Seberapa salah anak muda bernama Ferdian Paleka?
Dia mengunggah konten yang isinya prank atau gurauan. Niatnya ingin mengerjai orang lain, dalam hal ini waria atau transpuan, demi menangguk pengunjung di kanal Youtube-nya. Dia hanya ikut-ikutan para Youtuber yang hobi bikin video prank yang mengerjai orang lain. Dia tidak paham bahwa ada batasan mana yang patut dan mana yang tidak.
Dalam pikirannya, dia ingin meraup sebanyak mungkin pengikut, setelah itu kanal Youtube-nya akan menjadi mesin yang mendatangkan uang. Dia tidak sendirian.
Media sosial kita sudah lama menjadi ruang bebas untuk menampilkan segala kebodohan dan kegilaan anak muda kita. Media sosial kita sudah lama dijejali dengan berbagai tayangan dengan kadar kebodohan dan kegilaan yang tidak bakal dipahami sebagian orang.
Tidak ada Dewan Pers atau semacam Komisi Penyiaran di media sosial. Semua konten mengalir bebas dan hanya tunduk pada seleksi alam. Kita bisa menganggap sampah dan rendah satu konten, tapi selama konten itu disukai, maka pengunggahnya bisa seperti selebritis yang popularitasnya mengalahkan orang-orang di televisi.
Selama ini, Ferdian Paleka meraup popularitas dengan semua konten yang jauh dari kenormalan sebagaimana diyakini awam. Semuanya baik-baik saja. Dia bisa dikatakan berjaya sebab punya pelanggan (subscriber) hingga ribuan orang. Dia merasa populer. Dia merasa disukai banyak orang. Dia kian bersemangat membuat konten yang bodoh, tapi malah disukai.
BACA: Perempuan Vietnam di Sudut MANGGA BESAR
Hingga, dia kesandung saat mengunggah konten mengenai prank pada para waria di Bandung. Dia memberikan bingkisan kepada waria. Dikira berisi donasi, ternyata isinya adalah sampah dan batu bata. Media sosial yang jenuh dengan debat cebong versus kampret seakan mendapat bahan baru untuk dibahas dan dinyinyirin bersama-sama. Dia dihakimi dan disebut hendak mencari arena social climbing atau panjat sosial.
Dia dicaci lantaran dianggap menghina para waria. Rumahnya didatangi banyak orang. Bahkan sejumlah geng motor juga mendatangi rumahnya. Polisi pun ikut berjaga. Dia dianggap bersalah karena telah melecehkan para waria. Banyak yang memanggilnya dengan sapaan hewan.
Mengapa dia harus sedemikian dicaci? Bukankah dia hanya mengekspresikan suara kebanyakan orang yang menganggap rendah para waria? Apakah selama ini kita memang menghargai dan memuliakan para waria sebagai saudara kita yang setiap hari berjibaku di jalan-jalan demi sesuap nasi?
Tetiba semua orang menjadi peduli dengan waria. Satu pertanyaan lagi, apakah Ferdian Paleka seorang hero ataukah looser?
***
Peristiwa itu serasa baru terjadi kemarin. Tanggal 4 April 2020 seorang waria dibakar di tempat parkir truk di Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta. Mira, demikian dia disapa, dituduh mencuri dompet seorang sopir. Kamar Mira, yang setiap hari menjadi pekerja seks itu, didatangi para preman. Dia diseret ke parkiran.
Dia seorang waria asal Makassar yang mulai menua. Dia minoritas yang kehilangan hak-haknya dalam dunia sosial kita. Tanpa beban, para preman itu mulai memukulinya. Dia berteriak membantah semua tuduhan. Seorang preman menuang dua liter bensin ke kepalanya. Teriakannya dianggap angin lalu saat seseorang memantik korek gas. Dia terbakar. Setelah itu semua orang berlarian.
Mira menyeret tubuhnya seorang diri hingga jatuh di selokan. Lebih 70 persen tubuhnya terbakar. Dia pun dibawa ke rumah sakit, kemudian tewas di sana. Tetangganya mengumpulkan uang untuk penguburannya hingga terkumpul 4 juta rupiah. Seorang penggali kubur menguburkannya dengan ikhlas. “Dia memang waria, tapi dia manusia,” katanya.
Apakah orang-orang heboh membahas Mira dan menghujat pelakunya? Mungkin iya. Tapi sayup-sayup. Tak ada geng motor yang mendatangi para preman pembunuh Mira kemudian memberi ancaman-ancaman. Tak ada sejumlah orang yang datang mengeruduk Cilincing lalu berteriak kalau di situ telah terjadi penistaan pada seorang waria hingga tewas.
Tak ada aksi hujatan dan makian di medsos. Dari 25 orang yang menyaksikan dan ikut terlibat dalam aksi itu, hanya enam orang yang digelandang aparat. Lainnya kembali menjalani kehidupan dengan tetap membawa stigma pada sesamanya. Entah, bagaimana kasusnya sekarang. Bisa jadi mereka sudah bebas.
Mira tak punya keluarga yang akan menuntut pelakunya di pengadilan. Selama ini dia ke mana-mana sendirian demi sesuap nasi. Para waria adalah minoritas gender yang sering disingkat LBTIQ yakni lesbian, gay, biseksual, transgender, interex dan queer. Mereka mengalami diskriminasi di berbagai arena sosial. Ada yang menganggap mereka membawa penyakit. Banyak yang menilai nista sebab melihatnya dari sudut pandang religius.
Para waria itu sejak usia belia sudah berhadapan dengan stigma. Mereka dianggap hina dan akan masuk neraka. Mereka dianggap menyimpang. Mereka sering digunduli dan dipukuli. Mereka tidak bisa mendapatkan akses pendidikan. Mereka juga tidak diterima di berbagai lapangan pekerjaan.
Mereka hanya bisa terserap di beberapa pekerjaan, misalnya pekerja salon, pengamen jalanan, hingga pekerja seks. Mereka terpaksa melacurkan diri di jalan-jalan. Itu pun harus kucing-kucingan dengan aparat. Itu pun harus menerima cacian orang-orang.
Mira meninggal dalam sepi. Namanya hanya dibahas sesekali. Padahal, apa yang dialaminya adalah satu tragedi yang seharusnya menjadi cermin bagi kebanyakan orang. Bahwa ada anak bangsa yang mendapatkan diskriminasi hanya karena orientasi seksualnya.
Lembaga Arus Pelangi mencatat ada 49 produk hukum dan kebijakan di Indonesia yang diskriminatif dan bisa dipakai buat kriminalisasi LGBTIQ. Di antaranya adalah UU Anti Pornografi yang menilai kegiatan seks sesama jenis sebagai sesuatu yang menyimpang.
Kini, saat pandemi menghantam Indonesia, para waria menjadi minoritas yang kembali terabaikan. Banyak di antara mereka yang tidak punya KTP sehingga tidak menjadi prioritas penerima bantuan sosial.
Sebuah lembaga melaporkan kalau mereka tidak berniat untuk mengurus surat domisili dan administrasi kependudukan. Sebab mereka sering mendapat stigma dan diskriminasi hanya karena meminta dipanggil dengan nama tertentu. Mereka diolok. Padahal sebagai warga negara, mereka berhak memilih hendak dipanggil apa.
***
Terima kasih Ferdian Paleka. Berkat postingan itu, semua orang menjadi peduli dengan waria. Berkat postingan itu, bantuan mengalir kepada waria, yang selama ini memang terabaikan. Sisi lain dari postingan itu, semua orang menjadi peduli.
Tanpa diniatkan sebelumnya, Ferdian Paleka menjadi samsak yang dihujat kiri kanan. Dia hanya anak muda alay yang tidak tahu kalau media sosial itu serupa pisau bermata dua. Media sosial bisa memopulerkan seseorang secepat kilat, tapi bisa pula menikam seseorang hingga kehilangan nama.
Ada banyak stigma yang tumbuh di kepala Ferdian di usia mudanya. Sejak awal membuat video prank, dia sudah memosisikan para waria sebagai hama yang harus dibasmi di bulan Ramadan. Dia menyebut-nyebut kaum sodom, entah paham atau tidak. Dia mewakili pandangan banyak orang terhadap para waria.
BACA: Gadis Karaoke Kota Kendari
Yang mendesak untuk kita lakukan bukanlah menghujat Ferdian, melainkan memberikan ruang yang adil dalam pikiran kita untuk menerima orang lain yang berbeda penampilannya.
Seperti kata Karen Amstrong, kita butuh rasa compassion, kasih sayang kepada sesama manusia. Kita memperlakukan orang lain dengan baik, sebagaimana kita harapkan agar orang lain melakukan hal yang sama pada diri kita.
Kita perlu mengubah kenyataan secara struktural. Para waria yang selama ini terabaikan mesti disentuh oleh negara. Mereka harus mendapatkan akses pada pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, juga tersentuh kebijakan negara.
Dalam hal Ferdian Paleka, kita menyerap hikmah. Terkadang kita membutuhkan satu orang sinting untuk menghardik keangkuhan kita pada sesama, untuk menjewer ketidakpedulian kita pada saudara sesama manusia, untuk menampar semua sisi hipokrit dalam diri kita.
Anak muda bodoh itu akan digelandang aparat. Dia akan dihukum satu atau dua tahun. Tapi, stigma dalam pikiran kita saatnya ditebas. Prosesnya belum tentu bisa selesai dalam satu atau dua tahun. Tapi kita harus melakukannya. Kita ingin dunia bisa lebih cerah dan damai saat semua orang saling mengapresiasi dan saling menghargai.
Mengutip seorang tokoh, kita bermimpi melihat dunia di mana semua orang, apa pun ras dan penampilannya bisa duduk bersama di hadapan meja persaudaraan dan kasih sayang.
Itulah Indonesia masa depan.
8 komentar:
saya menyayangkan sikap ferdian mungkin pahamnya sehingga membuat konten tersebut...tapi sudah jelas negara dan agama manapun tidak ada yg mengakui waria...mungkin saja kalo prank itu dirubah menjadi dakwah atau memberikan kitabsuci supaya kembali ke jalan yg benar lebih etis dibandingkan sampah
Tercerahkan, terima kasih Mas Yusran
Membaca tulisan ini berarti siap mencaci diri
Selalu memberi pandangan yang berbeda.
Terima kasih Pak Yusran, banyak hal yang bisa saya pelajari.
Seperti biasa, tulisannya mengajak kita melihat dari sudut pandang berbeda. Makasih banyak :)
Yinciamo u Mako Ode👍
Salam kenal...
Mantab tulisan tulisannya...
Selamat berpuasa :)
Tak pernah bosan saya membaca setiap tulisan cerdas Pak Yusran Darmawan.
Posting Komentar