Islam Indonesia di Mata Orang Jepang



KETIMBANG membaca hasil-hasil riset, saya lebih suka membaca perjalanan seorang periset dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ditanamnya sebelum turun lapangan. Bagi saya, riset itu adalah sebuah perjalanan dan petualangan untuk menemukan jawaban atas tanya yang menggumpal. Makanya, tak penting apa yang ditemukan, namun proses menemukan pengetahuan yang jauh lebih menarik.

Tahun lalu, saya membaca pengalaman seorang peneliti Jepang bernama Hisanori Kato yang berusaha memahami Indonesia. Ia menolak tinggal di hotel. Ia justru tinggal di gang-gang, bergaul dengan para tukang becak, makan di warteg, serta naik bus ke mana-mana. Demi memahami Indonesia, ia ikut-ikut jadi pengamen di bus kota demi memahami bagaimana sisi lain masyarakat Indonesia yang hidup di jalan-jalan. Perjalanan itu sangat menarik, dan telah saya tuliskan DI SINI.

Ternyata, Hisanori Kato meminati kajian tentang Islam Indonesia. Ia beberapa kali menulis dalam bahasa Inggris mengenai Islam di Indonesia. Sayang sekali karena saya belum pernah membaca publikasinya dalam bahasa Inggris. Tapi saya cukup senang karena satu bukunya tentang Islam telah terbit dalam bahasa Indonesia. Judulnya adalah Islam di Mata Orang Jepang, yang diterbitkan Kompas tahun 2014.

Bukunya terbilang tipis sebab hanya terbit 176 halaman. Tapi isinya amat memikat buat saya. Kato berkisah tentang bagaimana perjalanannya untuk memahami Islam di Indonesia. Yang menarik, buku ini berkisah tentang wawancara serta kesannya pada berbagai tokoh, yang kemudian menjadi pintu masuk baginya untuk memahami Indonesia. Ia tak hanya bertemu dengan sosok-sosok yang pemikirannya agak liberal, seperti Gus Dur, Ulil Abshar Abdallah, Bismar Siregar, Fadli Zon, hingga Lily Munir, namun juga bertemu dengan tokoh-tokoh yang pemikirannya berbeda seperti Ismail Yusanto, Abubakar Ba’asyir, Eka Jaya.

Melalui perjumpaan dengan banyak tokoh itu, ia belajar banyak tentang Islam, memahami bagaimana Islam dipahami dengan cara berbeda, serta mengalami langsung bagaimana pembumian pemahaman itu dalam kehidupan sehari-hari. Melalui dialog-dialog dengan berbagai banyak pemikiran itu, Kato menata ulang pemahamannya tentang Islam lalu belajar merangkai setiap puzzle pemikiran itu dengan utuh.

Bagi sebagian orang, mungkin buku ini tak menarik, sebab tak menawarkan satu sintesis yang baru. Tapi saya justru menyukainya sebab ia sedang bercerita tentang sudut pandangnya dalam memahami Islam. Sebagai orang Jepang yang beragama Budha, ia menjadikan pengetahuannya itu sebagai titik pijak untuk melakukan dialog dengan berbagai hal baru yang ditemuinya. Dengan demikian, sebagai pembaca, saya menemukan kekhasan cara berpikir, serta sebuah perspektif yang unik dalam memahami keindonesiaan.

Dalam pandangannya, Islam Indonesia amatlah unik sebab merupakan sintesis antara tradisi yang membumi dan nilai-nilai yang datang dari luar. Islam kita adalah hasil dialog panjang antara nilai lokal dan global yang kemudian mempengaruhi corak berpikir masyarakat Indonesia. Perjalanan Islam kita adalah perjalanan untuk membumikan ajaran dan wahyu yang sifatnya normatif, menjadi sesuatu yang sifatnya kontekstual. Pada titik ini, tak ada satu konsepsi tunggal tentang Islam Indonesia. Masing-masing orang dan kelompok menterjemahkan pengetahuan kesialamannya pada format gerakan sosial yang berbeda.

Di akhir buku, saya tiba-tiba saja mengamini pandangan bahwa seringkali kita membutuhkan seorang observer dari luar untuk memahami di mana posisi pijak kita. Sebab jika kita yang menganalisisnya, maka kita hanya menangkap satu keping kenyataan, sebagaimana yang kita ketahui. Pengamat luar memiliki kepekaan yang lebih baik dari kita sendiri.

Yang paling kusukai dari buku ini, perjalanan menemukan jawaban atas tanya yang menggumpal itu ternyata berubah menjadi perjalanan menemukan kemanusiaan. Pada titik ini, Hisanori Kato telah bertransformasi, dari sebelumnya adalah sosiolog yang hendak memahami sesuatu demi keperluan ilmiah, menjadi seorang pencari makna dan hikmah-hikmah di tengah belantara manusia yang beranekaragam pemikirannya. Ia menjadi pencari butiran-butiran makna.




0 komentar:

Posting Komentar