Sultan yang Merawat Masjid Wawoangi

Masjid Wawoangi (foto: Rustam Awat)

Semilir angin berhembus di Wawoangi, Buton Selatan. Di satu bukit, suara azan terdengar sayup-sayup. Suara azan itu mengalun dari satu masjid tua yang terlihat tua. Dinding masjid terbuat dari anyaman bambu. Atapnya dari kayu jati.

Mereka yang berkunjung ke masjid ini membutuhkan waktu sekitar sejam dari kota Baubau. Jika perjalanan dari Batauga, ibukota Buton Selatan, hanya membutuhkan waktu setengah jam. Masjid itu terletak di atas bukit, Desa Wawoangi.

Dari pemukiman warga di Dusun Laguali, jarak masjid mencapai 3 kilometer. Pengunjung bisa menempuhnya dengan kendaraan roda dua ataupun empat. Sebagian jalannya sudah dilapisi aspal, sebagian belum. 

BACA: Serpih Jejak Gajah Mada di Buton Selatan


Dari masjid tua ini, pemandangan sangat indah. Semya wilayah desa di Sampolawa dapat terlihat. Dari kiri masjid, pengunjung bisa menyaksikan pemukiman warga Kelurahan Katilombu, Jayabakti dan sekitarnya. 

Kita bisa melihat Desa Tira. Sejumlah kapal Boti alias Phinisi tampak jelas berjejer terpakir menghiasi bibir perairan Desa Tira.Kita bisa melihat pasir putih menghiasi mata keelokan Pantai Lagundi Desa Bahari.

Dari sisi bagian, kita bisa melihat Pulau Batu Atas, wilayah Buton Selatan paling ujung. Begitupun lautan lepas laut Banda.

Di bagian barat tampak jelas benteng yang hingga kini belum digarap potensi wisatanya dinas terkait.

Masjid Tua Wawoangi ini jauh dari kebisingan kendaraan, maupun pemukiman warga. Beberapa orang datang untuk berzikir. Setiap malam Jumat, masyarakat wilayah sekitar datang untuk menunaikan ritual ibadah.

Masjid yang kokoh berdiri di atas bukit, kesejukan alamnya, kerindangan pepohonan, menambah keheningan bila menunaikan ibadah. Angin sepoi-sepoi bertiup dari segala penjuru, udara yang masih segar alami menambah khususnya para jamaah yang ingin beribadah di Masjid Tua itu.

Penari di Buton Selatan (foto: Rustam Awat)

Ini memang masjid bersejarah. Masjid ini diperkirakan berdiri pada tahun 1527 oleh Syaikh Abdul Wahid, penyebar Islam di tanah Buton. Mulanya, Syaikh Abdul Wahid melihat ada sinar yang turun dari atas. Dia melihat itu sebagai pertanda untuk membangun masjid.

Sebelum ke tanah Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pernah tinggal di Johor. Dia dan isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Setelah itu, mereka hijrah ke Pulau Batu Atas pada tahun 933H/1526M. Batu Atas masuk dalam wilayah Kesultanan Buton.

Di Pulau Batu Atas, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton untuk menyebarkan agama Islam. 

BACA: Sepenggal Kisah Syaikh Abdul Wahid


Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto terkenal dengan kesaktiannya dan bisa mengalahkan bajak laut. Beberapa kali Kerajaan Buton coba ditaklukan para bajak laut demi bisa menguasai perairan menuju Maluku Utara untuk mencari rempah-rempah.

Sekian ratus tahun, masjid itu tetap berdiri kokoh. Masjid ini tetap didatangi warga dan mereka yang hendak menemukan nuansa yang berbeda. Banyak pula yang sengaja datang untuk mengunjungi dua makan di depat pintu masuk masjid.

Dua makam itu adalah makam Sultan Buton ke-7 La Saparagau. Satu lagi adalah makam ayahnya La Gafari atau Sangia Rauro. Selain itu, terdapat pula banyak makam lain di sekitar situ, yakni kerabat sultan, pengawal, dan masyarakat.

Sultan La Saparagau mendapat julukan Sangia I Wawoangi. Di masyarakat Buton, Sangia bermakna orang yang disucikan. Sangia adalah gelar untuk sosok yang sangat dhormati. Dengan menziarahi kuburnya, masyarakat berharap bisa mendapatkan kearifan sosok ini.

Dalam catatan antropolog Tony Rudyansyah, sangia sering dikaitkan dengan sosok atau figur yang memilih tinggal bersama komunitas. Tadinya, para sangia adalah pembesar kesultanan, yang kemudian memilih tinggal bersama komunitas di dalam wilayah kesultanan. Saat mereka meninggal, makamnya sering dikeramatkan. Masyarakat berziarah untuk mendoakannya.

Bisa disimpulkan kalau sosok La Saparagau adalah sosok penting dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya di Wawoangi, tapi di seluruh wilayah Kesultanan Buton.

Kisah La Saparagau

Sultan La Saparagau adalah sultan Buton ke-7. Dia memerintah hanya dua tahun lamanya, yakni 1645—1647. Ada juga sejarawan yang menyebut setahun, yakni 1645—1646. La Saparagau adalah satu dari lima sultan yang berasal dari luar Kamboru-Mboru Talupalena sekalipun oleh dua trah Kaomu saingannya ia dianggap sebagai representasi kaomu Tanailandu.

La Saparagau adalah anak La Galunga Kokoburuna I Wawoangi dari pernikahannya dengan Wa Sugirumpu, yang merupakan amak dari Sultan Murhum. La Galunga berasal dari Katimanuru dan ibunya bernama Watubapala binti Lambaawu. Seterusnya Katimanuru adalah anak dari Raja Mulae Sangia Yi Gola Raja Buton yang ke-5. 

Salah satu acara aday di Buton Selatan (foto: Rustam Awat)

La Galunga bersaudara dengan La Siridatu dan La Kabhaura. Ketiganya adalah anak La Maindo, yang menjabat sebagai Lakina Batauga Mancuana. Saparagau dikenal juga sebagai Sangia I Wawoangi atau gelar lainnya Oputa Kopogaana Pauna. 

Jabatan terakhir Saparagau sebelum diangkat menjadi Sultan adalah Sapati. Sebagai Sapati, dia memegang semua alat kelengkapan dan kebesaran sultan. Semua menjadi tanggung jawabnya hingga waktu penyerahannya kepada pejabat sultan yang baru. Alat kelengkapan dan kebesaran sultan ini dinamakan “Parintana Bhaaluwu o Peropa”

BACA: Hatibi Bula, Cinta, dan Kisah Albino di Buton Selatan


Ketegangan di internal elite tampaknya memicu intrik yang alot, memacu seteru yang tajam di antara para aristokrat Buton. Sebagai Sapati, La Saparagau berhak menyimpan pataka dan alat-alat kebesaran sultan, sampai ada sultan baru terpilih baru ia menyerahkannya.

Tetapi kisruh yang alot itu tampaknya mengeruhkan segalanya. Sekelompok orang dari golongan yang Saparagau mengambil tindakan hendak “merebut” kekuasaan. Saparagau ditekan dan didesak oleh kaumnya sendiri agar kekuasaan itu diambilnya saja ketimbang nanti malah diduduki seorang yang dari luar kaum mereka.

La Saparagau yang awalnya menolak dan mengelak dari desakan sekelompok kaumnya itu, diakhirnya terpaksa memilih menurut saja untuk menghindari berseteru dengan kaumnya sendiri

Akhirnya digelar musyawarah yang dihadiri banyak kelompok. Musyawarah itu tak mencapai kata sepakat. Tekanan dari pengikut La Saparagau yang semakin keras, Sara Kesultanan akhirnya semufakat menunjuk Saparagau menggantikan La Buke.

Keputusan yang diambil oleh Syara Kesultanan itu tidak lagi melalui prosedur sebagaimana biasa lazimnya. Saparagau menaiki kekuasaan dengan tidak melalui upacara pelantikan, ia tidak diputarkan payung kemuliaan di atas kepalanya (lihat Zahari, 1977: 15)

Ada beberapa peristiwa-peristiwa penting terjadi dalam masa La Saparigau memerintah. Di antaranya adalah pemberian gelar Lakina (pemimpin) untuk pemimpin Sorawolio. Sultan Saparagau merasa perlu mengadakan jabatan seorang kepala yang akan menjadi pengawas pada kampung itu dengan gelar “Lakina”. 

Jabatan Lakina Sorawolio ini termasuk dalam jabatan “Pangkat” yaitu pembesar kerajaan. Kemudian pada kampung itu dibangun pula sebuah masjid dengan syarat agamanya terdiri dari seorang imam, khatib, dan bilal. Untuk jaminan keamanan juga dibangun sebuah banteng pertahanan yang dikenal dengan “Kotana Sorawolio”. Lakina Sorawoilo karena tugasnya disebut dalam adat “Ayele-yele Sarana Wolio”

Saparagau mangkat di tahun 1646. Dia dimakamkan di Wawoangi. Makamnya bersisian dengan makam ayahnya La Galunga. Sesudah wafatnya beliau dikenal dengan nama “Oputa Mopogaana Pauna” yang kira-kira berarti Sultan yang bercerai dan meninggalkan paying kesultanannya. Dia juga sering dikenal dengan nama “Sangia I Wawoangi” atau keramat di Wawoangi.

Peristiwa Saparagau yang mengambil sendiri kekuasaan karena kehendak dari kaumnya, menjadi suatu pengalaman bagi syarat kerajaan, khususnya bagi Bonto Peropa dan Bhaaluwu. 

Setelah itu, alat kelengkapan dan kebesaran sultan tidak lagi diserahkan dan dipercayakan kepada pejabat Sapati, melainkan langsung diambil dan dipelihara oleh Bonto Peropa sampai waktu penyerahannya kepada sultan yang baru.

Sultan Saparagau mempunyai enam orang anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Anak-anak Saparagau berturut saya deretkan: Katimanuru (mengambil nama neneknya), La Sugi, La Ngiyangka Yarona Lasaidewa, Wa Ode Lawele, Wa Ode Cirisa, Wa Ode Mabu.

Makna Sangia

Di banyak tempat di Buton, sering kali kita menemukan makam para Sangia atau mereka yang dikeramatkan. Di masa hidupnya, mereka adalah orang penting di kesultanan yang kemudian meninggalkan istana lalu tinggal bersama masyarakat biasa.

Di Lasalimu (wilayah Kabupaten Buton), ada makan Sangia Watole dan Sangia Wasuamba (La Karambau). Di Buton Tengah, ada makan Sangia Wambulu. Sedangkan di Buton Selatan ada Sangia I Wawoangi dan Sangia I Lakambau. 

Makam para Sangia ini selalu dikeramatkan dan menjadi tempat untuk ziarah. Di waktu tertentu, masyarakat akan datang untuk membacakan doa serta memberikan sesajen. Ini menunjukkan bahwa meskipun seorang tokoh sudah lama berpulang, namun sosoknya tetap abadi dan memberikan pengaruh bagi masyarakat di sekitarnya.

Menurut Tony Rudyansjah, keberadaan para Sangia ini bersifat “memberikan kehidupan” dan dekat dengan masyarakat pedesaan. Para sangia ini tetap menjadi role model dan memberikan mata air keteladanan bagi semua orang di komunitas.

Bisa pula dilihat dari sisi lain. Keberadaan Sangia yang terus hidup di hati masyarakat menunjukkan adanya kontinuitas atau ketersambungan sejarah. Masa lalu dan masa kini tetap hidup berdampingan. Masa lalu menyediakan pembelajaran untuk menjadi kompas bagi masyarakat hari ini.

Dilihat dari sisi kekuasaan, para sangia menunjukkan kekuasaan di Kesultanan Buton tidak bersifat mutlak dan satu arah. Semua komunitas punya kuasa sendiri yang dibawa para Sangia sehingga sering kali bisa menjadi pengimbang dari kekuasaan pihak istana.

Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton, posisi kepala pemerintahan dipegang oleh Sultan. Kepala adat dipegang oleh siolimbona (legislatif). Kekuasaan Sultan memiliki ciri utama “mengambil segalanya” dari rakyat dan hambanya. Itu bisa dilihat dari persembahan, upeti, pajak, dan kewajiban yang harus dipenuhi rakyat setiap tahunnya.

Sedangkan kekuasaan spiritual berada di tangan Sangia yang lebih bercirikan “memberikan segalanya” untuk kesejateraan dan keselamatan rakyat. Para Sangia kebanyakan para sultan dan pembesar yang menjelang meninggalnya, tinggal bersama komunitas di pedesaan. Kepercayaan pada mereka berperan dalam memberikan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. 

Pesan dari Wawoangi

Masjid Wawoangi ibarat sungai inspirasi yang tidak pernah kering. Masjid pertama yang dididirikan di tanah Buton ini menjadi saksi dari banyak peristiwa dan perubahan sosial. 

Di tanah Buton, Islam pertama diajarkan secara massif di masjid ini. Masjid ini menjadi makam dari salah seorang Sultan Buton. Pada tahun 1960-an, masjid ini menjadi saksi dari kerusuhan yang terjadi di Sampolawa.

Masjid Wawoangi

Di tahun 1973 masjid ini dibangun kembali oleh masyarakat desa. Tahun 1989 dilakukan pembersihan lokasi pembangunan Masjid Tua itu. Pada tahun 2000 masjid ini dipugar kembali dengan tidak merubah bentuk keasliannya.

“Dananya pertama kita dari dana swadaya masyarakat kita kumpul-kumpul, pemugaran masjid ini kita tidak lakukan perubahan bentuk, tinggi, bentuknya rangkanya tidak dilakukan perubahan. Tapi setelah berkembangnya zaman dibuatkanlah tehel ini, dulunya ini lantainya kerikil,” kata seorang warga.

BACA: Buton Selatan yang Lebih Indah dari Maldives


Dengan tidak mengubah keaslian bentuk, masjid tua yang sakral ini berdindingkan bambu yang diikat dengan tali ijuk. Atapnya tersusun rapi terbuat dari belahan papan kayu jati. Tiang utama penyangga terbuat dari jati. Di depan pintu utama masjid ada tulisan Arab kuno. Di beberapa bagian juga ada tulisan lafadz Arab kuno.

Masyarakat setempat meyakini Masjid Tua ini sangat sakral dan menyimpan cerita mistis. Di atas bukit itu, kala azan berkumandang, suaranya terdengar jelas di seluruh wilayah kadie Wawoangi. “Dulu adzannya belum ada mike. Jadi bunyi gendang dan adzan kedengaran di wilayah Wawoangi,” kata warga.

Di sebelah kanan bawah bagian pintu utama masjid terdapat lubang yang bertuliskan huruf lafaz Arab kuno. Disebutkan sejumlah peneliti, di bawah pintu utama terdapat lafaz tulisan gundul arab yang merupakan sisa bukti sejarah masjid tua ini.

Semoga masjid ini tetap lestari, bertahan melintasi zaman, serta selalu menjadi tempat bagi siapapun yang hendak memperdalam pengetahuan mengenai agama. Jika Buton identik dengan keislaman yang kuat, maka masjid ini punya andil untuk merawat pengetahuan itu.



0 komentar:

Posting Komentar