Di Sana Pilpres, di Sini Piala Dunia


bendera Argentina di Mamasa

MEDIA sosial sedang riuh dengan fenomena pemilihan presiden (pilpres). Di banyak grup, perdebatan kian memanas. Semua orang merasa memiliki momen ini. Semua menjadi penganalisis. Ada yang tiba-tiba saja mendadak jadi ekonom, sejarawan, serta ada pula yang menjadi ahli politik. Pilpres ini menjadi milik banyak orang yang hendak berpartisipasi dengan caranya masing-masing. Namun, benarkah semua orang hanya sibuk membahas pilpres tanpa membahas hal lain?

Di satu desa di Pegunungan Mamasa, Sulawesi Barat, aku menyaksikan bendera Argentina, Jerman, Brazil, dan Uruguay. Aku terheran-heran sebab biasanya pilpres amat identik dengan naiknya bendera nasionalisme. Di kota-kota semua orang sibuk bahas pilpres dan tiba-tiba saja dibasahi kecintaan pada tanah air. Lantas, mengapa pula warga desa di pegunungan itu memilih memasang bendera Argentina dan Jerman?

Usut punya usut, ternyata warga kampung lebih menggemari wacana Piala Dunia yang tengah berlangsung. Mereka tak tertarik membahas pilpes. Di satu perkebunan kopi, aku bertemu seorang petani kopi yang sinis dengan wacana pilpres. Katanya, berdebat tentang siapa presiden adalah perdebatan yang menghabiskan energi. Lagian, informasi yang sampai ke daerah-daerah hanya sepenggal. “Daripada kita dibodohi televisi tentang siapa paling bagus jadi presiden, lebih baik kita nonton piala dunia. Itu lebih asyik,” katanya.

Mungkin inilah yang disebut para ahli sebagai dinamika informasi. Masyarakat kita hidup dalam banyak persimpangan dan lorong-lorong. Ada yang tinggal di persimpangan yang penuh lampu-lampu terang, ada pula yang berumah di ujung sebuah lorong yang gelap dan hanya bisa melihat mereka di tempat terang. Televisi adalah satu-satunya instrumen yang bisa menjangkau mereka yang tinggal di lorong tersebut.

bendera Jerman dan Uruguay

Namun, televisi tidak selalu bisa mempengaruhi mereka. Biarpun televisi sering memaksakan satu pilihan, namun dalam banyak kasus, televisi justru menyodorkan banyak pilihan. Nah, ketika disuruh memilih piala dunia ataukah wacana pilpres, warga kampung dengan cerdasnya memilih piala dunia. Mereka menolak wacana yang diusung para elite di Jakarta. Mereka memilih sesuatu yang menghibur, melibatkan diri dalam satu ikatan emosional dengan satu kesebelasan di belahan bumi lain, serta meleburkan dirinya dalam ajang perhelatan bola terbesar setiap empat tahun sekali.

Sepakbola menyediakan ruang-ruang untuk resisten atau melawan atas wacana dominan. Biarpun stasiun televisi nonstop informasi tentang pentingnya pilpres, akan tetapi pilihan akhir tetap di tangan khalayak. Masyarakat bisa menampik. Mereka bisa bilang “cuh”, lalu memilih untuk setia pada piala dunia. Mereka menegaskan dirinya sebagai manusia independen yag punya hak untuk memilih.

Di Mamasa, aku belajar banyak. Tentang media, pilihan bebas, serta bagaimana respon masyarakat atas informasi media yang laksana peluru hendak membobardir mereka, namun selalu ada respon dan perlawanan dengan cara yang unik. Piala Dunia adalah jawabannya!



0 komentar:

Posting Komentar