DI kampus
Universitas Indonesia (UI) Depok, aku melihat pohon besar berdiri kokoh di
depan rektorat. Konon, pohon itu berasal dari Afrika, dan telah beberapa tahun
ditanam di Subang, Jawa Barat. Setiap unsur dari pohon itu bisa dimanfaatkan
oleh manusia, baik akar, batang, daun, dan buah. Ketika kurenungi, pohon itu
adalah simbol dari falsafah kehidupan. Semakin
kamu berguna, semakin kamu disayangi.
Pohon itu
disebut pohon baobab, yang merupakan nama genus Adansonia. Pohon ini menyimpan air di dalam batangnya, dengan
kapasitas diatas 120.00 liter untuk bertahan dalam kondisi lingkungan sekitarnya.
Batangnya bisa diolah seperti sagu. Daunnya bisa dimakan sebagai lalapan.
Buahnya manis dan menyegarkan.
Pohon itu ditanam di sisi kanan dan
sisi kiri Rektorat UI di kampus Depok. Pohon ini merupakan hibah dari Pabrik
Gula Rajawali II dan PT Sang Hyang Sri (Persero) untuk UI dalam rangka
konservasi. Menurut satu sumber, pohon ini adalah sebuah pohon yang sangat
langka yang usianya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Saat ini
pohon-pohon yang dipindahkan ke UI usianya di atas 100 tahun.
Di Afrika, pohon itu sering disebut pohon
kehidupan, mengingat usianya yang sangat tua. Bisa jadi, pohon ini menjadi
saksi dari silih bergantinya kehidupan, pasang surut dinamika manusia menemukan
dirinya, hingga bagaimana satu kehidupan hadir dan menggantikan kehidupan lain.
Alam semesta laksana sebuah siklus atau daur yang terus melingkar dan tak
berkesudahan.
Pohon itu mengingatkanku tentang banyak
hal. Bahwa kehidupan ini tidaklah sepanjang usia pohon itu. Hanya mereka yang
berguna bagi sesamanyalah yang kelak akan bertahan melintasi waktu. Mereka yang
berguna itu bisa punah, namun nama baik serta karyanya akan terus diawetkan,
dilestarikan, dan dijadikan pelajaran bagi generasi mendatang.
Ketika memotret pohon itu, ada kata tanya yang tiba-tiba menusuk batinku. “Apakah diriku akan seberguna pohon itu sehingga
ditanam di mana-mana dan dilestarikan?” Entahlah. Aku sendiri ragu. Namun aku tak ingin menanam ambisi terlampau dalam. Aku tak mimpi mewariskan banyak jejak di belantara peradaban. Aku hanya ingin berguna di lingkup kecil. Minimal di keluarga kecilku. Minimal aku bisa menghadirkan senyum bahagia serta cinta di wajah Ara, kekasih hatiku, yang saat ini selalu bahagia ketika melihatku datang lalu berteriak "Ayaahhh!!!"
0 komentar:
Posting Komentar