Hatibi Bula, Cinta, dan Kisah Albino yang Menjadi Ulama Besar di Tanah Buton

keturunan Hatibi Bula di Pulau Siompu (foto: Rustam Awat)

Sorak-sorai dan tepuk tangan membahana. Rombongan karnaval tenun dari Buton Selatan menjadi bintang pertunjukan. Di Kendari, 25 April 2019, dalam rangkaian acara HUT Sultra, rombongan dari Buton Selatan itu menyentuh hati banyak orang.

Buton Selatan menampilkan remaja dan pria dewasa albino. Mereka berbaris rapi dengan mengenakan pakaian tradisional Buton. Mereka berasal dari Pulau Siompu, yang masih masuk dalam wilayah administrasi Buton Selatan.

Media-media melansir cerita tentang populasi albino di Buton Selatan. Yang membanggakan, para warga albino itu disebut-sebut sebagai keturunan dari Hatibi Bula, seorang ulama besar tanah Buton yang tinggal di Pulau Siompu.

Hatibi Bula adalah seorang albino. Dia adalah khatib berkulit terang. Dia menjadi ulama besar yang kharismatis dan sangat terkenal di masa itu. Dia menjadi suluh yang mencerahkan masyarakat Siompu. Suaranya sebening embun saat sedang bermunajat

Buton Selatan punya banyak hal menarik. Selain banyaknya populasi albino, di sini terdapat warga yang bermata biru, seperti orang Eropa. Semuanya menjadi daya tarik wisata. 

Bagaimana kisah Hatibi Bula hingga menjadi ulama besar di tanah Buton?


*** 

Nama lengkapnya adalah La Ode Hasani Ibnu Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Khalifatul Khamis. Bapaknya adalah La Kabumbu, sering disebut Mokobhaadiana, yang kemudian menjadi Sultan Buton ke-29, bergelar Muhammad Idrus Kaimuddin. Idrus memerintah mulai tahun 1824.

Hatibi Bula menikah dengan perempuan bangsawan Gowa Makassar bernama Karaeng Hayati, atau sebagian lain menyebutnya Karaeng Iyati yang adalah putri Raja Gowa Karaeng Yusuf.

Sumber-sumber lisan di Buton mengisahkan perkawinan La Ode Hasani atau Hatibi Bula dengan Karaeng Hayati adalah sebagai pertanda kedekatan hubungan Gowa dengan Buton di masa itu. Mula-mula mereka saling mengenal dalam masjid di pesisir kampung Butung,  Makassar, kemudian memutuskan menikah.

BACA: Serpih Jejak Gajah Mada di Buton Selatan


Hatibi Bula tumbuh dalam binaan dan didikan langsung ayahnya dalam sebuah madrasah yang dinamainya Zaawiyah. Dibawah asuh langsung ayahnya, ia diajari pendidikan moral dan pengetahuan agama, khususnya tasawuf terutama Khalwatiyah Sammaniyah aliran tarikat dari Syaikh Muhammad bin Syais Sumbul Al Makki seorang tokoh tasawuf timur tengah terkemuka di mana ayahnya Muhammad Idrus Kaimuddin berguru kepadanya.

Hatibi Bula tumbuh menjadi anak yang cerdas. Kedalaman dan keluasan pengetahuan agamanya melampaui umurnya yang masih belia. Tak hanya berpengetahuan, ia juga fasih berbahasa Arab dalam praktiknya. Banyak kitab-kitab Arab dipelajarinya. Bahkan kitab suci Al-Quran telah ia khatamkan ketika usianya masih belia betul, sebelas tahun. 

Dia mendapat nama La Ode Hasani, yang merupakan cucu Nabi Muhammad SAW. Sultan Idrus Kaimuddin menitip harapan yang besar agar kelak anaknya itu menjadi juga pemimpin, paling tidak pemimpin dalam agama, pemimpin umat, sesuatu yang kelak memang terbukti benar adanya. 

La Ode Hasani menjadi pemimpin agama dan imam di masjid Siompu, ia lalu diangkat menjadi Khatib di Masjid Agung Keraton Kesultanan Buton.

salah satu keturunan Hatibi Bula

La Ode Hasani muda menghabiskan waktunya dalam tafakur dan syiar Islam di pulau Siompu. Di Pulau yang kelak menjadi tempat tinggalnya hingga wafat itu, ia menjadi imam masjid sekaligus mengajarkan agama Islam. 

Ia dikenal sebagai ulama besar dengan pengetahuan keislaman yang luas. Ia juga tersohor sebagai ulama bersuara merdu. Ketika dia mengaji dan memimpin salat, suaranya sangat merdu. Banyak orang berbondong-bondong datang ke Masjid hanya karena mendengar suara azannya yang begitu indah.

Pernah pada suatu masa, Sara Hukumu di Masjid Agung Keraton Kesultanan Buton memerlukan seorang pandai untuk menduduki jabatan Khatib. Kadie-Kadie (desa) kemudian disisir untuk mencari orang yang paling tepat untuk menduduki jabatan itu. 

Barulah di Siompu ditemukan orang paling tepat. Dialah La Ode Hasani, Imam Masjid Siompu. Dia dibawa ke Wolio dan dilantik menjadi khatib di Masjid Agung Keraton Kesultanan Buton. Karena jabatan dan kulitnya yang putih, dipanggillah ia sebagai Hatibi Bula.

Jabatannya sebagai Khatib di masjid Agung Keraton Kesultanan Buton itu mengharuskannya sementara meninggalkan pulau Siompu untuk tinggal di Wolio, yang merupakan ibukota Kesultanan Buton. Murid yang dianggapnya paling mampu ditunjuk untuk menggantikannya dalam memimpin dakwah syiar Islam di Masjid Siompu. 

Setelah beberapa tahun menjabat sebagai Khatib di Masjid Agung Keraton Kesultanan Buton, La Ode Hasani atau Hatibi Bula merasa dirinya banyak kekurangan dalam pemahaman ilmu agama. 

Penguasaannya terhadap ilmu tarikat dianggapnya masih dangkal. Dia berpikir untuk pergi menuntut ilmu. Dia ingin belajar di sumbernya ilmu-ilmu agama di tanah suci Makkah. Sebagaimana ayahnya, ia memerlukan juga seorang Mursyid yang sanad keilmuannya jelas tersambung langsung ke baginda Nabi Muhammad Salallahu Aalaihi Wassalam.

BACA: Sepenggal Kisah Syaikh Abdul Wahid di Burangasi


Ia kemudian memberanikan diri menyampaikan keinginannya itu kepada ayahnya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Setelah menimbang dan memberinya masukan sebagai nasihat, Sultan Idrus Kaimuddin akhirnya memberinya izin dengan disertai syarat yang tak boleh diabaikannya. 

Syarat itu sebagaimana syarat umumnya orang tua ketika melepas anaknya pergi menuntut ilmu: temukanlah guru yang benar sebagai Mursyid, sabar di negeri orang dan tekun-tekunlah belajar. 

Betapa girang La Ode Hasani mendapatkan restu dan izin ayahnya. Dia sangat gembira. Dia membayangkan tanah suci Makkah, kediaman para Wali Auliah, tempat sebaik-sebaik menimba ilmu agama, tempat mereka para mahaguru, para Mursyid yang suci. 

Sembari menunggu kapal yang akan membawanya ke Makassar, ia mulai mempersiapkan bekal dan keperluannya selama nanti di sana.

Kapal pengangkut beras dari kampung Tira Sampolawa telah sandar di pelabuhan Baubau, La Ode Hasani akan menumpang di kapal itu, membawanya sampai ke Makassar. Di sepanjang pelayaran terus saja ia mengaji, bahkan juga mengajari Islam bagi para kru dan penumpang kapal lainnya. 

Para kru dan penumpang kapal sangat senang. Hatibi Bula ikut juga sebagai penumpang bersama mereka. Dirasa waktu begitu cepat berlalu, masih ingin bersama Hatibi Bula tetapi kapal telah sampai di pelabuhan Makassar.

Setiba di Makassar ternyata kapal menuju ke Tanah Suci belum ada. Dalam penantian menunggu kapal di Kampung Butung Makassar, Hatibi Bula  tetap menjadikan Masjid di Kampung Butung Makassar sebagai tempat  untuk menjalani hidup keseharian. Di masjid itu,  ia mengaji sebelum dan sesudah salat Magrib, Isya, dan Subuh. 

Pelabuhan Makassar tempo doeloe

Pada waktu Hatibi Bula mengaji, banyak orang yang heran karena suaranya sangat bagus dan memukau. Banyak orang yang senang dengan  Hatibi Bula, termasuk putri Karaeng Gowa yang bernama Siti Iyati. Dia sering dipanggil Karaeng Iyati, sebagai lazimnya panggilan untuk bangsawan di Makassar. 

Karaeng Iyati pun sangat senang bahkan jatuh cinta kepada Hatibi Bula. Karaeng Iyati sangat rajin untuk datang sembahyang di masjid. 

Di lain kesempatan Hatibi Bula ingin mengumandangkan azan di setiap waktu salat,  namun harus seizin Karaeng Gowa. Setiap meminta izin untuk mengumandangkan azan selalu ditolak oleh karaeng Gowa karena Hatibi Bula dianggap sebagai pendatang yang mirip dengan orang Belanda. Kulitnya putih albino dan matanya biru. 

Seiring perjalanan waktu, lama kelamaan Hatibi Bula diperkenankan untuk mengumandangkan azan yang tadinya dipermasalahkan. Dalam mengumandangkan azan semua orang ada di sekitar Masjid Kampung Butung berlomba-lomba datang ke masjid lantaran lantunan suara azan dari Hatibi Bula  yang begitu memukau sangat indah. 

Pada suatu waktu, Hatibi Bula diperkenankan untuk menjadi imam pada Salat Magrib dan Subuh di Masjid Kampung Butung. 

Kepiawaian dan kemerduan suara yang dilantunkan oleh Hatibi Bula  semakin menambah keakrabannya dengan Karaeng Iyati. Keakraban membuat mereka semakin dekat, menjadikan keduanya menjalin cinta.

Perjalanan cinta Hatibi Bula dengan Karaeng Iyati ternyata tidak direstui oleh Karaeng Gowa. Bahkan Karaeng Iyati  tidak diperkenankan lagi  untuk sembahyang di masjid Kampung Butung. Karaeng Gowa sudah mengetahui bahwa anaknya menjalin kasih dengan orang asing Hatibi Bula. 

Larangan itulah yang membuat Karaeng Iyati tertekan jiwanya dan kemudian jatuh sakit. Sakitnya Karaeng Iyati membuat Karaeng Gowa gelisah. Karaeng Iyati adalah anak satu-satunya perempuan. 

Segala macam obat dari tabib dan orang pintar yang ada di Kerajaan Gowa dipanggil untuk mengobati Karaeng Iyati. Tetapi tak seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Lalu Karaeng Gowa membuka sayembara bahwa barang siapa yang dapat menyembuhkan penyakitnya anaknya,  maka ia akan dikawinkan  dengan anaknya tersebut.

Mendengar ada informasi sayembara yang diadakan oleh Karaeng Gowa, Hatibi Bula pun berniat untuk mengikuti sayembara dan ia pun mendaftarkan diri. Dia pun diijinkan mengobati.  Karaeng Iyati langsung terbangun mendengar suara Hatibi Bula. Lalu Hatibi Bula membacakan doa pada air untuk diminum Karaeng Iyati. Selesai meminum air tersebut, Karaeng Iyati langsung meminta makanan dan seketika sehat saja badannya.

Setelah menyembuhkan Karaeng Iyati, Hatibi Bula  memohon kepada Karaeng Gowa untuk menepati janjinya. Namun Karaeng Gowa masih menunda-nunda untuk menepati janjinya. Hatibi Bula mencoba cara lain dengan  melamar Karaeng Iyati tetapi Sultan Gowa meminta mahar yang sangat tinggi yaitu 7 katepi/nyiru emas dengan maksud untuk menggagalkan  perkawinan. 

Dengan mahar sangat tinggi tersebut, Hatibi Bula memberitahu orang di tempat tinggalnya agar menyimpan karung sebanyak 7 karung di bawah tempat tidurnya pada malam Jumat. Pada pagi hari setelah bangun tidur,  karung tersebut telah berisi emas. Ketujuh  karung emas itulah dibawa ke rumahnya Karaeng Gowa untuk dijadikan sebagai mahar lamaran bagi Karaeng Iyati. Namun, lagi-lagi Karaeng Gowa masih menunda-nunda lagi perkawinan tersebut.

BACA: Teka-Teki Cinta di Bukit Lamando, Buton Selatan


Dengan penundaan tersebut, maka Hatibi Bula terpaksa membawa lari Karaeng Iyati ke Pulau Buton pada subuh hari sambil memohon kepada Allah SWT. Dia menghentakan kakinya ke tanah dan berkata, “Landaki Tanah,  Gomia Tanah,  Anee Dhangia Mopajerena."  Artinya: “Diinjak tanah, diisap tanah, jika ada yang mengejarnya.”

Dengan permintaan kesaktian itu, utusan Karaeng Gowa setengah mati untuk mengejar Hatibi Bula dan Karaeng Iyati. 

Setiba di Baubau, Hatibi Bula melapor kepada Ayahandanya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin bahwa ia telah membawa lari anaknya Karaeng Gowa. Utusan Karaeng Gowa sedang mengejar mereka dengan armadanya yang besar.

keturunan Hatibi Bula di Pulau Siompu

Sesudah melapor itu, pada malam harinya Hatibi Bula dan Karaeng Iyati langsung dibawa untuk diungsikan di Pulau Siompu. Pada malam itu juga armada Karaeng Gowa yang mengejar Hatibi Bula  tiba pula di perairan Baubau. 

Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin memerintahkan agar semua lesung, gong dan yang lainnya dibunyikan bersamaan bahwa seakan-akan Kesultanan Buton diserang dari darat. Mendengar suara tersebut  maka armada Sultan Gowa menyingkir dan berlabuh sementara ke Pulau Makassar, pulau kecil di dekat Baubau.

Keesokan harinya diadakanlah perundingan antara Sultan Buton dengan utusan Karaeng Gowa. Sultan Buton bersumpah  dengan memegang kitab suci Al Quran. Bahwa tidak ada anaknya Karaeng Gowa di Pulau Buton. 

Sumpah itu sengaja diucapkan oleh Sultan Buton  karena Hatibi Bula dan Karaeng Iyati telah berada di Pulau Siompu, pulau kecil di selatan Pulau Buton. Di Pulau Siompu Hatibi Bula dan Karaeng Iyati melanjutkan hidupnya dengan bahagia. Mereka berketurunan dan tinggal menetap di sana sampai meninggalnya. 

Kini, keturunan Hatibi Bula terus bertambah. Banyak keturunannya yang albino. Mereka tetap dihormati masyarakat, sebab mengingatkan pada Hatibi Bula. Bahkan keturunan itu selalu membawa nama daerah Buton Selatan di berbagai acara budaya.

Keturunan Hatibi Bula tetap menjaga marwah leluhurnya Hatibi Bula yang terus dikenang sebagai sosok ulama besar yang menjadi guru bagi masyarakat siompu dan masyarakat Buton lainnya.


Catatan: Tulisan ini dibuat bersama budayawan La Yusrie dan Yadi La Ode



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Keren

Posting Komentar