ilustrasi |
DI rak toko buku, aku melihat buku
bertuliskan The Geography of Bliss: Kisah
Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Kebahagiaan. Iseng,
kubeli buku itu dan kubaca di saat senggang. Tadinya kupikir buku itu sama
dengan berbagai buku catatan perjalanan lainnya. Namun setelah membaca beberapa
bagian, aku tak henti bilang “wow” dan terkesan dengan gaya bertutur yang sarat
makna filosofis tersebut.
Buku ini berkisah tentang perjalanan
seorang jurnalis bernama Eric Weiner. Ia tak sekadar menulis catatan
perjalanan. Ia berkeliling dunia dengan membawa satu misi yakni menemukan
definisi bahagia di berbagai tempat. Baginya, konsep bahagia terkait dengan
banyak hal, mulai dari budaya, sosial, serta cara-cara masyarakat memaknainya.
Negara-negara yang dikunjungi adalah Inggris, Swiss, Amerika, Bhutan, Thailand,
Dubai, dan beberapa negara lain. Some of
them are listed as the happiest country in the world, and some of them are at
the least.
Berbeda dengan banyak travel writer, yang kebanyakan menulis tentang wisata dan hal
unik, Eric memiliki misi penting dalam perjalanannya. Ia ingin menemukan konsep
bahagia. Bagi mereka yang belajar antropologi pasti sama paham bahwa satu
hambatan untuk mengetahui ukuran kebahagiaan adalah perbedaan definisi tentang
bahagia itu sendiri. Setiap individu unya definisi bahagia sendiri. Demikian
pula, semua budaya juga punya definisi sendiri, dan belum tentu tentu semua
budaya menghargai kebahagiaan pada tingkat yang sama. Bahagia itu personal.
Namun tetap saja ada hal-hal yang umum
terkait bahagia. Eric menemukan bahwa bagi orang Belanda, kebahagiaan itu
terkait dengan angka-angka. Sementara bagi orang Swiss, kebahagiaan itu terkait
dengan kebosanan, sedang bagi orang Qatar, bahagia itu hadir ketika menang
lotere. Yang menggelikan buat saya, bagi orang Thailand, kebahagiaan itu adalah
ketika kita tidak memikirkan apapun.
Mungkin sebagian kita tak sepakat dengan
penuturannya. Tapi Eric menuliskan refleksinya berdasarkan basis catatan
lapangan yang sangat bagus. Tulisannya
mengalir, dan di beberapa bagian, terdapat dialog-dialog filosofis yang
sesaat membuatku tertegun, dan kemudian melihat ulang dalam diri. Ia menyebut
dirinya seorang penggerutu sebab ia bicara apa adanya, tanpa dilebihkan atau
dikurangkan. Dengan cara demikian, pembacanya bisa mendapatkan gambaran utuh
melalui mata, telinga, otak, dan hati seorang Eric Weiner.
sampul buku |
Bagian yang menurutku paling menarik
adalah ketika ia menelajah Bhutan. Negeri itu memang unik sebab kemajuan negara
tidak dilihat dari Gross National Income, yang patokannya adalah pembangunan
ekonomi, dan tingkat kesejahteraan. Bagi orang Bhutan, hal itu justru tidak
mencerminkan aspek-aspek kemanusiaan. Bhutan menerapkan standar baru yang disebutnya
Gross National Happiness yang meliputi empat aspek yakni: (1) pembangunan
ekonomi dan sosial yang adil, yang tolok ukurnya adalah kesehatan dan
pendidikan yang baik, (2) perlindungan dan promosi budaya, (3) kelestarian
lingkungan, (4) pemerintahan yang baik.
Dalam amatan Eric, orang Bhutan meletakkan
kebahagiaan itu pada kebersamaan, serta konsep hidup yang melihat alam dan
manusia secara seimbang. Mereka tak ingin menjadi mahluk individual. Mereka
ingin hidup secara kolektif, bersama seluruh keluarga, serta selaras dengan
alam. Yup! Ini memang ajaran yang digali dari etika Budhisme. Mereka cerdas
sebab bisa menemukan hal-hal yang dinamik dari dalam budayanya, dan hidup
dnegan cara mereka, tanpa mau mengkuti cara barat.
Seusai membacanya, aku punya kesimpulan sendiri. Bahwa bahagia itu tidak
terletak pada seberapa hebat serta banyaknya materi dan kekayaan yang dimiliki. Toh, mereka
yang berlimpah bisa mengalami kehampaan. Bahagia itu justru terdapat dalam
sumur tenang yang mengalir di dalam diri. Ketika seseorang tidak bahagia, maka berarti seseorang tersebut kurang jauh menggali ke dalam nuraninya. Ia kurang menimba hal-hal yang bisa menghadirkan rasa
senang, lalu melihat kehidupan sebagai arena untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain.
1 komentar:
Bahagia tidak bisa diukur dengan materi..
Salam kenal bung yusran..saya baru ketemu blog ini siang menjelang sore hari ini.
Saya suka dengan penuturan yang jujur dan apa adanya
Posting Komentar