Cerita tentang Dua Sahabat


ilustrasi

DI kampung saya, hanya ada satu pekerjaan yakni menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Di luar itu, maka dianggap bukan pekerjaan yang ideal. Tapi di Jakarta tidaklah demikian. Ada banyak pekerjaan dan profesi yang justru bisa menghasilkan banyak uang. Tadinya saya menganggapnya aneh, namun ada banyak orang yang bisa menggapai sukses, tanpa mengandalkan selembar ijazah.

Selama beberapa waktu di Jakarta, saya menemukan banyak fakta unik dan mengejutkan. Bahwa kecerdasan bukanlah hal yang paling penting untuk sukses. Bahkan gelar akademis pun tidak begitu penting. Yang dibutuhkan hanyalah kemampuan bertahan, kemampuan melihat celah-celah pekerjaan, serta kemampuan membangun jaringan dengan banyak orang.

***

TEMAN itu selalu berpakaian necis. Ia selalu datang dan menunjukkan gadget terbaru yang dimilikinya. Ia memakai ponsel jenis Iphone 6 seri terbaru. Ketika saya tanya ponsel itu digunakan untuk apa? Ia terkekeh. Ia hanya menggunakan satu aplikasi yakni kamera. Itu pun hanya digunakannya untuk memotret berbagai jenis batu akik yang dikoleksinya.

Hari-harinya adalah nongkrong di Warung Kopi Phoenam yang berlokasi di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta. Kerap, saya datang menemaninya untuk bercerita hal yang lucu-lucu. Pembicaraannya tak jauh-jauh dari topik tentang perempuan dan batu akik. Kalau diajak berbicara serius, ia enggan menanggapi. Ia lebih suka membahas hal-hal ringan.

Saya mengenalnya sejak lama. Dahulu, ia terdaftar sebagai mahasiswa di satu perguruan tinggi di Makassar. Sayang, ia tidak sempat menyelesaikan kuliahnya. Ketimbang belajar di kelas, ia lebih suka nongkrong di kantin-kantin kampus dan menggoda para mahasiswi. Ketika kami semua lulus, ia pun banting stir ke Jakarta. Bertahun-tahun tak bertemu, saya akhirnya selalu melihatnya di warung kopi Phoenam, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta.

Setiap kali bertemu, saya selalu bertanya dalam hati, apakah pekerjaan teman ini? Rasanya aneh saja melihat ada orang yang setiap hari datang ke warung kopi dengan memakai mobil mewah. Apakah ia tidak bekerja?

Belakangan saya tahu. Ternyata ia adalah salah satu pembuat animasi yang punya reputasi baik di Jakarta. Ia kerap mengerjakan animasi untuk televisi serta berbagai video perusahaan. Animasi yang dibuatnya sungguh menakjubkan. Pekerjaannya rapi dan halus. Itulah sebab mengapa ia selalu dicari dan dibayar mahal oleh berbagai perusahaan. Kini, ia juga memiliki bisnis pembuatan neon box serta televisi raksasa berisikan iklan di jalan-jalan utama Jakarta.

Ia dibayar mahal karena kompetensi serta kemampuannya. Ia mendapatkan kompetensi itu melalui proses belajar secara otodidak dan konsistensinya di jalur itu. Ia memang pembelajar hebat yang belajar animasi karena memang memiliki passion dan semangat yang kuat di bidang itu. Sungguh menyenangkan bisa menekuni hobi. Semakin jauh menyenangkan pula ketika menekuni hobi itu malah dibayar.

Saya juga terkesima dengan seorang sahabat. Sebut saja namanya Baco. Ia justru tak pernah belajar di perguruan tinggi. Saya mengenalnya sejak lima tahun silam. Bebrbeda dengan teman yang bekerja sebagai animator, Baco paling sering keluar daerah. Ia selalu pindah-pindah kota dan selalu tinggal di hotel-hotel mewah. Ia bekerja sebagai pengelola pelatihan yang ditujukan bagi pegawai negeri, kontraktor, dan pebisnis.

Jaringannya luas. Ia bisa mengendus peluang di bidang pelatihan. Alasannya, ada banyak orang yang ingin belajar kapasitas teknis, namun tidak punya ruang memadai untuk itu. Lagian, lembaga-lembaga pendidikan tak selalu menyediakan pelatihan untuk mempelajari hal-hal teknis itu. Padahal, banyak yang membutuhkan itu.

Ia lalu berjejaring. Ia menyebar relasi di mana-mana. Ia rutin menggelar pelatihan di berbagai kota. Malah, ia mempekerjakan para doktor dan akademisi sebagai pemateri di lembaganya. Para akademisi bergelar doktor itu dibayarnya 5 juta untuk membawakan materi seharian.

Luar biasa. Ia mempekerjakan orang sekolahan yang menghabiskan waktu tahunan untuk sekadar gelar. Sementara dirinya bisa mendapatkan uang hingga 100 juta rupiah dalam sebulan. Ia seolah menunjukkan bahwa pada akhirnya, kehidupan ditentukan oleh mereka yang bisa survive dan menemukan jalannya sendiri. Kehidupan tak ditentukan oleh kampus-kampus melalui selembar ijazah. Yang jauh lebih penting adalah pengalaman dan jaringan luas serta kesediaan untuk selalu belajar pada setiap etape kehidupan.

Yang saya senangi pada dua sahabat ini adalah mereka sama-sama punya waktu luang yang snagat banyak untuk sekadar kumpul-kumpul dan ngopi dengan sahabat-sahabatnya. Mereka sungguh beda dengan para pekerja kantoran yang saban hari ke kantor lalu bekerja seharian, setelah itu kembali ke rumah ketika matahari tenggelam.

Dua sahabat itu tidak diperbudak pekerjaan. Bekerja dalam sebulan bisa membiayai keluarga serta kebiasaan kumpul-kumpul selama setahun lebih. Mereka bisa mengendalikan waktu, lalu merencanakan hal-hal yang idealis, yang bisa meningkatkan kapasitas, serta membuat mereka bisa melakukan hal-hal yang bermakna. Mereka bisa setiap saat berkumpul bersama keluarga, berlibur, serta menekuni hobi tertentu.

Kehidupan memang serupa kanvas yang bebas diisi dengan aneka warna-warni. Dua sahabat itu memilih untuk menyapukan warna favoritnya di kanvas itu. Keduanya menaklukan kehidupan melalui kejelian untuk melihat peluang. Keduanya menginspirasi orang lain dengan caranya sendiri. Keduanya mengajarkan pada saya bahwa kehidupan selalu punya harapan dan matahari sepanjang kita bekerja keras dan terus belajar.

Sungguh senang bersahabat dengan mereka.



0 komentar:

Posting Komentar