ilustrasi |
DI satu desa di pedalaman tanah Mandar,
Sulawesi Barat, seorang bapak tua mengajariku mantra-mantra pemikat perempuan.
Pada usia 20-an tahun, aku lansung merinding. Rasanya tak sabar untuk
meninggalkan kampung itu demi langsung mencoba mantra pemikat itu. Berhasilkah?
***
HARI itu, di akhir dasawarsa 1990-an. Aku
dan sahabat Muhammad Toha bekerja di satu lembaga penelitian di kampus
Universitas Hasanuddin, Makassar. Kami mendapat tugas untuk melakukan riset
lapangan selama dua minggu di satu desa terpencil di Kabupaten Pollewali
Mamasa, Sulawesi Selatan (kini menjadi bagian dari Sulawesi Barat).
Penelitian itu mengenai pendidikan di
daerah-daerah terpencil. Kami hendak mengamati sejauh mana akses warga daerah
terpencil untuk mendapatkan pendidikan. Kami mengamati keterbatasan
infrastruktur, serta bagaimana dukungan masyarakat terhadap sekolah-sekolah.
Kami memang sengaja memilih daerah yang
paling terpencil. Aku masih ingat persis. Desa yang kami datangi terletak di
Kecamatan Tutallu. Dari jalan poros Makasaar ke mamuju, kami singgah ke
Tinambung. Setelah itu mobil yang kami tumpangi akan belok ke kanan dan melalui
tanjakan yang cukup jauh. Pada masa itu, infrastruktur jalan sangatlah buruk.
Setelah tiba di Tutallu, kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki selama
beberapa jam. Semua barang bawaan kami sampirkan pada seekor kuda yang kami
sewa.
Desa yang menjadi lokasi penelitian itu
sangatlah terpencil. Tak ada listrik. Tak ada fasilitas publik. Penduduknya
tinggal terpisah-pisah, namun tak begitu jauh dari sungai. Nah, sungai itu
menjadi pusat aktivitas warga. Di situlah warga mandi, mencuci pakaian,
sekaligus fasilitas untuk buang air besar. Mulanya, aku ragu-ragu untuk mandi
di sungai itu. Tapi setelah melihat beberapa gadis desa ikut mandi, aku pun
membiasakan diri. Minimal bisa melirik ke kiri dan ke kanan. Hihihi.
Aku dan Toha menginap di rumah seorang
guru sekolah dasar. Bapak itu telah memiliki dua anak. Di rumahnya itu, tinggal
pula adik iparnya yang cantik jelita. Sepintas, adik iparnya itu mirip artis
ibukota. Saat pertama datang, gadis itu menghidangkan minuman lalu
menyilahkanku untuk minum. Ia tertunduk saat itu, namun ketika mengangkat
wajahnya, sekilas matanya melirik ke arahku. Darahku langsung berdesir.
Bapak pemilik rumah sempat memberikan
beberapa masukan. Ia meminta kami untuk berhati-hati ketika dihidangkan minuman
oleh warga. Katanya warga di kampung itu masih banyak yang mengamalkan ilmu
sihir. Meskipun tak begitu percaya dengan sihir, aku mengikuti sarannya.
Keesokan harinya, aku mulai menelusuri
desa itu demi menuju sekolah terdekat. Selama beberapa hari, observasi dan
wawancara di sekolah itu sukses dilaksanakan. Kami lalu bergerak untuk
mengumpulkan data ke beberapa warga. Hingga akhirnya, kami mewawancarai seorang
bapak yang nampak terpelajar di kampung itu.
Yang menarik, bapak itu menjelaskan
tentang banyaknya mantra-mantra dan kesaktian di kampung itu. Ia mengambil
kertas-kertas lusuh di kamarnya lalu memperlihatkan sebuah gabar yang menunjuk
ke delapan penjuru mata angin. “Ini namanya kutika. Bagi orang mandar, ini
berguna untuk melihat hari-hari baik,” katanya.
Ia menunjuk hari-hari baik untuk menanam,
serta hari baik untuk melaut. Yang menarik, ada pula hari baik untuk berkelahi
dengan seseorang. Katanya, saat pergi menantang orang lain pada hari itu, maka
seseorang akan selamat dan tak mendapat celaka.
Kutika dikenal dalam berbagai budaya. Tak
hanya Mandar, orang Bugis ataupun Buton juga mengenal konsep kutika. Biasanya
kutika selalu dikaitkan dengan perhitungan konsep tentang hari-hari baik.
Barangkali, ada semacam pengulangan atas satu kebaikan yang terjadi di masa
silam. Pada masa kini, kutika menjadi kompas yang menentukan kapan satu
kelompok masyarakat memulai suatu pekerjaan.
Yang jauh lebih menarik adalah ketika
bapak itu membuka kertas-kertas lusuh yang katanya berisikan matra-mantra. Pada
satu bagian, ia bercerita tentang mantra pemikat perempuan. Jiwa mudaku
bergejolak. Aku sangat tertarik. Kubayangkan gadis-gadis manis di kampus.
Kubayangkan pula sejumlah wanita yang pernah menolak cintaku. Kali ini,
perempuan itu akan bertekuk lutut dan berharap cintaku. Aku tersenyum
membayangkan apa yang akan terjadi kelak.
Yang mengherankan, tanpa kuminta, bapak
itu bersedia mengajarkan mantra itu secara gratis. Menurutnya, mantra itu
sangat efektif. Kita harus meletakkan jari telunjuk di bawah lidah, sembari
mengucap mantra. “Kalau sudah baca mantranya, usahakan untuk sentuh gadis itu.
Pastilah dia langsung jatuh cinta,” kata bapak itu. Aku langsung
berdebar-debar.
Dua hari setelah pertemuan itu, aku
meninggalkan lokasi penelitian. Mantra itu telah kuhafal luar kepala. Sepanjang
perjalanan ke Makassar, aku memikirkan kepada siapa mantra itu akan kurapal.
Kubayangkan si A yang bahenol. Tiba-tiba saja kuurungkan niatku karena kupikir
si A tak begitu menarik. Kubayangkan lagi Si B yang lebih seksi. Tak puas,
kukhayalkan lagi Si C. Ah, aku jadi bingung hendak ‘menyihir’ siapa.
Setibanya di Makassar, aku tak bisa tidur
selama beberapa malam. Gara-gara mantra itu aku tak kunjung bisa tidur. Aku tak
tahu apakah akan menggunakan mantra ini ataukah tidak. Namun ada rasa penasaran
yang terus menggelayut di hati ini. Apakah mantra ini bisa bekerja? Apakah
hari-hariku akan seperti Rano karno ataupun Rhoma Irama yang senantiasa
dikelilingi gadis-gadis manis dalam semua filmnya?
Hingga suatu hari, aku menyaksikan kawan
perempuan melintas. Tiba-tiba saja ada gejolak kuat untuk menggunakan mantra
itu. Jantungku berdegup lebih kencang. Kubayangkan matanya akan dipenuhi simbol
cinta, sebagaimana kusaksikan dalam film kartun. Saat ia mendekat, aku segera
meletakkan telunjuk ke bawah lidah. Kubaca mantranya, lalu kucolek dirinya.
Kembali, jantungku berdegup lebih kencang
saat menanti reaksinya. Sekian detik, ia tiba-tiba menoleh. Aku serasa
menyaksikan adegan dalam film Korea yang tiba-tiba saja menjadi slow motion. Aku seolah tidak menginjak tanah.
(Bersambung)
4 komentar:
Bang bisa di amalin gak bang
Bisa di amalin gak bang
Sambungannya kemana?
Bikin penasaran ajah
Mana bacanya
Posting Komentar