novel yang ditulis Adhitya Mulia |
Mulanya, saya membaca fiksi sejarah berjudul Bajak Laut dan Mahapatih ini hanya untuk menunggu jam buka puasa. Saya ingin membaca sesuatu yang ringan dan penuh komedi. Setelah beberapa lembar, saya terkejut. Buku ini membahas mengenai Mahapatih Gajah Mada yang disebutkan berasal dari Batauga, Pulau Buton. Hah? Kok bisa?
Dalam novel, yang terbit tahun 2019 ini, berlatar masa pendudukan VOC ini, Gajah Mada meninggalkan lembaran-lembaran yang kemudian dibaca oleh seorang Tumenggung Wira yang bekerja di masa Sultan Amangkurat I, putra Sultan Agung di Kesultanan Mataram. Gajah Mada bercerita tentang asal-usulnya, kisah cintanya dengan Rajaputri, serta misteri kesaktiannya.
Saya tersentak saat membaca bagian berisi catatan Gajah Mada. Mulanya Gajah Mada mengisahkan masa kecilnya di Batauga, Pulau Buton, tahun 1312 Masehi. Kakeknya, Awa, memintanya untuk merantau ke Keraton Majapahit di Jawa.
Sebelum Gajah Mada berangkat, dia diberitahu rahasia keluarganya turun-temurun di Pulau Buton. Keluarganya menjaga satu gua yang di dalamnya terdapat satu telaga. Jika seseorang mandi di telaga itu, maka dia akan kebal dan sakti mandraguna.
BACA: Kisah Raja Bugis di Pulau Buton
Berbekal kesaktian itu, Gajah Mada lalu merantau ke Majapahit melalui Dermaga Pulau Buton dan singgah di Pulau Bali. Dia lalu bergabung dengan pasukan Bhayangkara yang merupakan pasukan elite Majapahit. Tugas pertamanya adalah mengawal putri Sri Gitarja, yang kemudian menjadi ratu bergelar Tribuwana Tunggadewi.
Dalam novel ini, ada kisah cinta antara Gajah Mada dan Sri Gitarja. Namun ada batas sosial yang memisahkan mereka. Mereka hanya bisa saling mencintai, tanpa bisa saling memiliki. Berkat cinta itu, Gajah Mada menjadi figur yang selalu berusaha tampil ke depan. Bahkan dia mengangkat Sumpah Palapa yang menyatukan Nusantara agar Sri Gitarja memandang dirinya dengan penuh rasa bangga.
lembaran yang menyebutkan Gajah Mada berasal dari Buton |
Catatan Gajah Mada mengenai asal-usul hingga misteri gua sakti d Pulau Buton itulah yang menjadi pangkal kisah. Seorang keturunan bangsawan Mataram di masa Sultan Agung menyusup ke Istana Mataram demi mengambil koin emas di mahkota Sultan Amangkurat I. Koin emas itu adalah kunci untuk membuka pintu gua di Pulau Buton yang menyimpan misteri kesaktian Gajah Mada.
Tumenggung Wira ingin menyelamatkan koin emas dan menutup gua itu agar tidak menjadi incaran para pendekar. Dia lalu berkoalisi dengan Jaka Kelana, tokoh utama dalam novel ini yang digambarkan sebagai bajak laut muda yang lucu dan lebih banyak bercanda ketimbang seriusnya.
Petualangan Tumenggung Wira dan Jaka Kelana ini akhirnya sampai ke Pulau Buton, dan bertemu dengan sosok Gajah Mada yang abadi dan menunggui makan Gitarja di sana. Saat sejumlah pendekar berdatangan, Gajah Mada ikut berkelahi dan membiarkan dirinya ditembus oleh pedangnya sendiri sehingga tewas sebagai ksatria. Dia memenuhi janjinya pada kekasihnya Gitarja.
Fiksi Sejarah
Novel ini adalah fiksi ala remaja yang diramu dengan bahan sejarah. Biar pun fiksi, saya tertarik dengan informasi mengenai Gajah Mada yang disebutkan berasal dari Pulau Buton. Sebagai fiksi, tentunya kita menemukan versi lain dari sejarah mainstream yang beredar. Justru di situ sisi menarik novel ini.
Pengarang novel ini adalah Adhitya Mulya. Dia seorang pengarang yang karyanya sering difilmkan. Beberapa film yang diambil dari karyanya adalah Jomblo, Traveler’s Tale, Belok Kanan Barcelona, dan Sabtu Bersama Bapak. Buku-bukunya terbilang laris di kalangan anak milenial.
BACA: Sufi Besar, Tasawuf, dan Naskah di Pulau Buton
Saat mendengar dia menulis fiksi sejarah, saya penasaran. Tahun 2016, saya membaca karyanya berjudul Bajak Laut dan Purnama Terakhir. Dia menulis komedi yang bahannya dari sejarah dengan cara yang memikat. Tokoh protagonisnya adalah Jaka Kelana, seorang bajak laut yang lucu, suka bercanda, namun di saat tertentu, bisa menjadi pemuda sakti.
Jaka Kelana berpetualang bersama rekan-rekannya dengan kapal Kerapu Merah. Mereka bukan bajak laut yang bengis dan merompak di lautan. Mereka anak muda yang ingin melihat dunia, dan pindah-pindah pelabuhan untuk bekerja dan bersenang-senang.
Sosok Jaka Kelana mirip dengan sosok Robin Hood. Bedanya, Jaka Kelana jauh dari kesan serius. Setiap hari dia bercanda dan melakukan aksi yang membuat VOC murka. Dia pun menjadi buronan hingga menuntaskan misi dari para ksatria Majapahit.
Dalam Bajak Laut dan Purnama Terakhir, mereka menjadi buronan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Kini, dalam versi terbaru yakni Bajak laut dan Mahapatih, Jaka Kelana bertemu Tumenggung Wira, kemudian sama-sama menuntaskan misi untuk melaksanakan amanat terakhir Gajah Mada.
Sebagai orang Buton, saya bisa memastikan kalau penulis novel ini kurang melakukan riset sejarah di Buton. Dia bilang Kampung Maapahit ada di utara Buton, padahal faktanya di selatan. Dia gambarkan Buton sebagai desa-desa di zaman Majapahit. Padahal, budaya Buton selalu dinamis. Sebagai salah satu rute perdagangan internasional ke Maluku, maka Buton dihuni oleh beragam etnik dan budaya.
Andaikan penulisnya memakai bahan-bahan dari catatan VOC, pasti dia akan menemukan banyak nuansa baru untuk menjadi bahan tulisan. Saya juga melihat penulis novel juga kurang meriset tentang rute perdagangan dan pelayaran.
Rute Buton ke Bali yang digambarkan di buku ini terasa janggal. Di masa itu, semua kapal dari Buton akan menuju Makassar, selanjutnya Jawa. Sebab pada masa itu, pelayaran menggunakan kapal kayu, dan selalu singgah ke pelabuhan terdekat untuk mengisi perbekalan.
Gajah Mada di Buton?
Namun, semua detail-detail yang kurang tentang Buton itu tertutupi oleh rasa terkejut ketika membahas tentang asal-usul Gajah Mada. Dalam catatan kaki, penulis menggambarkan ada beberapa teori tentang asal-usul Gajah Mada. Dia memilih versi yang menyebutkan Gajah Mada berasal dari Buton sebab di sana ada kampung bernama Majapahit, serta banyak pohon maja.
Seingat saya, ada beberapa versi tentang asal Gajah Mada. Seorang kawan di Kerinci, Jambi, juga menyampaikan versi masyarakat setempat kalau Gajah Mada berasal dari daerah itu. Saya membaca beberapa informasi mengenai kuburan Gajah Mada. Ada yang mengklaim di Tuban (Jawa Timur), Dompu (NTB), bahkan ada yang bilang di Lampung.
Plang Informasi Kuburan Gajah Mada di Buton Selatan |
Sejak republik ini berdiri, ada banyak versi sejarah yang sengaja dibiarkan tumbuh. Bukan hanya Gajah Mada bahkan tokoh kekinian seperti Sukarno juga banyak versi mengenai asal-usulnya. Berbagai versi itu sengaja dibuatkan agar masing-masing daerah memiliki keterikatan dengan satu tokoh. Mungkin saja versi sejarah itu dianggap bisa memperkokoh integrasi nasional.
Di Buton Selatan, memang ada satu kampung yang namanya Majapahit. Di situ ada kuburan kuno seluas 40 kali 40 meter yang diduga berisi para petinggi dan pembesar Majapahit. Konon, pernah prasasti yang ditulis dalam bahasa Sansekerta. Tapi prasasti itu sudah lenyap. Tidak ada satu catatan kuat kalau di antara yang dikubur di situ ada sosok Gajah Mada.
Di sekitar kuburan itu terdapat pohon maja serta pohon beringin yang rindang. Sampai kini, situs itu sering dikunjungi umat Hindu yang tinggal di sekitar Kota Baubau untuk berziarah. Umat Hindu menganggap makam itu adalah makam para leluhurnya. Mereka datang saat tertentu, misanya saat menanam, juga saat memanen.
BACA: Pelayaran Orang Australia di Tanah Buton
Biarpun sumber sejarah tidak kuat sebab hanya mengandalkan informasi lisan, pemerintah setempat melihatnya sebagai peluang. Pemerintah Daerah (Pemda) pembuat plang informasi mengenai kuburan Gajah Mada. Akses jalan menuju kuburan itu dibenahi. Bahkan masuk dalam kalender pariwisata.
Saya pikir Pemda juga tidak keliru. Sebab informasi tentang Gajah Mada memang simpang siur. Dalam situasi ini, sah-sah saja jika ada yang mengklaim makam Gajah Mada ada di satu lokasi.
Sama halnya dengan lokasi Sriwijaya yang penuh kontroversi. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat Sriwijaya ada di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Takus (Riau). Sementara sejarawan George Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang.
Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, salah satu yang meyakini pusat Sriwijaya ada di Palembang. Alasannya, prasasti Sriwijaya banyak ditemukan di sana. Biarpun Palembang yang lebih disepakati, kontroversi itu masih hidup hingga kini.
Dalam konteks ini, kita bisa memahami mengapa banyak muncul klaim mengenai asal-usul Gajah Mada. Selagi belum ada sumber resmi yang sahih, maka sah-sah saja anggapan kalau Gajah Mada memang berasal dari Buton Selatan. Bahkan kuburannya kini menjadi situs sejarah di sana.
BACA: Susanto Zuhdi, Sejarawan Pembawa Intan untuk Orang Buton
Tahun 2016, satu rumah produksi di Jakarta membuat film berjudul Barakati yang berisikan perjalanan ke Buton demi mencari asal-usul Gajah Mada. Film ini dibintangi beberapa aktor dan artis papan atas yang tengah menjadi idola anak muda. Di antaranya adalah Fedi Nuril, Acha Septriasa, Dwi Sasono, dan Tio Pasukadewo. Sayang, film ini tidak begitu sukses.
poster film Barakati mengenai pencarian Gajah Mada di Pulau Buton |
Namun, klaim tentang Buton sebagai asal-usul dan kuburan Gajah Mada itu semakin kuat. Informasi itu terekam di media sosial, tercatat oleh mesin pencari Google, hingga menyebar dari mulut ke mulut. Di era ini, informasi yang dianggap sahih adalah informasi yang terekam oleh Google.
Beberapa tahun setelah film Barakati, kini muncul pula novel berjudul Bajak Laut dan Mahapatih yang mengisahkan misteri Gajah Mada di Pulau Buton. Jika novel ini kelak difilmkan, sebagaimana karya Adhitya Mulya lainnya, maka klaim itu akan semakin kuat. Buton selatan bisa menjadi lokasi ziarah bagi mereka yang menggemari kisah Majapahit dan segala kedigdayaannya.
Sebagai orang Buton, saya pun bangga menyebut diri sebagai keturunan Mahapatih Gajah Mada. Kalau ada yang tanya, mana buktinya? Saya katakan ada kontroversi dan belum ada jawaban final. Saya persilakan penanya untuk menonton film dan membaca fiksi.
Masih tak percaya? Cek di Google.
0 komentar:
Posting Komentar