SEMUA orang membahas Jokowi. Semuanya dalam suasana euphoria atas kemenangan pria kurus itu. Aku memikirkan hal lain. Aku sedang memikirkan nasib Islam politik yang kian terpuruk. Ternyata, anjuran banyak partai Islam, para ulama, termasuk raja dangdut, tak juga sanggup menggiring suara publik untuk si kumis itu. Lantas, masih layakkah klaim mereka yang merasa didukung umat? Masih lakukah jika ayat-ayat diobral demi kemenangan seseorang?
Sejak
negeri ini memasuki gerbang kemerdekaan, banyak pihak yang mengaku Islam dan
menyebut-nyebut nama Islam demi memenangkan kelompoknya. Senjata mereka adalah
ayat serta sejumlah teks kitab suci yang menjadi magis bagi umat. Lewat ayat
itu, mereka memasang kekang pada leher umat dengan harapan bisa menjadi massa
yang mengikuti apa kata pemimpin.
Sejatinya
tak masalah jika Islam dibawa ke ranah politik, sepanjang tokoh-tokoh Islam itu
bisa membawa keteladanan. Masalahnya juga adalah tak banyak terdengar tokoh Islam tanah air yang
sekaliber Gandhi dalam hal menolak materi atau sesuatu yang bisa memenjarakan
keimanan. Kisah Gandhi yang menggetarkan adalah ketika ia hanya memakai sehelai
kain, ke mana-mana berjalan kaki, lalu tidur di rumah sederhana. Ia menunjukkan
integritas sekaligus pesan kelangitan bahwa dirinya memang terlahir untuk
membela nasib umat yang terpinggirkan.
Nah,
bagaimana dengan ulama zaman kini yang tengah memenuhi panggung politik? Mereka tak menawarkan keteladanan. Tak
menawarkan daya tahan sebagaimana Rasulullah ketika dilempari di Thaif. Tak
menunjukkan kehebatan Rasul ketika menegakkan sendi ajaran Islam yang menjadi
berita gembira bagi masyarakat lapis bawah Mekkah. Para ulama itu duduk nyaman
di mobil jenis Alphard. Ada petinggi sebuah partai islam yang merangkap sebagai
calo anggaran. Bagaimana mau membuat umat percaya ketika mereka sibuk membangun
tembok tinggi di rumahnya?
Nah, wajar saja jika kemudian umat lebih percaya Jokowi yang selama menjabat sebagai walikota justru tak pernah mengambil gaji. Inilah integritas. Inilah daya tahan menghadapi godaan gaji dan proyek. Inilai nilai-nilai Islam. Bukannya urusan jenggot dan bekas hitam di jidat, namun ke mana-mana memamerkan kemewahan!
Kekalahan
calon ulama itu membuat diriku miris. Aku percaya bahwa agama tak pernah salah.
Namun aku amat yakin kalau cara pandang manusia membuat agama kian menjauh dari
capaian substansial yang mestinya bisa digapai. Idealnya, agama itu bisa jadi
spirit kuat untuk anti-korupsi, menegakkan hukum, menguatkan nilai, mempererat
solidaritas sosial, serta melesatkan jati diri bangsa untuk menggapai kemajuan.
Namun,
nilai-nilai Islam yang indah itu telah dibengkok-bengkokkan menjadi dukungan
pada si kumis. Seolah si Jokowi itu tak sedang membawa nilai Islam, dalam
segala kejernihannya untuk menggandeng seseorang yang beda iman, di tengah
kesederhanaan Jokowi untuk menjalani kehidupan, serta optimismenya untuk
bekerja keras.
Sungguh,
aku sedih memikirkan mereka yang melegitimasi ayat demi memenangkan satu kuasa.
Mending, agama tak perlu dibawa-bawa jika hanya dipakai untuk meneguhkan satu
rezim. Mending agama tak perlu dibawa-bawa jika nilai-nilai yang indah itu
direduksi menjadi simbol-simbol. Anda dianggap Islam hanya ketika sering
dilihat salat, atau ketika Anda menyapa dengan panggilan khas Arab.
Sementara
kandungan maknanya jadi lenyap, entah ke mana. Nilai-nilai yang amat indah seperti kedamaian, ketegasan, serta kebaikan itu tergantikan oleh seruan untuk memenangkan si kumis. Jika Islam yang jadi patokan, maka seluruh kebaikan seharusnya dianggap sebagai nilai Islam.
Celakanya, para ulama itu mudah terjebak dengan simbol. Dan orang-orang jahat tahu persis itu. Salah satu tayangan paling menggelikan bagiku adalah ketika banyak koruptor yang saat disidang datang membawa tasbih, memakai baju koko, atau peci haji. Lucunya, publik mudah tersentuh, mudah digiring para ulama-ulama yang bersembunyi di ketiak penguasa.
Kemenangan pria kurus itu menunjukkan kalau asumsi ini mulai tak relevan. Ada secercah harapan kalau umat makin rasional. Mereka tak selalu sudi diklaim dengan cara demikian. Mereka bisa menghukum para ulamanya. Ketika mereka memilih sosok lain dari yang digariskan ulama, itu bermakna bahwa mereka lebih suka dengan nilai-nilai yang tampak mata, ketimbang diarahkan mereka yang mengaku ulama, namun nihil keteladanan.
Celakanya, para ulama itu mudah terjebak dengan simbol. Dan orang-orang jahat tahu persis itu. Salah satu tayangan paling menggelikan bagiku adalah ketika banyak koruptor yang saat disidang datang membawa tasbih, memakai baju koko, atau peci haji. Lucunya, publik mudah tersentuh, mudah digiring para ulama-ulama yang bersembunyi di ketiak penguasa.
Kemenangan pria kurus itu menunjukkan kalau asumsi ini mulai tak relevan. Ada secercah harapan kalau umat makin rasional. Mereka tak selalu sudi diklaim dengan cara demikian. Mereka bisa menghukum para ulamanya. Ketika mereka memilih sosok lain dari yang digariskan ulama, itu bermakna bahwa mereka lebih suka dengan nilai-nilai yang tampak mata, ketimbang diarahkan mereka yang mengaku ulama, namun nihil keteladanan.
Lantas, masih relevankah bicara tentang Islam politik? Ataukah kita menggemakan kembali kata-kata Nurcholish Madjid yang mengatakan “Islam Yes, Partai Islam No?”
Athens, 21 September
2012
0 komentar:
Posting Komentar