Serpih Jejak Gajah Mada di Buton Selatan

 

Tari Fomani di Siompu, Buton Selatan

Dua orang lelaki memasuki lapangan. Usianya separuh baya. Keduanya memakai ikat kepala berupa kain batik, sarung Buton, serta selempang kain merah dan putih di badannya. Tangan kanan memegang parang, tangan kiri membawa tameng.

Keduanya bersilat disaksikan banyak orang. Sorak-sorai terdengar di mana-mana. Demikian pula tepuk tangan. Keduanya saling memutari, kemudian saling serang.

Di Pulau Siompu, di wilayah Buton Selatan, keduanya menampilkan Tari Fomani. Tarian ini telah ditampilkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Menurut budayawan dan tokoh masyarakat, tarian ini diduga kuat dipengaruhi oleh tradisi di Kerajaan Majapahit. Itu terlihat dari kain merah putih, serta ikat kepala batik.

Tarian ini selalu tampil di upacara adat Meta’ua. Masyarakat meyakini, tari Fomani berasal dari seorang yang diyakini berasal dari Majapahit.

Pernah pada satu masa, datang serombongan pasukan. Mereka menyapa warga dan ikut melaksanakan ritual adat. Banyak yang beranggapan kalau rombongan itu adalah dipimpin sosok legendaris Gajah Mada. Rombongan itu diyakini Mereka singgah dalam satu ekspedisi untuk ke daerah lain.

Atribut yang dibawa rombongan adalah umbul-umbul berwarna merah dan putih, yang sering disebut sebagai sang saka getih-getah samudera atau sang saka gula kelapa yang merupakan bendera kerajaan majapahit. Hingga kini, simbol merah putih sebagai warna selempang yang dipakai oleh penari Fomani tetap dipertahankan sampai saat ini.

Sejarah mencatat nama Gajah Mada dengan tintas emas. Dia adalah sosok mahapatih paling berpengaruh dalam perjalanan panjang Kerajaan Majapahit menuju puncak kejayaaannya.

Kerajaan Majapahit sendiri dikenal sebagai kerajaan terbesar di Nusantara, yang wilayahnya lebih luas dari Indonesia saat ini. Wilayah Majapahit juga mencakup Singapura, Malaysia, Brunei, dan selatan Thailand.

Gajah Mada dikenal sebagai sosok patih perkasa yang setia kepada pemangku takhta Majapahit untuk terus menjaga keutuhan dan melebarkan pengaruh kerajaan.

Salah satu peranan Patih Gajah Mada pada masa kejayaan Majapahit yang paling terkenal adalah menyatukan wilayah nusantara seperti yang diucapkannya dalam Sumpah Palapa.

Di tanah Buton, Gajah Mada bukan sekadar sosok dari jauh yang kemudian meninggalkan jejak di panggung sejarah. Gajah Mada adalah bagian dari tradisi lokal, diakui sebagai putra daerah.

Dalam kitab Pararaton disebutkan, Gajah Mada mulai menggelar ekspedisi penaklukan Nusantara sejak tahun 1360 masehi. Di masa itu, Buton dipimpin raja keduanya, Bulawambona.

Dalam kronik Buton dan tutur lisan Wabula, di masa itu kerajaan Buton menyerang Wabula dengan dibantu sepasukan Manjapai.

Para pasukan Manjapai (Majapahit) itu disebutkan pandai benar menunggang kuda, dapat melepas anak panah sembari berbaring di punggung kuda yang sedang berlari kencang.

Gajah Mada di Buton dikisahkan sebagai anak Sijawangkati, panglima militer yang mengawal Sipanjonga. Sijawangkati adalah salah seorang dari Mia Patamiana, yang merupakan empat orang bangsawan asal Johor yang mendirikan Kerajaan Buton.

Keempatnya adalah Si Panjonga, Si Malui, Si Jawangkati, dan Si Tamanajo. Si Jawangkati menikahi Puteri Lasem Lailan Mangraini, perempuan jelita adik bungsu Sibatara dan Jutubun--Bhau Besi Raja Kamaru.

Rekonstruksi Patung Gajah Mada di Monumen Nasional, Jakarta

Di Lipu Katobengke, Sijawangkati dikenal sebagai Parabhela Mancuana. Dialah yang menaklukkan Tobe-Tobe dengan membunuh rajanya Dungku Changia. Si Jawangkati punya postur yang tinggi dan besar. Dia yanh pertama memimpin Kampung Gundu-Gundu, salah satu kampung tua di Buton.

Ingatan tentang Gajah Mada bisa ditemukan di banyak lokasi. Di Kamaru, kini wilayah Kabupaten Buton, Gajah Mada dinamakan "Kompo Ooge" atau Si Perut Besar. Di Batauga, Buton Selatan, dia dinamakan "Landoro Langi" yang menyimpan jejaknya di Bukit Ombo, Gunung Wamoroko.

Gajah Mada juga dikisahkan ada di Takimpo, wilayah Kabupaten Buton. Dia diyakini dikuburkan di sebuah situs dekat batu naga dalam Benteng Takimpo. Masyarakat adat meyakini di situlah kuburan Gajah Mada beserta empat puluh orang prajurit pengikut setianya.

Di Liya dan Kaledupa, Kepulauan Wakatobi, jejak Gajah Mada begitu juga kuat tertinggal. Gajah Mada menjadi ingatan kolektif masyarakat adat. Sebuah tempat tapa yang dinamai Tapaa disebut pernah ia singgahi. Bahkan di Liya, pemuka adat mempercayai bahwa Gajah Mada muksa di sana pada sebuah tempat dalam goa di Togo Mo'ori.

Sebuah jejak prasasti juga terpahat di sana, di pesisir pantai antara Sempo Liya dan pulau Simpora. Di situ terdapat batu yang oleh masyarakat setempat dinamai Batu Mada. Apakah cerita-cerita semua mengenainya itu adalah dongeng belaka yang tiada kebenarannya? 

Di tanah Buton, kisah Gajah Mada ditemukan di banyak lokasi. Dia dihormati, disanjung, bahkan telah dikultuskan sebagai Maharsi atau manusia suci yang nirnoda. Bermula dari tempat paling mula dijejaknya sejak ketibaannya di Buton, di pulau yang tepat berada di muka Kalampa dan bandar Batauga—pelabuhan paling ramai saat itu, pulau Siompu.

Di Pulau Siompu, Gajah Mada digambarkan sebagai sosok berbadan bongsor, memanggul tameng dengan pedang pada tangannya. Di bahunya yang lebar terpasang kokoh kelat dan gelang kuning mengilau pada lengannya, rambutnya panjang, disanggul cepol, ia tampak gagah dengan wibawa yang besar.

Tradisi lisan mengisahkan, ketika datang, dia tidak dikenali. Dia disebutkan datang bersama empat puluh orang yang setia mengawalnya. Mereka memanggul tameng, menenteng senjata, memikul panji kebesaran

Karena tak diketahui namanya, pemuka adat Pharabela Siompu menamainyalah La Palei Yandala. Ada juga yang menyebutnya Lapale Yandala yang kira kira berarti "Orang yang melalui atau melintasi samudera.

La Pelei ini melabuhkan kapalnya di lepas pantai barat hingga selatan Pulau Siompu. La Pelei mendarat dengan perahu kecil di mata air Butu, atau sering disebut Oeno Butu yang terletak di tepian pantai Kula, Nggula Nggula. Dahulu tempat itu memang menjadi persinggahan para pelayar untuk mengisi perbekalan air minum, karena mata air dengan debit yang besar ada di sana.

Bahkan konon dahulu itu ada air jatuh pada tebingnya yang arusnya menumpah langsung ke laut.

Gajah Mada dikisahkan berselubung kain putih. Kain itu dikenakan mereka yang bersiap muksa. Dia memakai sabuk berbentuk kepala harimau dengan mulut menganga melingkar di perutnya yang bongsor.

Rambutnya mengilap diminyaki lungsir putih sesudah ia berlangir--mencuci rambut dengan perdu memakai kulit kayu dan daunnya. Inilah tradisi merias bagi elite Majapahit yang hendak muksa.

Prajurit pengiringnya bercelana geringsing dengan sekain merah putih menyampir bersilang di kiri-kanan dada mereka. Inilah pakaian para penari Fomani yang disebut "Kamanu Manu" di Siompu.

Fomani adalah tari perang, tari yang memantik nyali, menguji ketangguhan dan ketangkasan prajurit Bhayangkara pengawal bawaan Gajah Mada.

Gerak dalam Fomani adalah sepenuhnya gerak unjuk kekuatan, tameng di tangan kiri, tombak di tangan kanan, diadu saling bentur sekuatnya dan menusuk setandasnya. Fomani di Siompu adalah jejak tinggalan Gajah Mada yang masih terus dikenang hingga kini, ia lestari.

Tarian Fomani (foto: La Yusrie)

Tradisi pengenangan yang dikemas dalam ritual tahunan Metaua. Inilah tradisi adat di Siompu yang sepenuhnya adalah sebenar-benar pengenangan terhadap tokoh besar paling disanjung: Gajah Mada atau oleh mereka di Siompu dinamai Lapalei Yandala atau Lapale Yandala.

Jejak Gajah Mada disimpan rapi oleh keturunan Ina Hamu di Lapala, Batuaga. Keturunannya menjadi ahli waris dan penjaga situs yang diyakini sebagai makam Gajah mada. Ina Hamu dikabarkan sering mendendangkan syair Gunung Ringgi.

Syair ini berisi kisah Majapahit dan pengelanaan Gajah Mada ke negeri-negeri terjauh di timur. Syair ini disampaikan dalam dalam bahasa Jawa kuno berlanggam kromo dengan sebagian di dalamnya terdapat diselipi kata-kata Cia-Cia, Pancana, dan Wolio.

Gajah Mada digambarkan sebagai seorang sederhana tetapi dengan wibawa yang besar. Dia tegas dalam mengambil sikap, jujur dalam perkataan, mengabaikan kehendak dirinya dengan menyimpan kepentingan orang banyak sebagai yang utama.

Dia memperoleh gelar kehormatan dari kerajaan Buton sebagai "Landoro Nangi", yang kira-kira berarti: "Orang besar yang menang".

Gajah Mada menetap di Wamoroko, sebuah daerah pegunungan di timur Batauga dengan puncaknya yang berkabut dan berhawa sejuk.  Seorang budayawan menganggap daerah itu sebagai tempat yang paling tepat mewujudkan Dharma Agung dan bakti yang dicitanya setelah ter(di)sisih dari hirukpikuk politik di kerajaan Majapahit, menjadi Resi atau seorang petapa suci yang agung.

Ritual Adat di Batauga, Buton Selatan (foto: Rustam Awat)

Pada sebuah puncak bukit paling tinggi dengan dikelilingi pohon-pohon besar dipilihnya sebagai tempat tapa, merenung sekaligus menenung bakal takdir baik-buruknya sendiri, dinamai tempatnya itu sebagai: Ombo, dan konon di sanalah ia mencapai Moksa nya.

Konon dalam Sanskerta, "Ombo" itu berarti tempat yang lapang dan nyaman, sedangkan dalam Buton dimaknai sebagai tempat yang "Rahasia" dan "Terlarang". Begitulah Gajah Mada menyimpan jejaknya di Buton, abadi dalam ingatan kolektif masyarakatnya, abadi dalam tembang syair nyanyian rakyat, abadi dalam pahatan beraksara Pallawa pada batu-batu dan dinding di gua Batara Batauga.

Ina Hamu sering mendendangkan syair Gunung Ringgi, yang liriknya:

"Agungie Lan Panguwasanin ee

Banderanoe Maajapahi...Saikie Wus

Kumelebatie... Ingee Saindenging

Nusuwantarae... Ya Iki Kang Daadi

Gegayuhaningsun... Lanee Ingi Wanci

Iki Ingisun Mapan Ing Saluhuring

Gunung Ringgi... Akang Agawei

Ingsun Bise Narasakake Manawa

Ing Duwuring Langi... Langi Isi Ana

Langi Mane... Akuana Lungguie Ingi..

Dawuring Wach Batara Ombo Kangi

Agungi..."

 

***

Keyakinan tentang Gajah Mada berasal dari Buton selatan tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat Buton. Belum lama ini, terbit fiksi sejarah berjudul Bajak Laut dan Mahapatih yang menyebutkan asal Gajah Mada berasal dari Buton Selatan.

Dalam novel, yang terbit tahun 2019 ini, berlatar masa pendudukan VOC ini, Gajah Mada disebutkan telah meninggalkan lembaran-lembaran yang kemudian dibaca oleh seorang Tumenggung Wira yang bekerja di masa Sultan Amangkurat I, putra Sultan Agung di Kesultanan Mataram.

Gajah Mada bercerita tentang asal-usulnya dan misteri kesaktiannya.Novel itu mengisahkan masa kecil Gajah Mada di Batauga, Pulau Buton, tahun 1312 Masehi. Kakeknya, Awa, memintanya untuk merantau ke Keraton Majapahit di Jawa.

Sebelum Gajah Mada berangkat, dia diberitahu rahasia keluarganya turun-temurun di Pulau Buton. Keluarganya menjaga satu gua yang di dalamnya terdapat satu telaga. Jika seseorang mandi di telaga itu, maka dia akan kebal dan sakti mandraguna.

Berbekal kesaktian itu, Gajah Mada lalu merantau ke Majapahit melalui Dermaga Pulau Buton dan singgah di Pulau Bali.

Dia lalu bergabung dengan pasukan Bhayangkara yang merupakan pasukan elite Majapahit. Tugas pertamanya adalah mengawal putri Sri Gitarja, yang kemudian menjadi ratu bergelar Tribuwana Tunggadewi.

Dalam novel ini, ada kisah cinta antara Gajah Mada dan Sri Gitarja. Namun ada batas sosial yang memisahkan mereka. Mereka hanya bisa saling mencintai, tanpa bisa saling memiliki.

Berkat cinta itu, Gajah Mada menjadi figur yang selalu berusaha tampil ke depan. Bahkan dia mengangkat Sumpah Palapa yang menyatukan Nusantara agar Sri Gitarja memandang dirinya dengan penuh rasa bangga.

Biar pun fiksi, informasi mengenai Gajah Mada yang disebutkan berasal dari Pulau Buton penting untuk ditelusuri. Penulis novel, Adithya Mulya telah melakukan riset sejarah di Buton. Menurutnya, Kampung Maapahit ada Buton Selatan.

Dalam catatan kaki di novel ini, dia menggambarkan ada beberapa teori tentang asal-usul Gajah Mada. Dia memilih versi yang menyebutkan Gajah Mada berasal dari Buton sebab di sana ada kampung bernama Majapahit, serta banyak pohon maja.

Di berbagai website, ada disebutkan tentang asal Gajah Mada. Masyarakay Kerinci, Jambi, punya versi kalau Gajah Mada berasal dari daerah itu. Ada beberapainformasi mengenai kuburan Gajah Mada. Ada yang mengklaim di Tuban (Jawa Timur), Dompu (NTB), bahkan ada yang bilang di Lampung.

Sejak republik ini berdiri, ada banyak versi sejarah yang sengaja dibiarkan tumbuh. Bukan hanya Gajah Mada bahkan tokoh kekinian seperti Sukarno juga banyak versi mengenai asal-usulnya. Berbagai versi itu sengaja dibuatkan agar masing-masing daerah memiliki keterikatan dengan satu tokoh.

Di Buton Selatan, memang ada satu kampung yang namanya Majapahit. Di situ ada kuburan kuno seluas 40 kali 40 meter yang diduga berisi para petinggi dan pembesar Majapahit. Konon, pernah prasasti yang ditulis dalam bahasa Sansekerta. Tapi prasasti itu sudah lenyap. Tidak ada satu catatan kuat kalau di antara yang dikubur di situ ada sosok Gajah Mada.

Di sekitar kuburan itu terdapat pohon maja serta pohon beringin yang rindang. Sampai kini, situs itu sering dikunjungi umat Hindu yang tinggal di sekitar Kota Baubau untuk berziarah. Umat Hindu menganggap makam itu adalah makam para leluhurnya. Mereka datang saat tertentu, misanya saat menanam, juga saat memanen.

Pemerintah Daerah (Pemda) telah membuat plang informasi mengenai kuburan Gajah Mada. Akses jalan menuju kuburan itu dibenahi. Bahkan masuk dalam kalender pariwisata. 

Memang, informasi tentang Gajah Mada memang simpang siur. Dalam situasi ini, sah-sah saja jika ada yang mengklaim makam Gajah Mada ada di satu lokasi.

Situasinya sama persis dengan lokasi Sriwijaya yang penuh kontroversi. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat Sriwijaya ada di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Takus (Riau). Sementara sejarawan George Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang. 

Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, salah satu yang meyakini pusat Sriwijaya ada di Palembang. Alasannya, prasasti Sriwijaya banyak ditemukan di sana. Biarpun Palembang yang lebih disepakati, kontroversi itu masih hidup hingga kini.

Dalam konteks ini, kita bisa memahami mengapa banyak muncul klaim mengenai asal-usul Gajah Mada. Selagi belum ada sumber resmi yang sahih, maka sah-sah saja anggapan kalau Gajah Mada memang berasal dari Buton Selatan. Bahkan kuburannya kini menjadi situs sejarah di sana.

Tahun 2016, satu rumah produksi di Jakarta membuat film berjudul Barakati yang berisikan perjalanan ke Buton demi mencari asal-usul Gajah Mada.

Novel Bajak Laut yang menyebutkan Gajah Mada lahir di Buton Selatan

Film Barakati yang bertemakan pencarian Gajah Mada hingga Buton Selatan

Film ini dibintangi beberapa aktor dan artis papan atas yang tengah menjadi idola anak muda. Di antaranya adalah Fedi Nuril, Acha Septriasa, Dwi Sasono, dan Tio Pasukadewo. Sayang, film ini tidak begitu sukses. 

Namun, klaim tentang Buton sebagai asal-usul dan kuburan Gajah Mada itu semakin kuat. Informasi itu terekam di media sosial, tercatat oleh mesin pencari Google, hingga menyebar dari mulut ke mulut. Di era ini, informasi yang dianggap sahih adalah informasi yang terekam oleh Google.

Beberapa tahun setelah film Barakati, kini muncul pula novel berjudul Bajak Laut dan Mahapatih yang mengisahkan misteri Gajah Mada di Pulau Buton. Jika novel ini kelak difilmkan, sebagaimana karya Adhitya Mulya lainnya, maka klaim itu akan semakin kuat. Buton selatan bisa menjadi lokasi ziarah bagi mereka yang menggemari kisah Majapahit dan segala kedigdayaannya.

***

Jalanan menuju makam Gajah Mada kini mulai diaspal. Jalanan ini akan memudahkan siapa pun yang datang berkunjung. Pemerintah Kabupaten Buton Selatan membenahi makam ini agar kelak bisa menjadi tempat ziarah yang bisa dikunjungi siapa saja.

Makam itu terdapat di atas sebuah bukit di Kelurahan Majapahit, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan. Tempat itu kini menjadi lokasi wisata religi. Lokasinya berjarak sekitar 3 kilometer (km) dari jalan utama.

"Leluhur kami sering bercerita tentang makam Patih Gajah Mada. Di sana juga ada tumbuh pohon maja beberapa ratus meter dari kuburan, dan ada juga tulisan Sansekerta di atas batu," kata Kaimuddin, Camat Batauga.

Dulu, di sekitar makam itu ada prasasti yang ditulis dalam bahasa Sansekerta. Kini, prasasti itu hilang. Tahun 2000, prasasti itu masih bisa disaksikan. Sayangnya, prasasti itu hilang sebelum dilakukan studi ilmiah.

Kompleks yang diyakini makam Gajah Mada di Buton Selatan

Tempat yang diyakini sebagai makam Gajah Mada itu berukuran sekitar 40 x 40 meter. Di tengah lahan itu terdapat pohon besar yang rindang.

Di situ bisa dilihat, beberapa batu yang diduga merupakan batu nisan yang tidak bernama.

Menurut seorang warga Kelurahan Majapahit, La Ode Basarudin, tempat itu sering diziarahi sejumlah warga. Lihat Foto Makam gajah mada dipercaya berada di Kelurahan Majapahit, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan.

"Ada warga yang ke sini untuk sembahyang. Apalagi kalau hendak menanam atau memanen hasil pertanian, mereka pasti membawa sesuatu ke makam mahapatih ini," kata Basarudin.

Masyarakat meyakini, dahulu Gajah Mada bersama 40 pengikutnya datang ke Pulau Buton. Mereka langsung masuk ke dalam hutan. Kedatangan mereka tidak diketahui masyarakat setempat.

Baru pada pagi harinya, warga desa sekitar melihat ada asap tebal muncul dari dalam hutan. Karena penasaran, warga pun mendatangi sumber asap. Rupanya, Gajah Mada mengetahui kedatangan warga. Ia pun mengajak pengikutnya untuk masuk semakin jauh ke dalam hutan.

Di dalam hutan, rombongan Gajah Mada menemukan sebuah perkampungan kecil. "Mereka kemudian berunding, dan minta izin tinggal tak jauh dari kampung itu. Setelah diizinkan, mereka tinggal di atas bukit itu. Konon, Patih Gajah Mada mati bersama 40 pengawalnya di atas bukit itu," ujar Basarudin.

Kini, kawasan yang diduga makam itu telah dibenahi. Makam itu diyakini akan menjadi lokasi ziarah banyak kalangan. Bukan hanya warga Indonesia, tapi juga warga Malaysia dan Singapura. Di dua negara itu, sosok Gajah Mada juga sangat dihormati. Jejak Gajah Mada bisa ditemukan di Museum Nasional Singapura hingga koleksi para sultan di Malaysia.

Dalam waktu dekat, semua orang bisa berkunjung ke makam itu sembari mengenang sosok hebat yang pernah menyatukan Nusantara. Sosok itu terbaring di Buton Selatan.

 

(tulisan ini dibuat berdasarkan data dari budayawan La Yusri dan peneliti Yadi La Ode. Pertama kali dimuat dalam buku Inspirasi Buton Selatan 1).




2 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan yg sangat Bagus, ...Ijin Share...tks

Anonim mengatakan...

Tks,..semakin kaya akan sejarah bangsa, semakin luas pengetahuan dan wawasan publik tentang sosok Gajah Mada yang Agung,..

Posting Komentar