RUMAH itu nampak sederhana. Tak ada perabotan mewah di dalamnya. Hanya ada sebuah kitab Injil bertuliskan Mazmur. Lelaki penuh senyum itu menyilahkanku untuk duduk, setelah sebelumnya ia mengantarku melihat bijih kopi yang dijemur di halaman rumah. Ia begitu bersemangat ketika bercerita tentang kopi. Matanya berkilat-kilat saat berkisah tentang saat-saat memetik kopi, mengupas, menjemur, hingga menjualnya ke kota-kota.
Lelaki itu bernama Mongge. Ia menanam kopi
di Pegunungan Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Jika petani lain memperlakukan kopi
sebagai benda, maka tidak baginya. Kopi itu ibarat anak yang dilahirkan,
dibesarkan, hingga akhirnya menopang kehidupannya. Ia mengalami hari ketika
memilah benih kopi, menanamnya dengan penuh kesabaran, lalu menunggu hari-hari
ketika benih itu mulai bertunas. Ia menjagai tanaman itu dari berbagai tanaman
penganggu. Ia merawat, membesarkan, lalu membelai tanaman itu hingga akhirnya
melahirkan buah yang siap untuk dipetik.
Setiap kali harus menjual kopi, Mongge
dirundung bahagia dan sedih. “Kadang saya
berat juga melepas kopi-kopi yang pernah saya tanam ke kota. Kopi itu seperti
anak saya. Dia akan lebih indah jka dipajang di sini. Tapi kalau disimpan di
sini, kopi itu akan menumpuk. Mungkin akan lebih baik kalau dia (kopi) dijual
dan membahagiakan orang lain,” katanya.
Mongge paham bahwa kopi-kopi itu punya garis
hidup. Kopi itu punya takdirnya sendiri, yang tak dipahami oleh
petani yang menanamnya. Dari tangan Mongge di desa Nosu, kopi itu akan berkelana ke Makassar,
Surabaya, dan Jakarta. Kopi-kopi itu berkelana ke
negeri-negeri yang jauh. Kopi itu melintasi benua, dicicip oleh manusia
berbagai bangsa, dan memenuhi gelas di banyak tempat.
Sebagai penjalan, aku telah menyaksikan
bagaimana kopi Indonesia menempati posisi puncak di kedai-kedai kopi di luar
negeri. Satu dari tiga warga Amerika Serikat (AS) adalah sosok yang tak bisa
menjalani hari tanpa segelas kopi. Mereka membeli kopi dengan harga mahal demi
mendapatkan rasa kopi yang eksotik. Dan sejak dulu, Indonesia adalah salah satu
negara eksportir yang membanjiri dunia dengan citarasa kopi eksotik khas
Nusantara.
Mongge, sang petani kopi |
Boleh jadi, kopi yang ditanam Mongge di Mamasa itu menjadi kopi terbaik di kedai Starbuck di kota New York. Kopi itu kemudian dinobatkan sebagai kopi terlaris di Jepang,
menjadi kopi yang paling diinginkan di Eropa, menjadi produk paling mahal di restoran-restoran berkelas, dihidangkan di meja banyak orang hebat, atau mungkin menjadi penghangat tubuh ketika badai salju menerjang di
satu tempat.
Boleh jadi, kopi itu hadir dalam pertemuan
para kepala negara yang kemudian memutuskan nasib bangsa-bangsa lain. Atau
mungkin hadir di tengah jerit tangis sebuah keluarga yang rumahnya baru saja dibom.
Kopi itu juga muncul di meja para remaja-remaja Korea yang menyandang
berbagai gadget terbaru. Kopi itu bisa pula menjadi sahabat para pelaut yang
melintasi Samudera Atlantik atau para pendaki di Pegunungan Himalaya yang
tengah melepas penat di dekat puncak-puncak bersalju.
Kopi-kopi itu menjadi saksi atas beragam
budaya dan peradaban. Kopi itu diolah dengan berbagai peralatan modern,
dicampurkan berbagai bahan demi mendapatkan rasa berbeda, atau mungkin dikreasikan
menjadi berbagai produk minuman. Kopi itu menjalani takdir yang panjang hingga akhirnya
menjadi ampas minuman, yang lalu menyuburkan tanah di berbagai negeri. Ia lalu
menjelma menjadi sebentuk kehidupan yang lain, atau mungkin menyediakan dirinya
sebagai penyubur bagi kehidupan yang sedang tumbuh.
Semuanya berawal dari tangan dingin Mongge.
Di desa kecil itu, aku merasa tergetar
ketika menyaksikan keikhlasan Mongge merawat kopi. Aku tertegun menyaksikan
kesederhanaannya menjalani hari. Batinku tiba-tiba diliputi marah ketika
membayangkan para eksportir kopi yang kemudian menangguk untung besar dari
setiap butir kopi yang ditanam Mongge. Aku memelihara kesal pada organisasi
pedagang kopi internasional yang dengan mudahnya memainkan harga kopi sehingga
seringkali jatuh di pasaran. Petani kecil seperti Mongge terpaksa menerima
harga jual rendah, yang sering tak dipahaminya.
kopi yang ditanam Mongge |
kopi yang dijemur di Nosu, Mamasa |
saat saya membeli kopi di dekat patung Liberty, New York |
Di desa kecil itu, aku menemukan kontras
kehidupan. Bahwa kebahagiaan dan tawa riang yang hadir di satu tempat
seringkali bermula dari kebaikan dan ketulusan seseorang di tempat lain. Bahwa
simbol-simbol kenikmatan di banyak negara, seringkali bermula dari tangan
dingin seseorang yang sederhana menjalani hari, tangan kasar seseorang yang tak
mendapatkan penghargaan yang layak atas apa yang telah dilakukannya.
Di rumah sederhana itu, Mongge menganyam kehidupan. Ketika hendak beranjak dari rumah itu, aku melihat sebuah foto dirinya
bersama anaknya yang memakai toga wisuda. “Itu anak saya yang lain. Anak
pertama saya adalah kopi, setelah itu anak-anak yang lain. Lihat foto itu. Berkat
kopi, empat anak saya menjadi sarjana,” katanya dengan penuh rasa bangga.
Aku pun ikut bangga bersamanya.
0 komentar:
Posting Komentar