Pesona Papua di Indonesian Idol


saat Nowela bernyanyi (foto: tribunnews.com)

DI ajang Indonesian Idol, pesona seorang perempuan Papua telah menyengat tanah air Indonesia. Perempuan itu menjadi magnet yang menawan hati banyak orang ketika berani membawakan lirik berbahasa Papua di ajang pencarian bakat bermusik paling spektakuler itu. Maka Indonesian Idol menjadi panggung untuk meneriakkan eksotika tanah Papua. Perempuan itu adalah Nowela Mikhaela Elizabeth Auparay.

***

“Kaka... Tidak lama lagi Nowela akan tampil. Kaka harus lihat pesona Papua.”

Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Pengirim pesan itu adalah Albert Komboy, seorang pemuda Papua yang tinggal di di Kaimana, Papua. Aku bukan penggemar acara Indonesian Idol. Namun pesan yang disampaikan dari tepi laut biru dengan pemandangan sunset terindah di dunia itu membuatku sedemikian penasaran.

Aku akhirnya menyaksikan penampilan Nowela. Melalui layar televisi, aku melihat tayangan warga Papua yang memenuhi studio. Mereka berteriak-teriak menyebut nama Papua. Di berbagai jejaring sosial, nama Nowela digemakan sebagai ikon kawasan timur. Ia dianggap sebagai representasi kawasan timur di layar televisi yang lebih banyak menampilkan wajah-wajah putih keturunan Eropa atau Asia Timur.

Beberapa malam lalu, Nowela tampil menyanyikan lagu Sang Dewi, yang dipopulerkan Titi Dj. Sebagaimana biasa, ia kembali membuat semua juri terkesan. Salah satu juri, Titi Dj memberikan standing applause untuknya. Namun aku paling terkesan dengan penampilannya tiga minggu lalu saat ia menyanyikan lagu Let It Go, yang merupakan soundtrack film Frozen.

Saat itu, kupikir ia akan menyanyi sebagaimana Demi Lovato, penyanyi aslinya. Ternyata tidak. Ia mulai lagunya dengan berteriak nyaring dalam bahasa yang baru pertama kudengar. Setelah itu, gendang ditabuh. Ada suara-suara yang mengingatkanku pada lagu Circle of Life dalam film Lion King yang menggambarkan rimba Afrika dengan hutan-hutan lebat. Seorang teman berbisik bahwa ia telah menambahkan lirik berbahasa Papua dalam lagu itu. Pantesan, bahasanya agak asing di telingaku.

Mendengar lagunya, pikiranku terbawa ke tanah Papua. Aku membayangkan pepohonan lebat dengan dahan yang menjulang tinggi ke angkasa. Aku membayangkan rimba raya yang dilalui kasuari serta burung cenderawasih. Aku membayangkan alam liar Papua yang begitu diidamkan oleh semua penjelajah dan penikmat bumi yang perawan. Sayang, sebuah perusahaan besar berbendera negara asing tengah mengeruk bumi Papua yang amat indah itu.

“Akhirnya, ada juga orang Papua di tivi kita,” canda Albert melalui ponsel. Aku tercenung memikirkannya. Ia benar. Televisi kita memang lebih banyak menampilkan sinetron tentang sosok-sosok berkulit putih dan terang. Di berbagai acara sinetron di televisi kita, wajah yang tampil adalah wajah yang itu-itu saja. Kalau bukan oriental khas Asia Timur, wajah yang sering muncul adalah peranakan Eropa.

Dalam hal selera, bangsa kita adalah bangsa yang terbelah. Di satu sisi, kita berulang-ulang menyebut kecintaan pada tanah air, namun di sisi lain kita justru seringkali lebih menaruh kekaguman pada mereka yang berwajah khas bangsa lain. Entah, apakah pemikiran kita adalah warisan dari penjajahan bangsa asing yang berlangsung sedemikian lama ataukah tidak. Yang pasti, jejak-jejak yang mengagungkan wajah khas asing itu masih bisa ditemukan dengan jelas di mana-mana.

Namun di tengah penyeragaman selera dan pengidolaan wajah khas asing itu, ada saja sejumlah warga kawasan timur Indonesia yang tampil di televisi dan secara konsisten membantu kita untuk menautkan mozaik keindonesiaan. Sepanjang ingatanku, di masa Orde Baru, wajah yang sering tampil di televisi adalah Luther Kalasuat. Ia menjadi salah satu presenter berita di TVRI.

Setelah era Luther Kalasuat, selanjutnya adalah era Edo Kondologit. Pemuda asal Sorong ini pertama muncul dari ajang pencarian bakat bermusik Asia Bagus. Meskipun ia tak juara di ajang ini, ia akhirnya sukses melenggang ke Jakarta sebagai seorang penyanyi dengan suara unik dan menggetarkan. Kemunculan Edo menjadi ikon bagi tanah Papua dan kawasan timur lainnya yang sukses wara-wiri di berbagai stasiun televisi kita.

aksi panggung Nowela (foto: merdeka.com)

Meski tak banyak, beberapa talenta dengan kemampuan seni asal kawasan timur mulai merambah stasiun tivi di dekade kekinian. Arie Kriting, pemuda asal Pulau Buton, telah lebih dulu menjadi ikon timur di ajang Stand Up Comedy yang tampil di satu stasiun televisi. Ia juga sukses bermain film Comic 8, yang kemudian melambungkan candaan khas orang timur.  Selain Arie, ada pula sosok Albert Fakdawer dan Minus Karoba yang bermain dalam film Denias, juga ada Michael yang pernah menjajal Indonesian Idol.

Melengkapi kesuksesan mereka, Nowela hadir di acara Indonesian Idol. Kehadirannya menjadi pertanda di ruang hati banyak orang bahwa sesungguhnya ada bakat-bakat hebat dalam bidang seni di belahan timur Indonesia. Bahwa kawasan timur tidak hanya menyimpan talenta hebat dalam sepakbola, sebagaimana ditunjukkan oleh Boaz Salossa atau Patrich Wanggai.

Mozaik Keindonesiaan

Pesan yang disampaikan Albert Komboy tentang jarangnya warga Papua tampil di televisi membuatku tercenung. Hari-hari kita dijejali oleh tayangan yang tidak berkualitas dan mendidik. Televisi kita gagal pula menyuguhkan mozaik keindonesiaan kita yang sedemikian luas dan kaya. Aku teringat pada berita bahwa warga di perbatasan Kalimantan lebih menggemari tayangan televisi Malaysia ketimbang televisi Indonesia. Mengapa?

Sebab mereka menemukan representasi dirinya di televisi Malaysia itu. Mereka menemukan para aktor dan aktris yang berbicara dengan logat sehari-hari mereka, yang membahas problem-problem kecil yang sehari-hari mereka hadapi. Sementara tivi kita sibuk memberitakan politik dan isu-isu yang hadir di Jakarta, Jawa, dan Bali. Media kita amat jarang melirik ke timur, di kawasan-kawasan yang sedemikian eksotik dan seyogyanya mendapat porsi pemberitaan yang seimbang.

“Kaka harus tahu kalau ada banyak emas di Papua. Tidak hanya di Freeport, tapi juga di Indonesian Idol,” kata Albert melalui SMS yang dikirimkannya. Ia benar. Kita memang jarang melirik ke timur. Padahal, ada banyak talenta hebat yang serupa mutiara di tepi laut Yapen Waropen. Emas tak akan pernah berkilau jika tak ditempa dengan teknik dan cara yang benar.

Jika hari ini talenta Nowela, seorang perempuan asal Suku Arnus, kian cemerlang bersinar, maka itu menjadi cerminan dari bakat-bakat terpendam di kawasan timur yang harusnya diangkat ke permukaan demi merepresentasikan identitas keindonesiaan yang sedemikian beragam dan kaya-raya. Semoga hadirnya Nowela tak hanya memantik kebanggaan pada tanah Papua, namun juga tanah air Indonesia yang kecintaan atasnya mengalir dalam nadi setiap nadi anak bangsa.



0 komentar:

Posting Komentar