sawah-sawah hijau di Mamasa |
DI tengah hamparan pegunungan Mamasa di
Sulawesi Barat, para petani memiliki penanda unik untuk memulai masa tanam
hingga kapan saat tepat untuk ritual memanen padi. Mereka tak menunggu arahan
pemerintah. Mereka menunggu perintah dari sosok yang memiliki kemampuan untuk
menafsir bintang, menyibak misteri tanda langit, demi memahami isyarat alam
bagi para petani.
***
ANGIN sepoi-sepoi berhembus di tepi
persawahan di Mesawa, Mamasa, ketika sejumlah orang mengetuk-ngetuk pintu
sebuah rumah di suatu malam. Tak lama kemudian, suara pintu yang berderit
terdengar. Seorang perempuan berusia lanjut keluar dari rumah itu dan bertanya
ada apakah gerangan. Orang-orang itu bertanya, “Kapan saat menanam padi?”
Perempuan tua itu terdiam sesaat. Ia lalu
memandang langit yang dipenuhi bintang-gemintang. Bibirnya sempat
berkomat-kamit seolah merapal mantra dalam bahasa kuno. Tak lama kemudian,
wajahnya menggeleng. Semua orang paham tentang isyarat yang disampaikan
perempuan tua itu. Tanpa banyak bertanya lagi, mereka lalu beranjak pulang
dengan wajah agak kecewa.
Mereka yang datang berombongan itu adalah
para petani. Mereka datang menemui seorang so’bok,
atau kerap disebut tomassuba. Seorang
so’bok adalah seorang imam padi dalam
sistem kepercayaan atau agama lokal Aluk
Toyolo, yang dipercayai orang Mamasa sejak ratusan tahun silam. So’bok adalah mediator antara manusia
dan dewa padi.
Seorang So’bok menafsir bintang, memahami letak gugusan bintang yang
menandai suatu permulaan bagi musim padi yang tepat (Mandadung 1999). Ia tak
hanya menjaga ritual penanaman padi, tapi juga memainkan peran aktif di
dalamnya. Ia memberikan isyarat untuk pengerjaan sawah melalui pengolahan
pertama dengan sekop. Ia juga membawa sesajen yang diperlukan pada tingkatan
berbeda pada penanaman itu. Tugasnya amat penting sebab keberhasilan panen akan
tergantung pada dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan dewa-dewa. Jika
aturan tak dipenuhi, maka bala atau bencana bisa menghantam negeri.
Bagaimana caranya memahami pesan langit
dan menafsir bintang? Seorang warga Mamasa yang saya temui tak dapat
menjawabnya. Ia bukanlah seorang passo’bok.
Ia hanya menjelaskan bahwa bintang memberikan tanda atau awal menanam padi. Ada
proses spiritual serta tingkat pemahaman tertentu bagi seorang so’bok, yang
kerap disebut Imam Padi. Jika isyarat langit itu sudah nampak, maka seorang
so’bok akan mulai mengambil sekop lalu membongkar tanah. Warga lainnya lalu
menunggu hingga tiga hari, sebelum akhirnya mulai menggarap lahannya.
Selama sekian dekade, tradisi ini masih
dipertahankan oleh warga Mamasa. Mereka meyakini bahwa padi adalah berkat dari
langit yang ditumbuhkan oleh dewa-dewa bumi. Berdasar kepercayaan tradisional,
warga Mamasa meyakini bahwa ada barisan dewa-dewa yang menghuni langit dan
bumi. Mereka menjaga keseimbangan lagit dan bumi. Ketika dewa langit memberikan
isyarat melalui bintang, maka tugas selanjutnya adalah dewa bumi memberikan
kesuburan dan kekuatan agar padi-padi tumbuh dengan kokoh.
Tentu saja, ada sejumlah ritual dan
sesajen yang harus disiapkan. Di satu sisi, ritual itu tak hanya bermakna
spiritual, namun juga memiliki makna sosial yang kuat. Melalui ritual itu,
organisasi sosial dipertahankan, solidaritas tetap diperkokoh, serta kian
menebalnya sense of community bagi
seluruh warga desa.
Eksotika Mamasa
Kisah tentang seorang penafsir bintang ini
saya dapatkan dalam kunjungan lapangan ke Mamasa, Sulawesi Barat. Bersama
rombongan peneliti dari Pusat Studi Pembangunan, Pertanian, dan Pedesaan
(PSP3), saya bergabung dengan beberapa
peneliti dari berbagai displin ilmu.
Niatnya adalah membuat satu studi yang
bersifat holistik demi membuat kajian tentang (1) pewilayahan komoditas, (2)
pemetaan potensi agro-industri, serta (3) studi tentang eko-wisata. Tiga topik
ini diharapkan akan menjadi rekomendasi dan masukan bagi pemerintah daerah
untuk menyusun rancangan kebijakan yang akan membuka Mamasa bagi dunia luar.
Kisah tentang
seorang so’bok ini bukanlah isapan
jempol. Pada beberapa desa, posisi adat ini masih bisa ditemukan. Warga desa
masih meyakini keberadaan dewa padi Tottiboyong
yang diyakini hidup di tanah Mamasa (Buijs 2006). Tugas seorang so’bok adalah memberikan persembahan
berupa sesajen agar Tottiboyong bermurahhati
dan menganugerahkan kesuburan kepada tanah Mamasa.
Mamasa adalah
wilayah yang dikitari pegunungan. Posisinya di ketinggian. Sayangnya, akses
jalan masih rusak berat, sejak pertamakali dibuka Belanda di akhir tahun 800-an.
Meskipun medannya berat, saya sangat menikmati perjalanan ke wilayah ini.
Bagi
yang suka petualangan, Mamasa adalah tempat yang mengasyikkan. Dari Makassar,
kita bisa menempuh perjalanan darat melalui Parepare, Pinrang, dan Polewali.
Jalanannya masih mulus. Namun begitu hendak meninggalkan Polewali menuju
Mamasa, jalanan mulai mendaki dan rusak parah. Meski jarak dari Polewali ke
Mamasa hanya 90 kilometer, namun jalanan rusak menyebabkan perjalanan ditempuh
hingga berjam-jam.
seroang anak membawa padi |
Sayang, dalam perjalanan ini, saya tak sempat
bertemu dengan seorang penafsir bintang bagi para petani. Beberapa petani yang
saya temui di sekitar kota menjelaskan tentang kian berkurangnya sistem
pertanian tradisional ketika modernisasi kian menggerus sistem pertanian
tradisional. Kata mereka, so’bok telah lama menjadi cerita.
Idealnya, so’bok harus tetap dipertahankan demi menjaga warisan tradisi serta
sebagai modal sosial yang kokoh di masyarakat. Seperti halnya subak di Bali, suf di Nusa
Tenggara Timur (NTT), so’bok adalah
tradisi yang bisa menjadi benteng bagi warga setempat untuk menghadapi berbagai
keretanan pangan. Berbagai studi menunjukkan bahwa kelaparan banyak melanda
wilayah yang tidak memiliki aspek modal sosial yang kokoh, serta hilangnya
solidaritas bersama.
Namun, benarkah tradisi so’bok itu telah punah? Suatu hari, saya
mengunjungi dataran tinggi Nosu, yang berbatasan dengan Toraja. Saya melihat
sawah-sawah luas yang menghampar. Seorang pemuda datang menghampiri saya dan
bercerita kalau jenis padi yang ditanami adalah padi lokal sebab padi impor tak
bisa bertahan ditanam di ketinggian. Saya lau bertanya sesuatu:
“Bagaimana caranya kalian tahu kalau musim tanam telah tiba?”
“Biasanya, kami meminta bantuan pada seorang passo’bok untuk membaca bintang dan menafsir tanda-tanda alam,”
katanya.
“Jadi, apakah penafsir bintang itu masih ada?”
“Iya. Saya bisa mengantar kamu untuk menemuinya,” katanya.
bunga-bunga di dekat sawah |
Tiba-tiba saja, ada rona bahagia yang
memenuhi hati ini. Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dan belajar banyak
hal tentang bintang-bintang yang menjadi kompas bagi sistem pertanian di situ.
Semoga saja pengetahuan tentang perbintangan itu tetap bertahan dan lestari
hingga masa-masa mendatang. Tiba-tiba saja saya khawatir tentang punahnya
tradisi itu. Generasi hari ini lebih tertarik bermain facebook ketimbang
memahami adat dan sistem tradisional. Hiks.
0 komentar:
Posting Komentar