bersama Noverius Nggili (Frits) yang memakai baju merah |
SETAHUN silam, aku menghadiri pertemuan yang digagas Oxfam, bertemakan
Jaringan Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Timur Indonesia. Tak kusangka,
pertemuan yang hanya digagas selama tiga hari itu justru telah menginspirasiku
selama hampir setahun. Pertemuan itu menjadi embun yang membasahi rasa dahaga
akan kekuatan masyarakat untuk menemu-kenali masalah, sekaligus menemukan
solusi yang digali dari segenap khasanah kearifan lokal.
SENYUM lebar
langsung nampak di wajah pria itu ketika sejumlah masyarakat datang berkunjung
ke rumahnya, setahun silam. Di rumah, yang kerap disebutnya sebagai markas, ia
menanti bersama sejumlah anak muda yang tergabung dalam Geng Motor Imut.
Mulanya aku heran mendengar kata ‘imut’ sebab mengesankan kalau geng itu
beranggotakan gadis-gadis ABG. Ternyata Imut adalah singkatan dari Aliansi
Masyarakat Peduli Ternak.
Lelaki itu
bernama Noverius Nggili. Ia kerap dipanggil Frits. Ketika kutemui, ia
menunjukkan upayanya untuk berkeliling ke desa-desa di sekitar Kupang,
berdiskusi dengan masyarakat desa, lalu sama-sama menemukan solusi demi
mengatasi masalah ternak. Ia memang inspiratif. Pantas saja jika ia mendapat
banyak penghargaan atas dedikasinya untuk belajar dan bekerja dengan
masyarakat.
Setahun silam,
ia bercerita tentang sesuatu yang terus terngiang-ngiang di telingaku. Ia
berkata bahwa ia tengah mengumpulkan berbagai pengetahuan lokal yang dahulu
snagat efektif untuk mengatasi beberapa penyakit ternak. “Saya sering heran. Peternakan ini kan ilmu tua. Tentunya, masyarakat
kita sudah lama punya solusi untuk mengatasi berbagai penyakit pada sapi.
Sayangnya, kita sering mengabaikan solusi tersebut karena menganggapnya tidak
modern,” katanya.
Frits
mencontohkan tentang sakit mata yang kerap menimpa sapi di Flores. Katanya,
masyarakat setempat memiliki cara pengobatannya yaitu dengan mengoleskan getah
kayu tertentu, yang ternyata jauh lebih efektif daripada obat medis yang
diberikan oleh dokter hewan. “Pertanyaannya, mengapa kita mengabaikan kearifan
yang selama ratusan tahun telah memberikan jawaban atas msalah yang dihadapi
rakyat kita?” tanyanya.
Pada acara yang
digelar oleh Oxfam, kalimat-kalimat yang dibisikkan Frits tetap membekas hingga
kini. Bagiku, Frits sedang berbicara tetang sesuatu yang nampak sepele, namun
sesungguhnya hendak menjawab berbagai isu-isu besar yang melanda masyarakat
global. Ia berbicara tentang bagaimana menemukan solusi atas perubahan iklim
yang dampaknya kian terasa.
Isu penyakit
ternak dan penanganannya telah lama menjadi kekhawatiran dunia. Di tahun 2009,
sidang tahunan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menyatakan bahwa
perubahan iklim telah mnyebabkan munculnya banyak penyakit hewan hewan yang
muncul kembali. Banyak penyakit yang diyakini merupakan dampak dari perubahan
iklim. Dunia tengah mencari bagaimana mengatasi berbagai masalah tersebut.
Dengan menggali
gagasan dari masyarakat setempat, Frits menunjukkan bahwa solusi atas perubahan
iklim bukanlah sesuatu yang digali dari luar, bukan juga sesuatu yang bersumber
dari banyak literatur ilmiah, namun sesuatu yang hidup dalam masyarakat,
sesuatu yang telah lama menjelma sebagai tradisi dan budaya. Hanya saja,
tradisi dan pengetahuan itu telah lama terkubur oleh penetrasi modernisasi dan
globalisasi di berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Pada acara yang
digelar Oxfam di Kupang itu, aku belajar banyak hal. Selain bertemu Frits, aku
juga bertemu dengan sejumlah anak muda Kupang yang mengajarkan masyarakat kota
untuk berkebun di tengah tembok-tembok sempit perkotaan. Melalui caranya yang
sederhana, mereka memberi andil pada upaya untuk menghidupkan kota.
Anak-anak muda
itu menginspirasi banyak orang bahwa gagasan tentang ekologis tak selalu harus
disampaikan dalam kampanye-kampanye dan kalimat yang diteriakkan sekuat tenaga,
namun bisa dnegan langkah-langkah kecil yang efektif untuk membangkitkan
kesadaran banyak orang. Mereka membangkitkan sebuah revolsi gagasan yang
laksana api kecil perlahan menyebar menjadi kesadaran untuk mengingatkan banyak
orang bahwa bumi ini mesti dirawat dengan segenap cinta.
Kita memang membutuhkan banyak inspirasi untuk
menyalakan kesadaran kita bersama.
Aku teringat literatur yang menyatakan
bahwa di beberapa negara, perubahan iklim telah mendatangkan malapetaka bagi
masyarakat. Pada tahun 2000 - 2004, ada sekitar 262 juta orang terkena bencana
iklim (climate disaster). Dari jumlah tersebut, sebanyak 98 persen dari mereka
adalah penduduk dunia ketiga. Mengapa? Sebab masyarakat dunia ketiga hendak
meniti jalan modernisasi dari bangsa lain, dan melupakan segenap kearifan
lokalnya. Yang terjadi kemudian adalah hilangnya daya-daya adaptif ketika
melihat alam yang berubah, disertai munculnya berbagai masalah.
kegiatan Oxfam di Kupang |
Dalam catatanku, Beberapa lembaga internasional
ikut membantu untuk menyebarkan akibat dari perubahan iklim. Salah satu di
antaranya adalah Oxfam yang merupakan konfederasi internasional dari tujuh
belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah
gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari
ketidakadilan akibat kemiskinan.
Bersama lembaga lain dan akademisi, Oxfam
menjadi bagian dari faktor eksternal yang kemudian membawa pengaruh bagi upaya
masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim. Namun, hal paling penting yang
sering terabaikan adalah kapasitas internal masyarakat, yakni pengetahuan
lokal, pengelolaan sumber daya alam, teknologi yang berbasis kearifan lokal,
serta modal sosial (social capital) yang mencakup kemampuan
masyarakat untuk saling percara dan membangun jejaing solidaritas.
Setahun silam, aku melihat kapasitas lokal
itu pada sosok seperti Frits dan anak-anak muda pengagas gerakan Kupang
Berkebun. Mereka menunjukkan solidaritas, kekuatan, serta pengetahuan tentang
mengatasi masalah yang digali dari tradisi. Mereka menjadi obor yang memberi
cahaya terang bahwa seberat apapun masalah yang dihadapi, maka selalu ada jalan
keluar, sepanjang kita mau berusaha menemukan jawaban.
Pertemuan di Kupang itu meninggalkan jejak
mendalam bagiku. Ketika berkunjung ke banyak desa, aku menemukan banyak
pribadi-pribadi hebat yang memahami alam, dan mengalir bersamanya. Di Bogor,
aku bertemu seorang pria yang melestarikan varietas kopi-kopi lokal dengan cara
pertanian tradisional, tanpa bahan kimia. Di beberapa pulau di Indonesia timur,
aku bertemu banyak nelayan hebat yang punya banyak strategi ketika badai sedang
berkepanjangan. Terakhir, beberapa hari silam, aku bertemu sjeumlah petani di
Mamasa, Sulawesi Barat, yang memahami tanda-tanda bintang demi menentukan waktu
tanam padi.
Alam memang selalu berubah. Namun
manusia-manusia hebat itu justru selalu menemukan cara adaptasi demi mengalir
bersama alam semesta. Mereka tak hendak menaklukan alam. Mereka ingin hidup
bersama alam. Inilah kekayaan Indonesia yang tak terperi, kekayaan yang harus
dijaga dan menjadi pusaka bersama. Kekayaan itu adalah seluruh pengetahuan
lokal.(*)
0 komentar:
Posting Komentar