Maestro Kuliner


Di Rumah Makan Paotere, saya memilih ikan baronang untuk dibakar. Pelayan menyilahkan saya duduk di salah satu sudut. Beberapa detik kemudian, dia membawakan beberapa bahan mentah, mulai tomat, lombok, daun kemangi, garam, hingga irisan mangga.

Sembari menunggu ikan dibakar, saya mengambil pisau kecil, kemudian mulai mengiris bahan, lalu mencampur jadi satu. Terasa hembusan asap pembakaran ikan dari luar. Saat ikan bakar datang, lalapan sudah siap. 

Jauh sebelum Robert Chambers memperkenalkan pendekatan partisipatif, rumah-rumah makan di Makassar sudah memulainya. Pembeli bukan sekadar obyek yang hanya menerima makanan jadi. Tapi mereka ikut menjadi subyek yang meracik bumbu dan lalapan. Ikut menyentuh tomat, lalap, dedaunan, dan irisan manga.

Dalam suasana yang agak panas, saya makan dengan peluh berceceran. Ada banyak kuliner Makassar yang tidak cocok dimakan di ruang ber-AC. Kuliner itu lebih cocok dimakan diwarung kaki lima, saat panas terasa dari atap seng, namun perlahan lenyap saat angin sepoi-sepoi merambah ke warung.

Di rumah makan ini, saya ingat Haji Tawakkal, pemiliknya. Pria asal Labakkang, Pangkep itu, dahulunya hanya berjualan di dekat Pelabuhan Paotere, yang menjadi tepat kapal-kapal kayu berlabuh.

Saat berbincang dengannya beberapa tahun lalu, dia bercerita tentang usahanya yang dulu cuma warung kaki lima, dan dikelola pamannya Daeng Gassing. Yang dijual di warung itu hanyalah nasi, lalapan, dan sayur. 

“Para pelanggan rata-rata adalah nelayan atau warga yang membawa ikan, cumi, udang dari pelelangan di Pelabuhan Paotere. Mereka bau ikan, kakinya berlumpur, tidak pakai sandal. Istilahnya paku lonting,“ kenang Haji Tawakkal yang sudah yatim piatu sejak kecil.

Seiring waktu, warung itu mulai menyediakan ikan yang diolah oleh Haji Tawakkal. Di warung itu, orang-orang menemukan rasa yang original, juga sentuhan personal saat ikut meracik bumbu dan mengolahnya.

Warung itu menjadi ruang demokratis yang mempertemukan banyak kalangan. Di antara pelanggan warung, ada sosok Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud, dua pebisnis hebat di kota Makassar yang menentukan haru biru politik negeri ini.

Sembari menunggu, Jusuf Kalla selalu mengajak Haji Tawakkal berbincang. Aksa Mahmud mengajari Haji Tawakkal untuk bisnis. “Pak Aksa yang memaksa saya untuk beli ruko. Katanya, jangan sewa. Setiap ketemu saya ditanya. Alhamdulillah, bisa beli ruko,”katanya.

Saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden, Haji Tawakkal sering dianggil ke Istana Wapres untuk membakar ikan. Di situlah, Haji Tawakkal membakar ikan di tengah sorot mata paspampres. Dia tetap tenang sebab tahu pasti kalau Pak JK percaya 100 persen dengan kualitas menu yang disentuhnya.

Dari warung yang dipenuhi lalat, Rumah Makan Paotere mulai merambah ke mana-mana. Cabangnya dibuka di banyak lokasi, bahkan di Kota Jakarta. Haji Tawakkal menikmati buah dari kerja keras. Dia memulai semua dari nol, kini asetnya kian membesar. Pelanggannya bukan lagi Paku Loting, tapi orang bermobil.

Saya lanjut mencicipi ikan baronang di hadapanku. Ini salah satu olahan kuliner laut ternikmat yang saya cicipi dalam enam bulan terakhir. Tetiba, punggung saya ditepuk dari belakang. Ada suara keras dengan akses Bugis yang pekat.

“Kapan ko datang Ndi. Kenapa ko nda bilang-bilang?”Saya menoleh dan melihat wajah Haji Tawakkal. Dia tersenyum hangat.

Hmm. Sepertinya semua makanan ini akan gratis. Nyamanna!

.



0 komentar:

Posting Komentar