Pramoedya Ananta Toer |
HARI ini adalah tepat delapan tahun
sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer yang meninggal dunia pada 30 April 2006
lalu. Aku mengenang kepergian pengarang paling besar yang pernah dilahirkan di
negeri ini. Ia tak hanya mewariskan karya-kaya yang menjadi puncak pencapaian
tertinggi dalam sejarah sastra Indonesia. Ia juga mewariskan tafsir ulang pada
sejarah Indonesia, yang diharapkan bisa menjadi cahaya terang bagi perjalanan
menggapai masa depan.
Takdir Pramoedya adalah takdir yang penuh
kontroversi. Ia pernah menjadi pengarang yang paling dibenci penguasa di tanah
air. Akan tetapi di luar negeri, ia dikagumi banyak orang. Karya-karyanya
direkomendasikan sebagai karya wajib bagi siapapun yang hendak mengkaji
Indonesia pada periode kebangkitan. Karyanya tak hanya menyediakan data
sejarah, namun juga suasana kebatinan serta rasa hayat sejarah yang dirasakan
oleh pelaku sejarah, atau orang-orang yang hidup pada masa itu.
Setiap kali mengenang Pramoedya, setiap
kali pula aku mengenang impianku yang gagal tercapai. Dahulu, aku punya impian
untuk makan malam lalu berbincang-bincang dengannya. Beberapa kali teman di
kampus UI mengajakku ke rumahnya. Entah kenapa, aku selalu menolaknya karena
sedang ada urusan penting. Hingga suatu hari, aku menerima berita duka tentangnya. Dan impianku tak akan tercapai.
Yah, apa boleh buat. Jalan takdir
seringkali tak bisa ditebak. Pramoedya telah lama berpulang. Aku hanya bisa
menundukkan kepala demi dirinya. Barangkali aku mesti mengatur jadwal untuk
mengunjungi peristirahatan terakhirnya di Pekuburan Karet sana. Aku ingin
menghayati setiap bait kemanusiaan yang ditulis dengan indah dalam karyanya.
Selamat jalan Pram.
0 komentar:
Posting Komentar