DUA minggu lalu, lembaga Oxfam International memintaku untuk berkampanye tentang pentingnya pangan lokal di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tadinya, aku hendak menolak, mengingat bahwa aku sudah cukup lama tidak pernah berorasi di hadapan banyak orang. Namun setelah menimbang pentingnya kegiatan itu, aku langsung mengiyakan.
Bagiku, Kupang bukanlah wilayah yang
asing. Beberapa bulan lalu, Oxfam pernah mengundangku untuk berdiskusi tentang
perubahan iklim. Kesempatan itu kugunakan juga untuk bertemu dengan sejumlah
kawan-kawan aktivis organisasi sosial yang banyak memberikan kontribusi pada
penguatan masyarakat. Kesanku, ada banyak orang hebat di Kupang. Generasi
mudanya sangat antusias untuk berdiskusi dan meng-update pengetahuannya dengan
banyak hal baru.
Jika dulu aku ke sana bersama banyak
sahabat dari berbagai organisasi di Makassar, kali ini aku hanya bersama
Darmawan Dg Nassa, seorang kawan yang menjadi penggiat rumah hijau. Sosoknya
dikenal sebagai pelestari tumbuhan langka serta penggiat pendidikan berbasis
lingkungan di Takalar, Sulsel.
Pangan lokal memang semakin terpinggirkan
di mana-mana. Di Kupang, aku melihat banyak sorgum dan jewawud yang bisa diolah
menjadi pangan. Namun saat kutanyakan pada beberapa penduduk, mereka justru tak
tahu apa itu sorgum. Padahal tanaman itu dengan mudahnya ditemukan di
mana-mana. Buahnya sejenis padi, yang lebih banyak di makan oleh burung. Aku
ingat sahabat Maria Loretha di Adonara yang tekun berkampanye agar warga kembali mengonsumsi
sorgum dan tidak menunggu-nunggu beras dari pulau Jawa.
Bagiku, tanpa kecintaan pada pangan lokal,
mustahil kita berdiskusi tentang ketahanan dan kedaulatan pangan. Logikanya,
tak mungkin orang Kupang dipaksa membudidayakan sesuatu yang justru berjarak
dengan kultur dan geografis wilayahnya. Tak adil jika orang Kupang diwajibkan
makan beras, padahal wilayah itu tak cocok menjadi areal pertanian. Melihat
tanah tandus di situ, aku berpikir bahwa sejak dahulu, ladang telah lama
menjadi sandaran masyarakat untuk menggantungkan hidup. Seharusnya, ladang
kembali difungsikan, demi menjadi sumber pangan bagi warga.
Sayangnya, potret yang kusaksikan di
Kupang adalah keinginan kuat untuk segera memasuki gerbang modernisasi. Kapitalisme
mulai menari-nari di kota itu. Baru masuk Bandara El tari, aku menyaksikan
banyak restoran fast-food, serta jajanan yang tidak sehat. Sebagaimana generasi
lain di berbagai kota, anak muda Kupang sedang gandrung-gandrungnya dnegan
makanan impor.
berbagai pangan lokal di Kupang |
mahasiswa yang ikut berkampanye |
Beberapa anak muda yang kutemui di dekat Biara Souverdi di Oebofu justru merasa malu ketika kuminta menyebutkan pangan lokal. Mereka senyum-senym lalu tertawa ketika menyebutkan ubi, jagung, pisang, ubi kayu, hingga berbagai jenis kacang tanah. Nampaknya, ia merasa minder dengan pangan yang tadi disebutnya. Anak muda itu membawaku pada pemahaman geerasi kini yang cenderung malu dengan tradisi. Mereka tak menyadari bahwa di negeri-negeri barat yang dianggapnya hebat itu, pangan lokal yang dimakannya begitu bernilai.
Ketika membayangkan tema yang akan kubahas
saat orasi, tiba-tiba saja aku tiba pada hasrat untuk bercerita mengenai
pengalaman melihat pangan lokal di negara barat. Aku ingin menggugah kesadaran
bahwa dirinya sedang berpijak di atas surga, yang terdapat banyak makanan
segar, laut biru, serta udara bersih yang justru dianggap mahal di banyak
negara.
Saat orasi nanti, aku akan bercerita
pengalamanku ketika belajar di kelas yang diasuh Jaylynne Hutchnson. Saat itu
aku ditanya tentang makanan yang keren di kampungku. Ketika kusebut hamburger
serta ayam goreng Kentucky Fried Chicken, mahasiswa Amerika melihatku
seperti melihat alien. Mereka heran kenapa makanan sampah itu dianggap sebagai
makanan paling mahal dan berkelas. Padahal, di negeri seperti Amerika, yang
dianggap mahal dan berkelas itu adalah sayuran hijau dan pangan organik yang
dipanen langsung dari kebun, tanpa pestisida.
Beberapa orang di kelas Jaylynne tak
percaya. Mereka lalu bertanya tentang makanan murah dan dianggap tak berkelas.
Ketika kusebutkan bahwa di kampungku ada banyak jenis ikan, termasuk ikan tuna,
mahasiswa Amerika langsung tercengang. Kukatakan bahwa ikan laut justru
dianggap biasa saja di kampungku. Mahasiswa Amerika itu kembali memandangku septi
alien. Bagi mereka, tuna adalah makanan mewah yang hanya bisa dibayangkannya.
***
ANAK-anak muda di Taman Nostalgia, Kupang,
itu menatapku yang telah berdiri di hadapan mereka. Hari itu, aku akan
membawakan orasi kampanye tentang pentingnya pangan lokal. Kutatap satu per
satu wajah mereka. Aku belajar untuk menyerap energi serta rasa ingin tahu yang
terpancar di wajah mereka. Aku lalu membayangkan tentang betapa indahnya zaman
ketika semua orang memakan sesuatu yang ditanam sendiri, diolah, dipetik, dan
dimasak sendiri. Betapa bahagianya para petani lokal ketika semua orang hanya
membeli pangand ari mereka, tanpa tergantung pada petani di belahan dunia sana.
Aku memulai orasi dengan tutur yang pelan,
kemudian menghentak pada bagian akhir. Aku melihat antusiasme yang sangat
tinggi, wajah-wajah yang bersinar-sinar dipenuhi rasa kecintaan pada pangan
lokal, serta kebanggaan bisa berpijak di atas tanah Kupang yang laksana surga
sedang menghampar di muka bumi. Kupaparkan kepada mereka betapa mulia dan
bernilainya tanah yang sedang mereka pijak. Kubuka kesadaran mereka bahwa di
laut bersih yang tak jauh dari situ, tersimpan sedemikian banyak kekayaan tak
ternilai yang seharusnya bisa menjadi sumber pangan.
Gong Perdamaian |
monumen di Taman Nostalgia |
bersama seorang mahasiswi |
Di akhir orasi, tepuk tangan bergemuruh. Aku menutup orasi dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kalian ssetuju bahwa pamgan kita lebih bernilai dari makanan di restroan McD?” Semuanya menjawab “setuju.” Aku lalu menatap mereka satu per satu dengan wajah puas. Satu misi telah ditunaikan. Aku berharap orasi hari itu bisa menginspirasi atau minimal bisa membuat mereka sesaat tertegun dan mulai melihat ulang pentingnya pangan lokal.
Ketika hendak meninggalkan Kupang, aku
didera rasa penasaran untuk mengetahui kesan anak-anak muda itu ketika
mendengar orasiku. Aku ingin tahu seberapa kuat pesan yang ksiampaikan menancap
di benak mereka. Untunglah, seorang sahabat yang bekerja di Oxfam menceritakan
kesan beberapa orang yang hadir kemarin. Ada seorang mahasiswa yang datang dan
bertanya, “Kakak itu selalu khutbah di
gereja mana? Saya suka sekali khutbahnya. Saya ingin hadir di gerejanya.
Pesannya sangat menyentuh hati”
Meskipun aku bukan penganut Kristiani, kalimatnya cukup membuatku senang karena pesan yang kusampaikan telah menembus relung hatinya.
4 komentar:
nancap dihati mas
mantab mas
mantab...
mantab
Posting Komentar