Jusuf Kalla (foto: new.uai.ac.id) |
DARI sekian banyak politisi tanah air yang bertarung di kancah
kepresidenan, Jusuf Kalla adalah satu dari sedikit politisi yang paling pandai
membaca peta politik lalu menempatkan dirinya pada posisi paling strategis. Di
ajang pemilihan umum (pemilu) kali ini, ia telah didekati beberapa calon
presiden (capres). Ke manakah gerangan ia berlabuh? Inilah kisah terbaru
tentang beliau.
HARI itu, di akhir tahun 2003, aku ikut
dalam obrolan di satu ruangan kecil di sebuah showroom mobil di Makassar. Bersama beberapa sahabat jurnalis dan politisi,
kami sama-sama bercerita tentang pemilihan umum (pemilu) yang akan berlangsung
setahun berikutnya. Diskusi kami ngalor-ngidul
dan tak jelas arahnya. Kami sama-sama tak bisa menebak seperti apa pemilu
mendatang, serta siapa yang akan memenangkan kursi presiden.
Di tengah kebuntuan diskusi, pintu ruangan
itu tiba-tiba berderit. Masuklah beberapa orang yang kemudian ikut bergabung
dengan kami. Seorang di antaranya adalah Jusuf Kalla, mantan Menko Kesra. Pada
saat itu, ia didampingi Aksa Mahmud, pemilik grup Bosowa, yang juga menjadi
bos dari perusahaan media tempatku bekerja. Kami memang sengaja menunggu Pak JK
untuk diskusi dengan tema-tema politik. Di tengah kesibukannya, ia mau saja
datang demi berbagi ilmu.
Obrolan dikemas dalam suasana santai dan
penuh canda. Pak JK mengambil spidol dan mencoret-coret di papan. Pemilu masih
setahun. Tapi ia sudah tahu partai apa yang akan memenangkan pemilu.. Saat itu,
ia adalah peserta konvensi Partai Golkar untuk memilih calon presiden. Namun,
ia sudah yakin kalau dia tak akan terpilih.
Sebagaimana lazimnya pertandingan, sebuah
prediksi hanyalah penghampiran dan jelas bukanlah kemutlakan sebab politik
Indonesia laksana pertandingan yang sukar dibaca hasil akhirnya. Saat itu, aku tetap
mencatat semua nujuman JK tersebut. Ia menebak lima besar hasil pemilu serta
peluangnya sendiri ketika berpasangan dengan seorang calon presiden. Dengan
nada bergurau, ia menantang semua yang menghadiri diskusi itu dengan kalimat, “Lihat setahun lagi. Apakah tebakan ini
tepat ataukah tidak.“
Usai pemilu di tahun 2004, aku tersentak
sebab tebakan tersebut tak meleset sama sekali. Bahkan, usai pemilihan
presiden, lagi-lagi langkahnya tepat dan sesuai dengan prediksinya sendiri
setahun sebelumnya.
Sebagaimana dikatakan banyak pengamat, JK
adalah politisi yang unik sebab bisa mengkalkulasi sebuah peta politik yang
berlangsung. Pengalamannya sebagai saudagar, telah menempanya dengan baik
sehingga prediksi dan analisisnya punya presisi (ketepatan) yang tinggi
ketimbang para pengamat politik yang kadang terlampau akademis dan mendewakan
beragam survei. Kalkulasinya terukur dan langsung bisa menebak fenomena
keakanan hanya dengan mengamati sekeping realitas kekinian.
Makanya, menafsir langkah JK laksana
menafsir sebuah pertandingan yang dinamis dengan hasil yang sukar ditebak.
Sebagaimana dicatat antropolog Christian Pelras, sosok JK adalah prasasti hidup
dari dinamika manusia Bugis yang unik dan melanglangbuana ke beragam penjuru.
Ia bukanlah tipe pemain politik yang diam, efisien, dan taat asas dalam
dinamika politik. Ia lincah dan menerabas sana-sini, suatu kemampuan yang tak
terlalu disenangi mereka yang mendambakan politik sebagai mesin yang berjalan
rapi dan teratur dengan pola tertentu.
Sayang, duetnya dengan SBY tidak
berlanjut. Meskipun akhirnya maju dalam pemilihan presiden di tahun 2009, ia
sudah tahu kalau kansnya sangat kecil. Hitung-hitungannya kembali memang tidak
keliru. Tetapi ia ingin menjaga sesuatu yang lebih besar, mulai dari soliditas
partainya hingga marwah atau wibawa partainya.
Seorang sahabat di lingkaran Pak JK
menuturkan kalau yang tak menginginkan Pak JK adalah Ibu Ani. Kubu Pak SBY
mengkhawatirkan popularitas Pak JK yang akan terus meroket. Selain itu, kubu
Pak SBY justru mempersiapkan Ibu Ani untuk memenangkan pemilu di tahun 2014. Jika
Ibu Ani tak diterima publik, maka akan ada anggota keluarga lain yang akan bisa
memantik simpati publik. Ternyata, hitung-hitungan kubu SBY tak satupun yang
sesuai prediksi. Malah, setelah turun dari kursi kepresidenan, SBY terancam
akan terjerat oleh banyak kasus.
***
HARI itu, di tahun 2011, rumah Pak JK di
Pondok Indah kebanjiran tamu. Ia mengundang banyak orang untuk hadir di acara
berbuka puasa. Aku datang dan melihat ada banyak tokoh di situ. Di antaranya
adalah Anwar Nasution (mantan Gubernur BI), Aksa Mahmud, Sofjan Wanandi, Anies
Baswedan, Mahfud MD, Ferry Mursyidan Baldan, Effendi Gazali, Quraish Shihab,
Akbar Faizal, Yudi Latif. Aku juga sempat melihat Ippank Wahid, seorang
konsultan politik ternama. Aku sendiri hadir untuk menemani seorang teman yang
naksir pada Chaerani, putri bungsu Pak JK.
Seusai buka puasa dan salat magrib, Pak JK
lalu bercerita bahwa dirinya kerap diminta Pak SBY untuk menyelesaikan konflik
di beberapa daerah. Beberapa orang yang hadir langsung memprotes. Saat itu,
Anies Baswedan beberapa kali mengingatkan Pak JK untuk tak menghadirinya. Ia
tak ingin Pak JK menjadi bagian dari permasalahan yang sedang disulut oleh
pemerintahan SBY-Boediono. Di tengah protes dan komentar itu, Pak JK tiba-tiba
mengeluarkan kalimat yang membekas di pikiranku. “Selagi bangsa ini membutuhkan saya, maka saya tak mungkin menolak,”
katanya.
Kulihat Pak JK ingin menunjukkan kepada
banyak orang bahwa meskipun pilihan politik berbeda, namun kecintaan pada
negara harus tetap dijaga. Ketika negara memanggil, ia akan tetap datang.
Terbukti, ia tak pernah menolak panggilan Pak SBY untuk diskusi tentang
penanganan konflik, meskipun rekomendasi Pak JK lebih sering diabaikan Pak SBY.
Jusuf Kalla di acara PMI (foto: kompas.com) |
JK memang tak pernah menghilang dari
lapangan pengabdian. Ia memimpin Palang Merah Indonesia (PMI) yang selalu hadir
di tengah bencana. Ia juga tak pernah memerintahkan anggotanya memosting apa
yang dilakukan lembaganya di media sosial. Ia juga memimpin Dewan Masjid
Indonesia (DMI) yang aktif untuk menggalang dana perbaikan beberapa masjid. Ia
juga masuk ke detail-detail, seperti renovasi masjid, hingga sound system masjid yang katanya sering
membuat jamaah tak bisa mendengarkan suara khatib. Tak hanya itu, ia juga
memboyong Jokowi dari Solo ke Jakarta demi menjawab tantangan yang lebih besar.
Ia menunjukkan bahwa kerja-kerja keras
membangun bangsa bisa dilakukan dari mana-mana. Pengaamannya menebar damai tak
hanya diterapkan di tanah air, ia pun memberikan kontribusi di Rohingya,
Myanmar. Ia pun dundang ke berbagai
negara demi membagikan pengalamannya sebagai juru damai.
Seusai bercerita tentang kesediaannya
untuk hadir memenuhi undangan Pak SBY, diskusi lalu mengalir, sebagaimana
biasa. Kembali, Anies Baswedan menyebut tentang janji kemerdekaan yang harus
ditunaikan. Ia lalu meminta Pak JK untuk mempertimbangkan dengan serius jika
ada anak bangsa yang memintanya menjadi calon presiden. Anies punya pernyataan
menarik tentang usia sepuh yang sering digunakan sebagai jurus serangan pada
Pak JK. “Usia itu tidak dilihat dari
seberapa lama seseorang menjalani hidup. Namun seberapa segar dan progresif
idenya untuk bangsa ini,” katanya.
***
DUA hari lalu, aku sedang minum kopi
bersama seorang staf pribadi Pak JK di dekat Sarinah, Jakarta. Kami sama-sama
membahas peta politik yang terus berubah. Pemilu telah usai. Peta koalisi mulai
terbuka. Kami juga membahas tentang para pengamat politik yang seolah lebih
pandai dari para politisi. Kami jarang menemukan pengamat yang netral. Semua
bekerja berdasarkan pesanan pemberi order, lalu berusaha mengarahkan peta-peta
koalisi capres. Namun, saat bahas posisi JK, kami sama terdiam. Entah ke mana
gerangan ia akan berlabuh, yang pasti ia akan menjawab panggilan berbakti pada
negara, di lapangan apapun.
Kring...
Kring... Kring ...
Telepon kawanku berbunyi. Mulanya ia
serius. Beberapa detik berikutnya, wajahnya seketika cerah. Ketika menutup
telepon, ia lalu berkata dengan suara pelan, “Jokowi telah menemui Pak JK. Ia
membawa mandat Ibu Mega sebagai capres. Ia berharap Pak JK bersedia
mendampinginya sebagai cawapres.”
Hah?
0 komentar:
Posting Komentar