya daratan menjadi berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya lautan. Indonesia sebagai negara kepulauan tidak dapat terpisahkan dari kemampuannya dalam  manajemen pertahanan, untuk itu pertahanan maritim seharusnya menjadi strategi utama dalam menjamin kedaulatan negara.

Yang juga menyentuh hati, Presiden Jokowi juga mengumpamakan dirinya sebagai nakhoda yang memimpin kapal besar bernama Indonesia. Negeri ini diibaratkan sebagai sebuah kapal yang berlayar menuju tanah harapan. Seorang nahkoda adalah pemegang kekuasaan dan pengendali pada suatu  kapal. Ia mengatakan:

Mengakhiri pidato ini, saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk mengingat satu hal yang pernah disampaikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung. Sebagai nahkoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui upaya kita bersama.”

Kalimat ini amat bersesuaian dengan filosofi Suku Bajo, salah satu suku yang bertualang di lautan, yang meyakini bahwa masyarakat laksana perahu yang terombang-ambing di lautan sehingga senantiasa mecari keseimbangan. Ketika semua pihak bekerjasama, perahu itu akan lincah membelah samudera. Namun ketika tak siap menghadapi samudera, maka perahu itu akan limbung ke kanan dan ke kiri.

Filosofi ini bisa dibumikan dalam konteks Indonesia. Jika semua anak bangsa bisa saling bergotong royong dan  mengambil peran, maka tercapailah tujuan bersama yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara yang besar, negara yang kuat dan negara yang damai.(*)



0 komentar:

Posting Komentar