adegan dalam film Yasmine |
SEBAGAI penggemar film silat, ada dua film
yang paling saya tunggu di tahun ini. Pertama, film berjudul Yasmine tentang
seorang pesilat yang dibuat sineas asal Brunei, dan melibatkan para aktor dari
Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kedua, film berjudul Pendekar
Tongkat Emas yang dibuat Gramedia dan Miles Pictures, yang dibintangi Reza
Rahadian dan Nicholas Saputra. Manakah yang paling menarik?
***
FILM Yasmine telah tayang di bioskop. Jika
tak ada aral melintang, saya ingin menyaksikannya sebelum turun dari layar
bioskop. Trailer-nya telah diunggah di youtube. Saya menontonnya
berulang-ulang. Saya menyukai bagian slow
motion saat dua pesilat bertarung. Sepintas, film ini seperti Karate Kid,
tapi hadir dengan rasa Melayu. Fakta yang membuat saya ingin sekali nonton film
ini adalah ‘rasa’ Indonesia yang sangat kuat.
Ini memang film Brunei. Tapi aktor
Indonesia banyak bermain. Di antaranya adalah Reza Rahadian, Dwi Sasono, Agus
Kuncoro Adi, dan beberapa aktor muda. Tak hanya itu, penulis skenario film ini
adalah Salman Aristo, yang pernah menuulis skenario film Laskar Pelangi. Bahkan
musik dan soundtrack juga ditangani
oleh band Nidji, band kenamaan Indonesia.
Saya membaca informasi di satu media kalau
sutradara film ini amat ngefans dengan film-film Indonesia. Informasi ini menag
tidak mengejutkan. Tak hanya film, sinetron dan musik Indonesia amat digemari
oleh negara-negara Asia Tenggara. Tak salah jika seorang penulis asal Malaysia
pernah menyebut Indonesia ibarat Hollywwod-nya Asia Tenggara. Tentu saja, ia
banyak menyaksikan fenomena itudi negaranya.
Film lain yang saya tunggui adalah Pendekar Tongkat Emas. Film ini dibuat
Miles dan ber-budget hingga 20 miliar rupiah. Jumlah yang cukup mahal untuk
ukuran sebuah film. Beberapa aktor hebat bermain di film ini, seperti Reza
Rahadian, Nicholas Saputra, dan Christine Hakim. Rencananya, film ini akan
tayang pada bulan Desember mendatang.
poster film Pendekar Tongkat Emas |
Sayangnya, ketika melihat gambar-gambar
film ini, saya agak kecewa. Saya menangkap kesan kalau film ini tidak bebasis
pada kultur tanah air yang kaya dengan khasanah bela diri pencak silat. Melihat
gambar-gambarnya, terasa kalau film ini lebih condong ke film jenis kungfu yang
memang telah lama menjadi trend dunia. Pakaian para pemainnya pun kurang
‘mengindonesia.’
Entahlah, ini cuma kesan sepintas saat
menyaksikan gambar-gambar film. Barangkali, pihak sineas ingin menampilkan
sesuatu yang lebih bisa ‘dijual’ di pasar internasional. Sebagai seseorang yang
percaya kalau film bukan sekadar medium untuk hiburan, namun bisa pula menjadi
etalase budaya suatu bangsa, saya berharap lebih.
Apapun itu, saya senang dengan kian
banyaknya film laga. Saya menggemari kisah-kisah di balik sebuah aksi laga, khususnya kisah
penemuan diri, etos kerja, serta keyakinan bahwa kekuatan terbesar dalam diri
seseorang bukanlah pada tinju dan tendangan yang serupa geledek, namun pada
ketenangan dan kemampuan mengendalikan ritme kehidupan.
BACA JUGA
0 komentar:
Posting Komentar