Membaca Teenlit, Memahami Remaja


sampul Incognito

MESKIPUN bukan pembaca novel jenis teenlit, novel populer yang diperuntukkan bagi remaja belasan tahun, aku tiba-tiba saja penasaran membacanya. Hari ini, aku membeli novel berjudul Incognito yang ditulis Windhy Puspitadewi. Aku hanya butuh sekitar dua jam untuk menghabiskannya. Isinya cukup bagus, mudah dipahami, serta berisikan petualangan yang menarik.

Satu yang kusuka dari novel-novel jenis teenlit adalah tema yang diangkat sederhana, serta konfliknya tidak begitu jlimet. Yang dibahas di novel ini adalah perjalanan tiga orang remaja yang kemudian menjelajah waktu. Mereka bertemu Archimedes, Charles Darwin, Mark Twain, hingga Miyamoto Musashi. Kisahnya cukup menarik sebab mereka berusaha untuk bertahan di berbagai zaman, sembari mencari jalan untuk kembali.

Novel ini memang tidak diniatkan untuk sefilosofis novel The Time Machine karya HG Wells. Isinya bisa dikunyah-kunyah sembari menonton tivi. Pembaca tak perlu berkerut. Tak perlu juga untuk terdiam sesaat demi memikirkan pesan-pesannya. Cukup membacanya sampai tuntas. Bagian akhirnya juga datar. Malah, mengingatkanku pada film Back to the Future yang diperankan oleh Michael J Fox.

Dari sisi tokoh dan kejutan, novel ini masih jauh jika dibandingkan dengan petualangan Percy jackson dalam serial Heroes of Olympus yang ditulis Rick Riordan. Novel ini juga tak bisa dibandingkan dengan serial Harry Potter karya JK Rowling. Pada serial Heroes of Olympus dan Harry Potter, imajinasi dan keriangan para remaja bisa menjadi kisah yang mendebarkan bagi segala usia. Mereka yang dewasa pun tiba-tiba saja menjadi pencandu kisah para remaja demi menemukan indahnya imajinasi yang bertualang ke dunia dongeng dan mitos.

Meski demikian, aku cukup mengapresiasi novel ini. Yang kupikirkan seusai membaca buku ini adalah barangkali inilah semesta para remaja kita. Di dalam novel teenlit, kutemukan gaya bertutur, istilah-istilah khas remaja, dan semesta makna yang melingkupi mereka. Sebagai orang yang pernah menjalani remaja, aku serasa terbang ke masa silam, dan merasakan betapa girangnya membaca kisah-kisah imajinatif, sebagaimana novel ini.

Aku juga tersenyum-senyum saat merasakan getar cinta ala remaja. Novel ini sempat memuatku ngakak ketika sang remaja merasa takut menyatakan cinta. Usai tertawa ngakak, aku langsung berkata, “Gue banget!”

Mengapa kita tak punya kisah teenlit sehebat Harry Potter dan Percy Jackson?



0 komentar:

Posting Komentar