Tania Li, Sahabat di Kereta


suasana di dalam kereta

Kapan dan di manakah anda menemukan titik fokus ketika membaca?


SERING saya tak punya waktu untuk membaca. Padahal, membaca adalah jendela untuk menemukan hal-hal baru, gerbang untuk belajar banyak hal yang menarik, serta senjata untuk terus meng-update pengetahuan demi memandang kenyataan dengan cara yang lebih fresh. Tanpa membaca, pengetahuan akan jalan di tempat. Saya hanya akan mengulang-ulang segala hal yang barangkali mendatangkan jenuh atau membosankan bagi orang lain yang pernah mendengarkan gagasan itu.

Belakangan ini, saya kembali menemukan gairah membaca. Memang, hari-hari saya masih bergegas sebab harus bolak-balik antar kota. Namun, saya menemukan keasyikan baru ketika membaca di perjalanan. Ya, saya membaca di dalam kereta yang setiap hari saya gunakan dari dan ke kantor. Kini, saya menemukan konsentrasi penuh ketika membaca di dalam kereta, di tengah deru mesin, serta orang-orang yang lalu lalang.

Hanya dalam waktu dua hari, saya menuntaskan buku tentang riset kualitatif untuk ilmu sosial yang disusun Prof Burhan Bungin. Malah, saya membuat catatan-catatan selama di kereta tentang betapa banyakya gagasan yang tak orisinil di buku itu. Di tengah deru kereta yang menyinggahi banyak stasiun, saya menemukan bahwa buku ini serupa sebuah kolam tempat menaruh semua gagasan-gagasan banyak orang, lalu diikat dengan satu tali, yang justru tak berhasil menautkan semua gagasan itu. Buku ini tak begitu mencerahkan.

Ada dua hal yang sangat mempengaruhi kecepatan membaca. Pertama adalah waktu yang tepat. Kedua, konsentrasi. Nah, saya menemukan keduanya saat d kereta. Waktunya sangat tepat sebab saat itu pikiran saya kosong dan lebih banyak mengkhayal. Makanya, saya memutuskan untuk membaca, sesuat yang snagat efektif untuk ‘membunuh’ waktu perjalanan.

Entah kenapa, saya juga menemukan konsentrasi di situ. Sebab dalam keramaian itu, tak ada satupun hal yang menarik. Setiap hari, saya menyaksikan kenyataan yang sama. Jendela-jendela kereta juga kehilangan kejutan. Daam situasi yang serba kosong itu, membaca adalah jalan keluar terbaik untuk melepas semua kejenuhan.

Demi memenuhi hobi membaca, saya mulai rajin berburu buku-buku bagus. Saya sungguh beruntung karena istri amat mendukung hobi membaca. Ia tak pernah protes ketika saya menghabiskan uang belanja demi hobi membaca. Saya mengakui kalau cukup lama saya tak mengikuti perkembangan baru di ranah teori dan metodologi ilmu sosial. Saya terlampau keasyikan berkelana dari fakta satu ke fakta lain, atau dari tempat satu ke tempat lain, tanpa merefleksi ataupun mendiskusikannya dengan perangkat teori.

buku baru

Saya pernah membaca bahwa ada varian dalam riset yang memang anti pada teori-teori sebab bisa menjerat seseorang pada cara berpikir tertentu. Namun membaca teori juga penting untuk memperluas cakrawala berpikir, demi menemukan fakta bahwa kegelisahan di satu tempat bisa juga dialami di tempat lain, sehingga refleksi dan proses memperkaya pengetahuan amatlah diperlukan.

Hari ini saya membeli tiga buku yang agak serius. Masing-masing adalah Antropologi Marxis (2014), Suara dari Desa (2013), serta buku The Will to Improve (2012). Di antara ketiganya, saya baru membaca bab pendahuluan buku The Will to Improve yang ditulis Tania Li. Baru baca sekitar 20 halaman, saya sudah dilanda keasyikan, dan berniat untuk menuntaskannya. Kali ini, Tania Li akan menjadi sahabat di atas kereta. Ia akan membantuku menunjukkan tentang kemiskinan yang terus terjadi, di tengah berbagai rencana serta strategi pemerintah yang hendak mengatasinya.

Sebagaimana biasa, pada setiap lembar buku, saya terngiang kalimat yang pernah ditulis Ralph Waldo Emerson, Setiap buku adalah kutipan; setiap rumah adalah kutipan, seluruh rimba raya dan tambang-tambang dan bebatuan adalah kutipan, setiap manusia adalah kutipan dari semua leluhurnya”

Setuju.


0 komentar:

Posting Komentar