manusia gerobak |
DI balik gegap gempita dan janji-janji
selangit tentang membantu rakyat kecil yang kadang diteriakkan di gedung mewah
atau di atas kuda seharga tiga miliar rupiah, ada sejumlah orang yang justru
bertahan dan bertarung dengan penuh harga diri. Mereka bukanlah pemilik kendaraan
mewah yang suka berjanji itu. Mereka adalah rakyat biasa yang menjalani hidup
dengan kerja keras dan penuh dedikasi. Lewat bahasa sederhana, mereka
mengolok-olok politisi yang sibuk mencari kursi dan kuasa.
***
TAK jauh dari baliho besar bergambar
garudan dan wajah seorang presiden, lelaki itu tertidur di atas gerobaknya.
Pukul 10.00 pagi, lelaki kurus itu masih saja tidur, padahal di kiri kanannya,
kenderaan lalu lalang. Di saat orang-orang juga berbondong-bondong menuju
tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan hak pilih, ia tetap terlelap.
Di dekat kompleks apartemen di Kalibata,
aku menyaksikan lelaki di atas gerobak itu. Ketika aku mendekati gerobaknya,
aku melihat barang bekas, di antaranya gelas plastik, aneka botol bir, serta
banyak kantung plastik bertebaran. Lelaki itu tiba-tiba saja membuka mata.
Melihatku, ia tersenyum, lalu tiba-tiba berkata dengan suara pelan, “Mas gak pergi nyoblos?” Entah kenapa,
hatiku tiba-tiba dibasahi oleh keharuan mengingat betapa dirinya mengingat
kewajiban semua warga negara, padahal negara itu sering mengabaikan rakyatnya.
Hampir setiap hari, aku melihat lelaki itu
di sekitar tempatku bermalam. Kadang ia tidur di bawah baliho seorang presiden yang
saban hari selalu berteriak tentang kesejahteraan rakyat kecil sambil
mengepalkan tangan di atas kuda seharga 3 miliar rupiah. Sering pula lelaki itu
membawa gerobaknya dan parkir di bawah baliho calon pemimpin berlatar pengusaha
besar yang memiliki gedung-gedung pencakar langit. Kadang pula ia duduk di tengah bawang-barang
bekas yang dikumpulkannya sambil memperhatikan gambar seorang kepala daerah
yang dicitrakan sederhana.
Namanya Poniman. Usianya 70 tahun. Orang-orang
menyebut profesinya sebagai manusia gerobak. Ia menjalani hari di atas gerobak
itu. Ia bangun, berjalan, mencari nafkah, hingga tidur di atas gerobak itu. Ia
serupa keong yang ke mana-mana membawa gerobaknya. Tapi ia menolak disebut
pengemis. Ia bekerja dengan penuh dedikasi demi mengumpulkan barang bekas, lalu
menjualnya kepada para pengumpul.
Di gerobak itu pula, ia membawa tas ransel
kumal yang isinya adalah seluruh benda kepunyaannya. Aku melihat kantong hitam
yang isinya baju kumal dan handuk lusuh. Jangan terkejut. Ia tak punya rumah.
Ia tinggal di gerobak itu dan setiap hari berkelana demi menghindari kejaran
petugas yang menganggapnya seperti sampah di jalan raya.
Ia berkelana seorang diri. Namun beberapa
manusia gerobak lainnya justru adalah keluarga. Ayah, ibu, dan anak sama-sama
tinggal di gerobak tua itu. Mereka hidup, mencari makan, dan istirahat di
gerobak tersebut. Mereka meletakkan semua ‘harta’ dan hasil jerih payahnya di
gerobak itu. Bagi mereka, kosa kata hidup adalah berpindah-pindah demi
mengais-ngais rezeki di jalan-jalan kota Jakarta.
Mulanya ia tinggal di lapak kumuh di dekat
pembuangan sampah. Namun, hidup di lapak itu sungguh tak nyaman baginya. Setiap
saat ia harus siaga dan melarikan diri ketika aparat datang untuk
‘menggaruknya.’ Ia dianggap sampah yang mengotori jalan-jalan. Ia dianggap
wajib dienyahkan. Keberadaannya mengotori wajah kota yang mestinya nampak kaya
dan teratur sebagaimana kota-kota di Eropa. Maka berkelanalah dirinya. Ia hidup
berpindah dan sesekali berkelahi dengan nasib yang seolah hendak menyingkirkannya
dari kota.
***
HARI ini, jalanan lengang. Poniman memilih
tak mencoblos. Ketika kutanya, ia langsung terkekeh. Ia megaku tak punya KTP,
kartu keluarga, atau kartu identitas yang bisa menjadi prasyarat agar dirinya
bisa mencoblos. Ia memilih bertahan di gerobaknya sembari menyaksikan mereka
yang baru saja pulang mencoblos.
“Siapa presiden yang kamu suka?” tanyaku“Tak satupun. Semuanya sama-sama mau cari kuasa. Kalau udah di atas, pasti lupa sama kita-kita.”“Tapi kan bapak bisa memilih yang kelak akan membantu bapak mendapatkan kehidupan layak,” kataku dengan sok bijak.“Layak? Hmm... Justru saya sedang hidup layak. Saya bebas ke mana-mana. Mereka yang hidup tak layak. Mereka tak sebebas saya karena harus mikir uang miliaran, mikir bini di apartemen sono, hingga mikir nama baik. Saya mah bebas. Hahaha.”
Ia lama terkekeh. Ia lalu menengok ke
baliho seorang calon presiden yang menyebut tentang kemandirian bangsa. Ternyata
rakyat seperti dirinya justru punya kemandirian hebat untuk terus bertahan. Di
tengah janji para capres yang serba harum itu, ia sedang bertarung dengan
nasib, tanpa menitip banyak harapan.
Apa yang bapak inginkan? Ia terdiam.
Keinginannya hanya satu. Ia berharap ketika aparat keamanan datang, ia bisa
segera pindah ke tempat aman. Di dalam dirinya kulihat kebebasan. Jika manusia
lain selalu kembali di rumah yang ukurannya sekian kali sekian meter, Poniman
bisa tidur di semua sudut jalan Jakarta. Ia bebas memilih hendak istirahat di
manapun. Boleh jadi, ia pernah tidur di jalan raya depan hotel mewah yang
pernah Anda tiduri. Boleh jadi ia pernah mengais sampah makanan yang pernah
Anda buang di jalan raya. Ia adalah manusia bebas. Bebas tidur di manapun.
Bebas makan apapun.
Poniman di dalam gerobaknya |
Hebatnya, lelaki di hadapanku ini tak
pernah sedikitpun memberi iming-iming janji. Ia juga tidak terjebak pada materi
ataupun penampakan lahiriah. Ia tak peduli dengan janji-janji para lelaki
berjas yang katanya hendak membantu orang-orang sepertinya. Ia hanya peduli
pada gelas plastik bekas yang berserakan di jalan. Dalam sehari, ia bisa
mendapatkan penghasilan hingga sepuluh ribu rupiah, sebuah jumlah yang hanya
cukup untuk makan.
Melihat Poniman, aku dicekam kesedihan.
Setelah puluhan tahun republik ini merdeka, namun pria seperti Poniman tetap
saja menjamur di kota-kota. Telah beberapa kali presiden berganti, namun
kemiskinan pria seperti Poniman menjadi realitas yang selalu hadir di
mana-mana. Ada banyak politisi dan kandidat presiden yang balihonya memenuhi
jalan-jalan. Ada banyak janji yang terucap di setiap lima tahun.
Tapi manusia-manusia seperti Poniman terus
bertambah. Mereka adalah potret buram negeri yang para elite politiknya adalah
mereka yang rela menghabiskan miliaran uang demi iklan televisi. Politisinya
adalah para koruptor yang pandai berkongkalikong dengan sesamanya, menguras
uang rakyat, lalu berpindah-pindah dengan kendaraan mewah berharga miliaran
rupiah, kemudian tidur di atas kasur empuk di rumah-rumah yang serupa
istana.
Di tengah bombardiran janji politisi,
Poniman justru kuat menjalani hari-harinya. Ia tetap bekerja dengan segala
energi terbaik, demi memastikan dirinya tetap melihat matahari. Ia menganyam
impian dari gerobak tua itu. Tapi ia bekerja keras dan bertindak jujur dalam
setiap harinya. Ia tak pernah memberi janji, tapi selalu berusaha menyenangkan
semua orang. Di tepi apartemen itu, ia tak pernah lelah tersenyum dan
bersahabat dengan siapa saja.
Tanah air kita menyimpan banyak sosok
hebat sebagaimana dirinya. Sayang, mata kita sering hanya terpaku pada mereka
yang menjalani hari di dalam mobil mewah, atau di atas kuda-kuda mahal. Jika
sejenak melihat ke bawah, menyaksikan denyut nadi lelaki seperti Poniman,
barangkali kita akan sama sadar bahwa negeri ini tak pernah ekurangan harapan.
Bahwa negeri ini selalu punya kekuatan yang terletak pada keberanian dan daya
tahan warganya menghadapi kehidupan yang kian lama kian sulit.(*)
0 komentar:
Posting Komentar